Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Buddha yang Tersenyum

Marselli Sumarno membuat film dokumenter tentang Borobudur dan Buddha. Ia mencoba memahami Borobudur dari perspektif meditasi.

5 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari hampir jatuh magrib. Patung Buddha tanpa stupa di sisi barat Borobudur itu sendirian, seolah bersemadi di ketinggian sembari merasakan perubahan sore. Kamera Marselli menyorot dari belakang, mendekati perlahan punggung Buddha. Lalu kameranya menyapu hamparan perbukitan luas penuh pohon-pohon yang tenang.

Gambar itu terasa mampu menangkap sesuatu yang purbawi. Borobudur adalah kenangan masa kecil Marselli, 50 tahun. Sampai kini ia tak bosan-bosannya mengunjungi Borobudur, hingga ia tahu sudut-sudut mana di Borobudur yang elok saat matahari subuh atau terbenam. Film Sang Buddha Bersemayam di Borobudur (The Buddha Resides at Borobudur) adalah hasil pergulatannya dari tahun 1990-an.

Ia membawa seorang biksu setempat bernama Dhammasubho Mahatera untuk menerangkan hal-ihwal candi. Dalam film, sang biksu menyusuri lorong-lorong. Berdiri di trap, ia mengatakan, ”Buddha bisa mengingat berjuta-juta kelahirannya, Buddha menghentikan proses kelahiran kembali untuk mencapai arahat (kesempurnaan).” Tapi film berdurasi 45 menit dengan narasi yang dibawakan oleh teaterwan Landung Simatupang ini bukanlah sebuah film promosi agama Buddha. Film ini lebih merupakan pendekatan subyektif Marselli yang menekuni meditasi.

Borobudur, yang berarti biara di atas bukit, itu bagi Marselli adalah simbol tujuan meditasi. Marselli melihat Borobudur sebagai lambang sebuah sentrum. Marselli mengakui ia pernah terpikat oleh sebuah diskusi mengenai Borobudur yang diadakan oleh Metafisika Study Club—sebuah kelompok di Jakarta yang rutin menggelar diskusi tentang spiritualitas.

Salah satu pembicara mengatakan bagaimana sebuah satelit Amerika pernah memotret bumi dari ketinggian angkasa luar dan mendapatkan ada sebuah titik yang sangat cerah di bumi, yang ternyata setelah dikaji titik itu di wilayah Borobudur. Maka dari itu, salah satu narasumber yang diwawancarai Marselli dalam dokumenter ini adalah seorang konsultan spiritual. Ia bernama Eddy Soetyono, orang yang percaya bahwa sekali waktu ada sebuah jaringan energi dari berbagai candi yang ada di dunia. ”Ada suatu online networking. Suatu supercomplex energy. Dan Borobudur dahulu adalah headquarter-nya,” tuturnya di film.

Sesungguhnya penjelasan spiritualis itu memancing rasa ingin tahu. Misalnya, jika Borobudur benar-benar sebuah sentrum, mengapa tiba-tiba ia ditinggalkan pada abad ke-14? Mengapa ia seolah menjadi abandoned temple? Mengapa pada tahun 1700-an dalam Babad Mataram disebut ada pantangan bagi bangsawan Yogyakarta mengunjungi Borobudur? Ada sejumlah pertanyaan, tapi Marselli tak ingin memasuki wilayah kontroversi ini.

Ini lebih merupakan sebuah film da-ri seseorang yang jatuh cinta, yang untuk menampilkan ketenangan meditatif Borobudur, menyorot anatominya secara detail. Mulai dari pelbagai makara kepala raksasa bekas talang-talang pancuran air, kuping Buddha yang panjang, keriting rambut Bud-dha, sampai dadanya yang di-zoom dengan super-close-up sampai bintik-bintiknya kelihatan. Untuk memperoleh kelengkapan data dokumentasi saja, terutama saat mendekati puncak candi, kru Marselli bekerja ekstratekun. Setiap empat langkah, mereka merekam relief-relief dengan stupa sebagai poros.

Untuk segi historisnya, Dekan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta ini menggunakan foto-foto Cephas dan beberapa petilan dokumentasi pemugaran Borobudur pada tahun 1970-an yang pernah dibuat Yazir Marzuki. Akan halnya musik diserahkan kepada Rahayu Supanggah. Panggah membuat ilustrasi gabungan tembang dan gamelan yang tidak menghilangkan bunyi-bunyian ritual Buddhis.

Yang menarik adalah ketika film menampilkan adegan prosesi Waisak. Umat Buddha berjalan sepanjang 5 km dari Candi Mendut sampai Borobudur. Marselli seolah mendapat pemaknaan akan sentrum itu. ”Saya kaget, ternyata di Indonesia banyak sekali macam aliran Buddha. Dan semua bergerak menuju satu titik,” katanya. Kameranya merekam, dari para pemeluk tradisional Buddha dari desa Buddha, Wonosobo, Parakan, Kebumen yang mengenakan pakaian lurik, beskap Jawa, sampai pemeluk aliran Buddha Tibet.

Bahkan, di salah satu adegan, tampak Ferry Surya Prakasa, yang namanya dikaitkan dengan kematian penyanyi Alda, memberkati umat di Borobudur. Ia, seperti diketahui, bagi umat Buddha Tantrayana Tibet di Jakarta dikenal sebagai Yang Mulia Serlingpa Dharmakirti Yongdzin Tulku Rinpoche. Adegan cukup lama itu diambil Marselli pada 1999. Kameranya juga merekam puncak prosesi Waisak. Saat malam di Borobudur, setiap aliran membuat altar sendiri. Daras doa begitu bising. Tapi pas pukul 12 malam, tepat bulan purnama di atas Borobudur, dheng…, keriuh-rendahan itu serentak hilang. Borobudur seolah kembali kosong, sunyi.

Ending film ini tak terduga. Borobudur tiba-tiba digambarkan berputar kencang searah jarum jam. Suara narator kemudian seolah menampilkan Borobudur sendiri yang resah, mengerang, panik: ”Dunia berputar, dan aku merasakannya…Dunia berputar aku melihatnya….” Muncul rentetan gambar-gambar, mulai dari korban bom, tsunami, pertandingan sepak bola Piala Dunia, kuburan-kuburan, para peziarah yang menabur bunga, sampai wajah-wajah keriput orang tua. Ada 120 shot dipakai Marselli untuk adegan silih berganti ini.

Inilah tafsir Marselli tentang bagaimana Borobudur yang dengan kukuh berabad-abad menyaksikan pelbagai malapetaka dunia. Terlihat, klimaks akan membawakan akhir tragis. Tapi tiba-tiba kamera menyorot patung Buddha di Borobudur seolah menyunggingkan senyum.

Sebuah simbol kemenangan. Sebuah suasana yang menurut Marselli hanya bisa tampak jelas apabila kamera mengambil gambar patung Buddha itu dari sudut agak serong. Setelah itu, muncul ”happening”. Layar menampilkan teman-teman terdekat Marselli. Mulai kolega dosen, mahasiswa IKJ, para tetangga, anak-anak, penjual makanan, biksu, juru kamera. Semua tersenyum, seperti mengekspresikan kelegaan….

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus