Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Berziarah pun Kami Dulu Takut...

Berikut ini adalah pengakuan Adi Rukun dan bagaimana perasaannya saat melacak pembunuh kakaknya, Ramli.

29 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 2005, saya sedang main ke rumah orang tua di Sei Rampah. Di sana ada Joshua Oppenheimer. Joshua memperkenalkan diri sedang membuat film tentang keluarga saya, terutama tentang pembunuhan abang saya. Dia menjelaskan bahwa ia merekam para pelaku yang membunuh abang saya. Joshua juga kemudian memberikan buku Embun Berdarah.

Fotokopian buku itu saya baca dan kami bahas. Di buku ditulis bahwa ayah saya guru silat, padahal ayah saya petani. Selama ini Ibu dan abang yang lain pernah bercerita tentang pembunuhan abang saya meski tak seberapa jelas ceritanya. Dari cerita mereka, pada bulan Ramadan, Ramli serta dua kakak laki-laki dan perempuan saya lainnya dipanggil dua kali ke kantor Bintara Urusan Teritorial dan Perlawanan atau Buterpra. Pada panggilan kedua, Ramli tidak boleh pulang. Dia ditahan di bioskop dekat kantor Buterpra. Ia kemudian dipindahkan ke Sei Rampah, yang jaraknya jauh, 12 kilometer dari rumah. Tiga minggu di sana, Ramli lalu dipindahkan ke bioskop lagi sampai ia diangkut dengan truk pada malam hari.

Pada 2012, Joshua menanyakan apakah saya sanggup melihat rekaman pengakuan pembunuh Ramli. Dia berkali-kali bertanya untuk memastikan kesiapan saya. Joshua pertama kali menelusuri pembunuhan warga yang dituding terlibat Partai Komunis Indonesia, bersama para pelaku, dari gedung bioskop dekat kantor Buterpra atau Komando Rayon Militer hingga ke tempat pembunuhan di Sumur Mati, Sungai Pekong, dan Sungai Ular.

Joshua juga khusus mendapat keterangan dari Pak Kemat. Pak Kemat bersama abang saya, Ramli, diambil dari tahanan di bioskop. Saat di daerah Pasar Baru, abang saya memberontak dan mengatakan bahwa mereka akan dibunuh. Ramli dibacok. Bahunya hampir putus, ususnya terburai, dan punggungnya kena tombak. Ia melarikan diri dalam keadaan seperti itu. Pak Kemat menyusul lari persis di belakangnya. Ia juga kena tusuk dan terluka, tapi tidak seberapa. Keduanya lari pisah arah. Abang saya lari lewat kebun sawit, pulang ke rumah Mamak. Sedangkan Pak Kemat bersembunyi.

Setelah menonton video rekaman Joshua pada 2012, saya menjadi lebih jelas. Saya percaya karena pembunuhnya sendiri yang langsung berbicara, bukan cerita Joshua yang ditambah-tambah. Saya baru tahu keterlibatan Amir Hasan, kepala sekolah, dari rekaman Joshua. Saya sangat jijik melihat pengakuannya. Ia menganggap dirinya pahlawan dan sangat pantas diberi penghargaan oleh pemerintah atas perbuatannya.

Amir Hasan di bukunya menulis bahwa dia menandatangani daftar orang yang dibunuh lengkap dengan cara, tempat, dan waktunya. Saya marah karena ia ingin dilihat sebagai pahlawan. Saat itu ingin sekali rasanya saya mendatangi para pembunuh dan memberitahukan bahwa saya adik Ramli. Saya ingin mereka mengaku salah. Saya saat itu menyampaikan kepada Joshua, tapi dia menahan dan meminta saya bersabar menunggu waktu yang tepat.

Saya kemudian diajak bertemu dengan pihak lembaga bantuan hukum. Juga bertemu dengan orang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Saya memikirkan cara bertemu dengan para pembunuh itu. Yang pertama saya temui adalah Inongsyah. Inong saat itu marah kepada Joshua karena ia membawa komunis ke rumahnya. Dia mengira saya komunis. Saya kesal karena dia menggunakan alasan agama untuk membenarkan perbuatannya, tapi ia salah menafsirkan Islam.

Lalu, saat saya datang ke rumah Amir Hasan dan Amir Siahaan, dia juga tidak mau mengakui kesalahannya. Ia malah mengancam halus. Dia pun akhirnya marah dan menolak meneruskan wawancara karena menganggap kami hanya membuka luka lama. Saya pahami sikap itu. Keluarga Amir tidak mau luka itu sembuh. Saya merasa tidak membuat luka baru, juga tidak membuka luka lama. Amir hanya ingin nama keluarganya tidak tercemar. Ia adalah tokoh masyarakat yang berjasa dalam sejarah.

Saat mendatangi Samsir dan anaknya, saya tersentuh karena anaknya meminta maaf, dan saya bisa menerima. Lalu saya memeluk mereka. Saya kembali punya harapan. Namun saya kembali kecewa tatkala bertemu dengan Muhammad Yusuf Basrun. Dialah pejabat paling tinggi di Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai yang saya jumpai. Juga saat saya bertemu dengan paman di kampung, dan ternyata pamanlah yang menjaga penjara tempat Ramli ditahan.

Kami tahu dari cerita di kampung, saat dibuang di Sungai Pekong, pagi harinya Ramli masih hidup dan menjadi tontonan orang ramai. Oleh Komando Aksi, Ramli kemudian diangkut lagi, dibawa ke kebun sawit Pelintahan, dan dibunuh di sana. Dari buku Embun Berdarah, saya mengetahui bahwa Amir Hasanlah yang membuang Ramli ke Sungai Pekong. Mereka tidak mengira Ramli masih bertahan hidup sampai paginya.

Di Pelintahan, teman ayah yang bekerja di daerah itu menemukan mayat Ramli dan menguburkannya. Mayatnya hanya dikubur sedalam lutut orang dewasa. Mereka tak berani lebih jauh karena takut tersangkut. Sewaktu Ayah mengadakan selamatan (Yasinan) tiga hari meninggalnya Ramli, katanya sedikit sekali yang berani datang. Mendoakan orang meninggal saja saat itu takut tersangkut politik. Keluarga kami dan keluarga korban lain saat itu terkucil dari hubungan sosial.

Sejak sekolah dasar, saya tahu bahwa abang saya dikuburkan di kebun sawit Pelintahan. Ramli tidak pernah dikuburkan kembali dengan layak. Kuburannya hanya ditandai batu. Setiap berziarah, kami harus berpura-pura kerja di kebun. Kopiah dan sarung disimpan di sepanjang perjalanan. Sepeda diparkir agak jauh. Lalu kami harus melihat-lihat kiri-kanan, apakah ada mandor atau orang yang tak dikenal. Kalau dirasa aman, baru kami memakai kopiah dan mengirim doa di kuburan Ramli di kebun sawit Pelintahan. Itu pun tidak bisa lama, sebentar saja, 10 menit barangkali. Kami terus pergi. Kopiah dan sarung disimpan lagi. Kejadian seperti ini berlangsung hingga 1998.

Dian Yuliastuti, SJS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus