Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Man of Tai Chi
Sutradara: Keanu Reeves
Skenario: Michael G. Cooney
Pemain: Keanu Reeves, Karen Mok, Tiger Chen, Iko Uwais, Simon Yam
Jika penonton Indonesia bersorak dan bertepuk tangan menyaksikan wajah Iko Uwais dalam film ini, tolong maklumi. Amat jarang kita menyaksikan aktor Indonesia muncul dalam film Hollywood, bersanding-sanding dengan aktor Keanu Reeves pula.
Tentu saja sudah ada Joe Taslim dalam film Fast & Furious 6 tempo hari. Tapi ini film martial art. Dan nama Iko Uwais sudah mulai masuk kosakata para kritikus film internasional sejak film The Raid menggebrak panggung dunia. Karena itu, selain kita ingin menjadi saksi debut Reeves sebagai sutradara dan juga ingin melihat Karen Mok beraksi, para pencinta film tentu saja harus berbondong-bondong menyaksikan Iko Uwais dalam film ini.
Film ini dibuka dengan kesibukan sehari-hari Kota Beijing yang menghardik kehidupan Tiger Chen Lin-Hu (Tiger Chen), seorang kurir yang selalu saja dibentak kiri-kanan oleh atasan atau oleh pelanggan. Terlambat semenit saja, kurir seperti Tiger dengan mudah bisa disepak dan diganti orang lain yang antre mencari kerja.
Tapi Tiger, pemuda kecil bertubuh gempal dan berambut model jamur yang ekonomis dengan kata, menelan segala sumpah serapah itu. Menjadi kurir hanyalah sebuah kewajiban mencari nafkah. Bagi Tiger, hidup sesungguhnya dimulai ketika jiwa dan raganya diabdikan kepada tai chi bersama sang master di kuilnya meneruskan tradisi Ling Kong Tai Chi. Di bawah asuhan sang master, Tiger tidak hanya mewarisi gerakan tai chi yang selama ini dikenal sebagai jurus damai untuk melatih raga, tapi dia bahkan mampu menyempurnakannya menjadi ilmu bela diri hingga bisa maju terus ke babak-babak tertinggi lomba martial art terkemuka Wulin Wang.
Sementara Tiger yang polos dan lugu itu hidup dengan sederhana, nun di kegelapan hidup bawah tanah justru ada kehidupan gemerlap penuh darah dan duit. Donaka (Keanu Reeves) menyajikan sebuah panggung perkelahian yang menjadi tontonan dan taruhan orang-orang kaya raya yang kebanyakan uang. Perkelahian yang fatal itu hanya akan membawa dua hasil: yang menang menjadi kaya raya, yang kalah pasti tewas.
Syahdan, gerak Tiger yang tenang dengan tangan yang seolah-olah mengelus udara itu menarik perhatian Donaka. Tiger direkrut menjadi jagoannya yang baru. Semula Tiger tidak tertarik karena ilmu tai chi yang disempurnakan setiap hari bukan untuk menghajar fisik orang lain, apalagi untuk membunuh.
Namun, dengan plot yang sudah ditebak, Tiger perlu duit. Kuil tempatnya berdoa dan berlatih terkena problem izin. Dia mencoba mengajukannya ke pemerintah daerah menjadi gedung bersejarah, tapi dengan demikian dia butuh duit untuk merenovasinya sesuai dengan persyaratan. Urgensi inilah yang mendorongnya bersedia direkrut Donaka. Dan tentu saja seperti dugaan Donaka, Tiger memiliki jiwa pembunuh.
Adegan pertarungan demi pertarungan itu keras, dan tentu saja penuh darah dan kematian. Tapi adegan-adegan ini tidak dirancang dengan koreografi yang cukup menarik. Perkelahian demi perkelahian itu berlalu, sesekali ada beberapa gerakan khas lawan, tapi Reeves kurang memberi porsi agar peserta memperlihatkan perbedaan atau keunikan gerakan masing-masing. Reeves lebih memfokuskan perubahan psikologis karakter Tiger: dari seseorang yang polos dan patuh, perlahan menjadi seseorang yang penuh kemarahan dan dendam.
"Saya ingin melihat perkembanganmu menjadi seorang pembunuh," demikian Donaka, yang gemar memberikan kata akhir "kill him" pada akhir perkelahian.
Karakter detektif Jing Si (Karen Mok) sebetulnya juga satu tokoh yang menarik untuk dijelajahi. Tapi, dalam film ini, dia hanya peran pembantu yang dibutuhkan agar para penjahat biadab memperoleh ganjaran.
Yang lebih disayangkan lagi, tokoh Gilang Sunjaya (ya, ini dia yang diperankan Iko Uwais), yang disebut-sebut sebagai lawan final Tiger, ternyata kurang dimanfaatkan sepenuhnya oleh Reeves. Tentu saja bukan karena kita penonton Indonesia, kita jadi getol menyaksikan aktor Indonesia; tapi seharusnya adegan puncak yang begitu ditunggu itu diberi rangkaian koreografi yang lebih matang dan keren sebagaimana pakem film silat. Bahwa Tiger tak ingin membunuh Gilang dan hanya menangkis belaka, hal itu tetap tak memberi alasan untuk tak menampilkan adeÂgan perkelahian yang dahsyat. Ada jago silat lawan jago tai chi; kapan lagi Reeves punya kesempatan menunjukkan kemampuan sinematiknya? Bukankah dia sudah menggunakan Yuen Woo Ping sebagai director of photography?
Tentu saja di sini ada persoalan "ego". Sang sutradara yang juga berperan sebagai Donaka, si jahat yang jago berkelahi, harus muncul pada akhir film sebagai lawan terberat Tiger. Tapi, maaf saja, martial art van Reeves-kalau boleh jujur-tetap saja tidak asyik dibanding martial art para aktor lain dalam film ini, apalagi dibanding kemampuan Iko atau Tiger. Tak peduli dia jagoan Matrix dan Matrix-matrix lainnya. Ini dunia martial art yang beneran, tanpa kacamata hitam dan computer-generated imagery (CGI).
Bagi penggemar film martial art Hong Kong atau bagian Asia mana pun yang sudah hafal pakem plot film genre ini, yang menarik selalu bagaimana sineas menggarap adegan perkelahiannya; apa yang baru dalam permainan plot dengan "ilmu" martial art yang ditampilkan; siasat apa yang dipergunakan sang protagonis.
Keanu Reeves memang memenuhi pakem utama itu: "rahasia" kedahsyatan ilmu sang protagonis diperlihatkan sebagai pemenang yang disimpan untuk akhir cerita. Tapi bau-bau Hollywood Reeves tak bisa dia usir. Dengan mencoba memaafkan antiklimaks Hollywood itu, film ini tetap sebuah hiburan yang asyik. Bahkan lebih asyik daripada The Grandmaster karya Wong Kar Wai yang lebih mirip videoklip itu.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo