Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Berbahasa Indonesia Itu Susah

Panduan berbahasa sehari-hari. Bermanfaat mengenali kesalahan-kesalahan pemakaian kata.

15 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBAHASA Indonesia itu susah, setidaknya jika membaca buku ini. Ivan Lanin, seorang wikipediawan Indonesia dan munsyi di media sosial, menampar kita dengan menunjukkan kesalahan-kesalahan umum dalam pemakaian bahasa persatuan ini. Ia mengungkap, kadang berusaha jenaka, kebiasaan-kebiasaan kita memakai kata berbahasa asing padahal kamus sudah menyerapnya dan menyediakan padanan lokal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalahnya, apa yang lokal dan asing kini sudah lebur. Alif Danya Munsyi, atau terkenal dengan nama Remy Sylado, sudah menguar-uarkan bahwa 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing. Kata-kata lokal dalam bahasa Indonesia sebagian besar juga datang dari bahasa Sanskerta (India), sementara bahasa Indonesia berakar pada bahasa Melayu Riau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa Indonesia, agak berbeda dengan keyakinan Ivan, sesungguhnya bukan "bahasa ibu" kebanyakan orang Indonesia. Saya baru agak sering memakai bahasa Indonesia dalam percakapan setelah duduk di sekolah menengah atas dan kuliah. Sebelumnya, saya berpikir dan berbicara dalam bahasa Sunda-bahasa ibu-bapak saya sejak lahir.

Tak mengherankan jika bahasa Indonesia adalah bahasa yang susah dipraktikkan, dalam arti bahasa yang harus dipelajari secara sungguh-sungguh. Apalagi, seperti kita baca dalam buku ini, banyak kata serapan yang berasal dari bahasa Belanda, Arab, juga Portugis, yang sekarang jamak kita pakai terbentur pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berubah sejak 1960-an.

Sebelum 1980, bahasa Indonesia cenderung berkiblat pada bahasa Belanda, baru kemudian mengacu ke bahasa Inggris. Maka kita bingung, kata yang benar itu "diagnosa" atau "diagnosis", "analisa" atau "analisis", "praktek" atau "praktik". Para pejabat bahkan masih menulis dan mengucapkan "merubah", karena kisruh dengan "merobah" dan "perubahan".

Tenang! Kesulitan-kesulitan itu segera kita ketahui berkat uraian Ivan yang menunjukkan sejarah kata-kata tersebut, cara memakainya, dan asul-usul kata yang sudah jadi umum tapi belum diserap kamus. Hanya, pembahasan tiap tema terasa dangkal dan tanggung. Ivan tak mengembangkan lebih jauh pengamatannya dari artikel yang sudah ia tayangkan di Ivan.lanin.org.

Ia kurang masuk ke ranah sejarah pembentukan kata, perubahan-perubahannya, dan pedoman serapan serta padanan yang mungkin tersedia dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Kesalahan-kesalahan kita dalam berbahasa, barangkali, terjadi karena kita kurang mengenal sejarah dan pola pembentukan kata.

Ivan terlalu bersemangat menolak bentukan kata asing yang terserap ke dalam bahasa percakapan. Ia lebih suka mencari padanan kata-kata tersebut dalam bahasa "lokal"-seperti "santai" yang dikenalkan wartawan Tempo Bur Rasuanto pada 1971 dari bahasa Komering untuk padanan "relax". Ivan, misalnya, mencemaskan tak populernya "sangkil" dan "mangkus" sebagai padanan "efisien" dan "efektif" yang berasal dari bahasa Inggris.

Jika mengikuti Ivan, kita akan menulis seperti ini: "Persatuan Pengembang Lahan Yasan Indonesia sedang membangun konsep griya tawang dengan bustan dan adimarga yang luas". Jika kurang paham, mari periksa "terjemahannya": "Persatuan Pengembang Real Estate Indonesia sedang membangun kompleks perumahan dengan taman dan bulevar yang luas". Pada kalimat "terjemahan", kecuali "real estate", semua kata tersebut sudah diserap ke dalam kamus.

Bahasa adalah alat komunikasi yang maknanya disepakati secara bersama-sama oleh para penuturnya. Kita sepakat menamai ruang luas di atas bumi itu "langit", sama halnya orang yang berbahasa Indo-Jerman, yaitu Inggris, sepakat menamainya "sky". Dan orang Nusantara adalah komunitas yang sejak awal rileks menyerap akulturasi bahasa ini. Terlalu kaku terhadap kata-kata dari luar malah akan mempersempit ruang geraknya. Biarlah kata-kata asing ikut memperkaya khazanah bahasa kita.

Maka usaha Ivan memperkenalkan, membahas, dan menganalisis kata serta istilah asing agar terasa lebih lokal amat menggembirakan. Ivan dan para munsyi yang tak bosan mengingatkan soal pemakaian bahasa yang sesuai dengan kaidah akan melanggengkan bahasa ini serta membantu para wartawan sebagai agen kata-kata memakainya secara efektif dan efisien, eh, cespleng dan sangkil.

Bagja Hidayat


Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?
Penulis : Ivan Lanin
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, 2018
Tebal : 214 halaman

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus