BEBEK LIAR
Karya: Henrik Ibsen
Terjemahan: Leon Agusta
Sutradara: Wahyu Sihombing
Produksi: Teater Lembaga
SEORANG suami suatu hari mendapat tahu, bahwa anak tunggalnya
sebetulnya bukan anak dari benihnya. Ketika dia menikah 15 tahun
sebelumnya, sebenarnya pengantin perempuan telah mengandung
benih pria lain.
Karena itu sang suami berubah. Ia membenci anak yang sebelumnya
sangat dicintainya itu. Itulah drama Bebek Liar karya Henrik
Ibsen 1828-1906), dipentaskan Teater Lembaga (dari Lembaga
Pe-ndidikan Kesenian Jakarta) di Taman Ismail Marzuki pekan
lalu.
Wahyu Sihombing, pimpinan pementasan yang dosen penyutradaraan
itu, agaknya sedang melanjutkan pelajaran. Lima tahun lalu ia
juga mementaskan karya Ibsen Musuh Masyarakat -- dengan mencoba
setia kepada naskah. Seluruh unsur pementasan waktu itu, kecuali
bahasa, diusahakan "persis aslinya" alias Eropa. Dalam Bebek
Liar Hombing mencoba lain. Ia "mengadaptasi" naskah terjemahan
Leon Agusta ini Nama-nama menjadi nama Indonesia, beberapa
dialog diganti dengan yang bersuasana Indonesia. Misalnya,
dengan memasukkan percakapan soal penebangan hutan di
Kalimantan.
Tapi hanya itu. Selebihnya pementasan tak beranjak dari
kebiasaan Hombing. Akting tetap saja "Barat". Pertemuan dua
sahabat misalnya, Herman dan Hasan (aslinya Gregers dan Hjalmar)
menjadi kaku. Bahasa dialog boleh dibilang bahasa buku. Siapa
yang mengatakan hal itu kepadamu? (Bukan: Siapa yang bilang?).
Dan itu diucapkan dengan mengembangkan tangan, duduk di pinggir
meja, jalan-jalan di panggung seperti Belanda. Susah dibayangkan
dua sahabat Indonesia bertemu secara begitu.
Bebek Liar ditulis Ibsen (yang asyik dengan masalah sosial)
tahun 1884, merupakan drama pertamanya yang menyuguhkan konflik
batin. Karena itu akting para tokohnya kali ini, terutama dalam
konfrontasil satu sama lain, merupakan penentu seberapa dalam
tragedi itu muncul.
Ratap Tangis
Herman, yang tahu dari ibunya bahwa ayahnya (Taher) berbuat tak
senonoh dengan perawat Nina, sungguh tersiksa batinnya. Apa lagi
ketika sahabatnya (Hasan kawin dengan Nina. Hasan tak tahu
bahwa anak mereka yang kemudian lahir, Santi, sebenarnya anak
Taher. Maka Herman bermaksud membuka rahasia itu -- agar Hasan
memahami segala sesuatunya, dan dengan begitu hidupnya lebih
bahagia.
Harapan Herman meleset, tentu saja. Itu justru merusak kedamaian
rumah tangga Hasan. Hasan lantas membenci Santi. Dan anak yang
terpukul itu lalu mencoba membuktikan kecintaannya kepada
"ayah"nya dengan menembak "bebek liar" yang dibenci sang ayah.
Bebek liar itu adalah dirinya sendiri.
Akting bagaimanakah yang diperlukan untuk mengangkat tragedi
itu? Memang bisa akting "Barat". Tapi keragu-raguan para pemain
yang mahasiswa itu, setelah adaptasi Hombing yang tidak
bermaksud tuntas, menyebabkan "Barat" berarti "tegang". Bahwa
Santi akhirnya dicampakkan oleh Hasan, lalu anak itu bunuh diri,
dan sang "ayah" menyesal, tidak berhasil tampil sebagai puncak
tragedi --karena hubungan mereka memang sudah kaku dari awalnya.
Lebih lagi karena sutradara menghilangkan satu percakapan yang
halus dan peka di bagian akhir:
Anak itu tidak mati, cuma tidur lelap/ Dia begitu kaku dan
hening/ Dia pegang pistol itu erat-erat/Jangan, jangan Relling,
jangan patahkan jari-jarinya. Biarkan saja pistol itu begitu/Dia
akan membawanya pergi....
dan menggantinya dengan lebih banyak ratap tangis bak kebanyakan
film kita.
Maka tontonan 3 « jam yang sangat melelahkan itu dengan setting
mewah dan realistik, hanya mengingatkan orang pada Rendra
misalnya, atau Basuki Rahmat (sutradara Surabaya) akhir-akhir
ini --yang merombak naskah hingga seperti "mengarang sendiri'.
Yah, kalau mau klop akhirnya memang harus begitu. Atau biarkan
persis seperti aslinya: Barat, dari ujung rambut sampai tapak
sepatu. Dan itu, hmm, bukan tanpa risiko.
Bambang Bujono