Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Anak Punk Ditinggal Hijrah

Musik underground, yang menjadi satu komponen dalam perlawanan terhadap Orde Baru, kehilangan massa seiring dengan kebangkitan konservatisme Islam di Indonesia. Hikmawan Saefullah, doktor filosofi dari Murdoch University, Australia, merasakan langsung kehilangan teman band karena anggapan Islam mengharamkan musik.

26 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA -- Ada masa ketika Hikmawan Saefullah merasa kesepian. Pada awal 2000-an, satu per satu temannya pergi meninggalkan band yang mereka usung sejak 1990-an. Alone At Last, demikian nama grup musik underground beraliran punk tersebut, seolah-olah menggambarkan kegundahan Hikmawan saat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indra--panggilan Hikmawan--ditinggal sendirian karena teman-temannya hendak mendalami Islam secara lebih total. Istilahnya, hijrah atau berpindah. Bagian dari konservatisme Islam yang menyeruak seusai runtuhnya era otoritarianisme Orde Baru pada 1998. Musik, bagi kalangan yang menyebut diri mereka telah "hijrah", merupakan sesuatu yang haram.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dosen hubungan internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, itu berupaya mencari jawaban akademis soal larangan bermusik dalam Islam. "Termasuk membaca-baca buku dan artikel," ujar dia. Namun dia tak pernah merasa terpuaskan. Ganjalan batin itulah yang mendorongnya menulis tesis Transformations of Youth Resistance: Undergound Music Scene and Islamic Politics in Post-Authoritarian Indonesia, yang membawanya meraih gelar doktor filosofi dari Murdoch University, Australia, baru-baru ini.

Pada Rabu, 24 Agustus 2022, Indra menjadi pembicara di seminar yang digelar Australian National University (ANU) tentang transformasi musik bawah tanah Indonesia dan kaitannya dengan gerakan Islam. Indra menyebut dirinya akademikus punk atawa punkademic.

Pementasan salah satu grup musik underground di Pantai Festival Ancol, Jakarta. Dokuemntasi TEMPO/Nickmatulhuda

Pasang-Surut Musik Underground dan Punk

Kebanyakan penggemar menganggap musik underground mulai bergaung di Indonesia pada 1990-an. Musik bawah tanah mengacu pada genre yang berbeda dari arus utama. Dengan ciri khas tabuhan drum plus dan distorsi gitar yang keras, musikus bawah tanah hanya mau menyebarkan karya mereka lewat label independen. Subgenre underground meliputi punk, metal, rock, dan hardcore.

"Tapi sebenarnya gerakan musik underground sudah ada sejak 1970-an," kata Indra di seminar Australian National University pada Rabu lalu. Dia menunjuk AKA (singkatan dari Apotik Kaliasin), band rock asal Surabaya, sebagai contoh. Hanya, ekspresi kekecewaan terhadap pemerintah saat itu lingkupnya sangat terbatas.

Kejayaan musik underground, wabilkhusus punk rock, terasa betul di periode 1990-an. Indra mengatakan saat itu band underground menjadi magnet tempat berkumpul orang muda untuk bisa bebas dari kungkungan segala bentuk otoritas, termasuk keluarga. Dalam komunitas itu, para penggemar membentuk solidaritas yang tidak memandang kelas sosial, umur, tingkat pendidikan, dan agama. "Semua orang bisa jadi anak punk," kata Indra.

Ekspose media seperti Majalah Hai dan MTV membuat musik underground, termasuk punk, tersebar lebih luas. Muhammad Irfan, penulis situs Pop Hari Ini, mengenal genre tersebut dari media.

Irfan mengatakan pengaruh Amerika Serikat sangat kuat dalam penyebaran musik underground di Indonesia karena dibawa oleh sejumlah anak Jakarta yang baru menamatkan sekolah di sana, seperti Ondy Rusdi. “Mereka tidak hanya bikin komunitas, tapi juga gigs seperti Black Hole,” kata sosiolog dari National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, itu.

Indra mengatakan komunitas punk underground tidak cuma bermusik dan bersenang-senang. Mereka terlibat dalam kegiatan organisasi-organisasi sayap kiri, seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang terang-terangan menentang pemerintahan Presiden Soeharto--sesuatu yang saat itu dianggap sama dengan menggali kubur sendiri. Kemudian, muncullah kelompok sayap kiri bentukan massa underground, seperti Front Anti-Fasis (FAF), Anti-Fasis Anti-Rasis (AFRA), RI Boots, Jaringan Anti-Fasis Nusantara (JAF-Nus), dan lain sebagainya.

Kelompok-kelompok tersebut ikut berkontribusi dalam gerakan reformasi 1998. “Ada periode singkat kebahagiaan ketika Soeharto digulingkan, namun tidak bertahan lama,” kata Indra. Sebab, kelompok underground menganggap kondisi Indonesia tidak banyak berubah.

Bersamaan dengan itu, musik underground juga memudar. Masa ini Indra namakan sebagai periode demoralisasi dan kekecewaan. Anak punk merasa kecewa kepada pemerintahan yang baru, juga sesama aktivis. Pada milenium yang baru, mereka mencabut dukungan kepada PRD.

Di akhir 1990-an, titik kumpul massa underground, seperti Poster Cafe di Jakarta dan Saparua di Bandung, bubar. Penyebabnya, alur kehidupan yang terus bergerak. "Mereka telah lulus kuliah dan mulai fokus pada pekerjaan dan keluarga," kata Irfan. Setelah 2000, musik underground menjadi sporadis. "Tidak lagi terpusat seperti era Poster Cafe dan Saparua."

Band underground pun dianggap tidak lagi menyuarakan pemberontakan, malah cenderung komersial. Konser musik metal yang di era sebelumnya digelar secara urunan, kata Indra, bergeser menjadi ajang promosi perusahaan rokok yang mengucurkan duit miliaran rupiah.

Personel Band Underground Hijrah

Seiring pudarnya masa kejayaan musik punk underground, Indra ditinggalkan oleh teman-temannya yang "hijrah", sekitar 2000 sampai 2010. “Sedih rasanya mengingat musikus dengan talenta luar biasa memutuskan untuk berhenti bermain,” katanya.

Dia mengatakan dakwah Islam berlangsung secara sistematis di sekolah, universitas, sampai tongkrongan anak punk. Puncaknya, sekitar 2015 sampai 2018. "Mereka bilang musik itu haram," ujar dia.

Sebaliknya, Indra belajar Islam di Komunitas Musisi Mengaji (Komuji). Di sana, mereka mempelajari Al-Quran secara kasual, sambil makan camilan dan sebagian merokok. Perempuan pun tidak diwajibkan berjilbab. “Mereka percaya bahwa musikus Islam tidak harus berhenti bermusik,” kata Indra. “Kami juga bermain musik sambil berdakwah.”

REZA MAULANA | NATHANIA S. ALEXANDRA (MAGANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Reza Maulana

Reza Maulana

Bergabung dengan Tempo sejak 2005 setelah lulus dari Hubungan Internasional FISIP UI. Saat ini memimpin desk Urban di Koran Tempo. Salah satu tulisan editorialnya di Koran Tempo meraih PWI Jaya Award 2019. Menikmati PlayStation di waktu senggang.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus