Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Bebek liar yang bunuh diri

Oleh: teater lembaga sut: wahyu sihombing kar: henrik ibsen ter: leon agusta. (ter)

12 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBEK LIAR Karya: Henrik Ibsen Terjemahan: Leon Agusta Sutradara: Wahyu Sihombing Produksi: Teater Lembaga SEORANG suami suatu hari mendapat tahu, bahwa anak tunggalnya sebetulnya bukan anak dari benihnya. Ketika dia menikah 15 tahun sebelumnya, sebenarnya pengantin perempuan telah mengandung benih pria lain. Karena itu sang suami berubah. Ia membenci anak yang sebelumnya sangat dicintainya itu. Itulah drama Bebek Liar karya Henrik Ibsen 1828-1906), dipentaskan Teater Lembaga (dari Lembaga Pe-ndidikan Kesenian Jakarta) di Taman Ismail Marzuki pekan lalu. Wahyu Sihombing, pimpinan pementasan yang dosen penyutradaraan itu, agaknya sedang melanjutkan pelajaran. Lima tahun lalu ia juga mementaskan karya Ibsen Musuh Masyarakat -- dengan mencoba setia kepada naskah. Seluruh unsur pementasan waktu itu, kecuali bahasa, diusahakan "persis aslinya" alias Eropa. Dalam Bebek Liar Hombing mencoba lain. Ia "mengadaptasi" naskah terjemahan Leon Agusta ini Nama-nama menjadi nama Indonesia, beberapa dialog diganti dengan yang bersuasana Indonesia. Misalnya, dengan memasukkan percakapan soal penebangan hutan di Kalimantan. Tapi hanya itu. Selebihnya pementasan tak beranjak dari kebiasaan Hombing. Akting tetap saja "Barat". Pertemuan dua sahabat misalnya, Herman dan Hasan (aslinya Gregers dan Hjalmar) menjadi kaku. Bahasa dialog boleh dibilang bahasa buku. Siapa yang mengatakan hal itu kepadamu? (Bukan: Siapa yang bilang?). Dan itu diucapkan dengan mengembangkan tangan, duduk di pinggir meja, jalan-jalan di panggung seperti Belanda. Susah dibayangkan dua sahabat Indonesia bertemu secara begitu. Bebek Liar ditulis Ibsen (yang asyik dengan masalah sosial) tahun 1884, merupakan drama pertamanya yang menyuguhkan konflik batin. Karena itu akting para tokohnya kali ini, terutama dalam konfrontasil satu sama lain, merupakan penentu seberapa dalam tragedi itu muncul. Ratap Tangis Herman, yang tahu dari ibunya bahwa ayahnya (Taher) berbuat tak senonoh dengan perawat Nina, sungguh tersiksa batinnya. Apa lagi ketika sahabatnya (Hasan kawin dengan Nina. Hasan tak tahu bahwa anak mereka yang kemudian lahir, Santi, sebenarnya anak Taher. Maka Herman bermaksud membuka rahasia itu -- agar Hasan memahami segala sesuatunya, dan dengan begitu hidupnya lebih bahagia. Harapan Herman meleset, tentu saja. Itu justru merusak kedamaian rumah tangga Hasan. Hasan lantas membenci Santi. Dan anak yang terpukul itu lalu mencoba membuktikan kecintaannya kepada "ayah"nya dengan menembak "bebek liar" yang dibenci sang ayah. Bebek liar itu adalah dirinya sendiri. Akting bagaimanakah yang diperlukan untuk mengangkat tragedi itu? Memang bisa akting "Barat". Tapi keragu-raguan para pemain yang mahasiswa itu, setelah adaptasi Hombing yang tidak bermaksud tuntas, menyebabkan "Barat" berarti "tegang". Bahwa Santi akhirnya dicampakkan oleh Hasan, lalu anak itu bunuh diri, dan sang "ayah" menyesal, tidak berhasil tampil sebagai puncak tragedi --karena hubungan mereka memang sudah kaku dari awalnya. Lebih lagi karena sutradara menghilangkan satu percakapan yang halus dan peka di bagian akhir: Anak itu tidak mati, cuma tidur lelap/ Dia begitu kaku dan hening/ Dia pegang pistol itu erat-erat/Jangan, jangan Relling, jangan patahkan jari-jarinya. Biarkan saja pistol itu begitu/Dia akan membawanya pergi.... dan menggantinya dengan lebih banyak ratap tangis bak kebanyakan film kita. Maka tontonan 3 « jam yang sangat melelahkan itu dengan setting mewah dan realistik, hanya mengingatkan orang pada Rendra misalnya, atau Basuki Rahmat (sutradara Surabaya) akhir-akhir ini --yang merombak naskah hingga seperti "mengarang sendiri'. Yah, kalau mau klop akhirnya memang harus begitu. Atau biarkan persis seperti aslinya: Barat, dari ujung rambut sampai tapak sepatu. Dan itu, hmm, bukan tanpa risiko. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus