Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Balibo Tak Mampir di Festival

Lembaga Sensor Film menolak penayangan Balibo dalam acara Jakarta International Film Festival ke-11. Alasannya: berpotensi mengorek luka lama.

7 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruang kerja panitia Jakarta International Film Festival (JiFFest) mendadak ramai. Silih berganti wartawan meminta konfirmasi, juga menyaksikan pemutaran film Balibo asal Australia. ”Wah, Mbak, udah banyak yang ke sini. Nggak tahu udah diputar berapa kali,” kata Vara, seorang anggota panitia festival, Rabu malam pekan lalu. Telepon seluler Direktur JiFFest Lalu Roisamri pun kerap berdering.

Lembaga Sensor Film melarang pemutaran film berdurasi 111 menit itu dalam festival. Film itu berkisah tentang terbunuhnya lima jurnalis asing ketika meliput penyerbuan Timor Leste oleh militer Indonesia pada 1975. Dalam satu adegan, lima jurnalis televisi terkepung pasukan Tentara Nasional Indonesia (karena dialog sesama anggota dalam bahasa Indonesia) setelah tunggang-langgang menghindari serbuan di medan pertempuran Balibo.

Terjebak di satu rumah, salah satu jurnalis memberanikan diri keluar bernegosiasi dengan pemimpin pasukan agar dilepaskan, karena ia dan keempat rekannya sedang melaksanakan tugas jurnalistik. Bum! Permohonan tak digubris, malah peluru menembus kepalanya. Rentetan tembakan dan penyiksaan pun menimpa empat jurnalis lainnya. Mereka dibakar bersama pita kamera dan alat jurnalistik lainnya. Waktu itu Oktober 1975.

Tiga bulan berselang, wartawan senior Roger East (Anthony La Paglia, Without a Trace) disiksa di Dili. Ia diikat, diseret ke lapangan, dianiaya, ditembaki, dan diceburkan ke laut. Roger kala itu datang atas undangan Jose Ramos Horta (Oscar Isaac)—pria yang menjadi presiden kedua setelah Timor Leste lepas dari Indonesia, 1999. Ia hendak menelusuri jejak lima wartawan sampai ke Balibo.

Adegan-adegan itu, menurut Ketua Lembaga Sensor Film Muchlis Paeni, sangat sadis. ”Adegan-adegan seperti itu harus kami potong. Bukan karena alasan politis. Tanpa Balibo pun, kami perlu menolak adegan itu,” kata Muchlis di kantornya, Kamis sore pekan lalu. Ia menegaskan adegan-adegan itu tak layak dipertontonkan dalam festival film karena berpotensi mengorek luka lama.

Dia mengakui, secara artistik, film yang disutradarai Robert Connoly dan diproduksi oleh Paramount Pictures itu menarik. Tapi dia menyesalkan skenarionya berasal dari informasi lisan. ”Bukan fakta sejarah yang akurasinya dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso juga mendukung langkah LSF. ”Film itu sangat tendensius. Didramatisasi. Dilihat oleh siapa pun akan memberikan image buruk tentang TNI,” katanya. Pada saat peristiwa terjadi, Sutiyoso berpangkat kapten dan ikut dalam operasi di Timor Leste. Ia diundang LSF, Kamis pekan lalu, untuk memberikan tanggapan atas film Balibo.

Menurut Ketua Komisi Evaluasi dan Sosialisasi LSF Djamalul Abidin, penolakan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film Indonesia, Bab IV tentang Pedoman dan Kriteria Penyensoran. Di dalamnya tertulis penyensoran film dilakukan karena, antara lain, aspek politik dan ideologi. Dia menegaskan LSF masih berpegang pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, karena Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 yang menggantikannya belum ada follow up.

Sebelumnya LSF pernah menolak pertunjukan film JiFFest terkait dengan kekerasan dan apa yang disebut sebagai pemojokan TNI. Pada 2000: The Army Force (produksi Indonesia) tentang gerakan reformasi 1998 dan The Black Road (Amerika Serikat) tentang pembantaian anggota Gerakan Aceh Merdeka, diproduseri William Nelson, wartawan freelance yang meliput di Aceh kemudian dideportasi. Pada 2006, lima film ditolak, yakni Passabe, Timor Lorosae, Tales of Crocodile, Promised Paradise, dan Simon.

Lalu Roisamri menyayangkan penolakan Balibo. ”Kami ingin film ini tetap diputar, tapi kemudian ada diskusi tentang itu,” kata Roisamri, yang menegaskan tak ada tendensi dari pihak mana pun. Ia mengajukan permohonan ke LSF untuk pemutaran dan diskusi terbatas dengan mengundang TNI, pemerintah, Departemen Luar Negeri (yang diberitakan mendukung pelarangan film ini), pengamat film, lembaga swadaya masyarakat, dan pakar media. Tapi rupanya usahanya sia-sia.

Martha Warta Silaban

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus