AGAK luar biasa ruang pameran TIM, mencatat jumlah pengunjung
yang besar sekali. Setiap hari rata-rata 100 tamu masuk
mencatatkan nama. Mereka mau nonton puluhan karya lukis dan
patung dari kelompok yang menamakan dirinya "Senirupa Baru
Indonesia". Sampai-sampai Dewan Kesenian memperpanjang masa
pameran yang seharusnya sudah berakhir pekan lalu. Diskusi juga
diadakan dengan santai di hari Minggu. Baik kalangan pelukis
maupun pengamat bermunculan ingin tanya dan menyerang.
Sebelum masuk ruangan orang telah dibuat kaget oleh karya
Harsono berupa beberapa buah kanvas yang berbaris diterobos
oleh kawat berduri. Ini semacam kata pendahuluan yang sakit,
menyindir, sekaligus mencari suasana dasar: agar setiap orang
yang memasuki pintu awas-awaslah. Apalagi di samping pintu
bergantungan fandel-fandel kuning dengan tulisan yang bernada
menyepelekan atau mengejek kemacetan kaum mapan.
Wahyu Sihombing dari Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian
Jakarta, nyaris marah. Ia merasa belum apa-apa sudah
dibentak-bentak. Tetapi begitu memasuki pintu menatap isi
pameran yang serem, aneh, unik, brutal, tetapi juga gampang
tertangkap, ia mendadak terhenyak. Ini kenakalan macaml Chairil
yang menyenangkan. Ini kekurangajaran yang memperlihatkan
pertentangkan terhadap kehidupan dan lingkungan", katnya.
Ia bahkan berani mengatakan kerjaan para seniman dari Bandung,
Yogya dan Jakarta itu lebih berhasil dari yang dilakukan
Darmanto dan Sutardji dalam bidang puisi. Baginya kedua penyair
tadi masih sihuk "merumus-rumus".
Salib Kristus
Sihombing mungkin berlebihan. Isi pameran memang sudah sempat
menampilkan hal-hal yang segar dengan mempergunakan
barang-barang yang dapat diketemukan sehari-hari. Kombinasi
tersebut membuat segala sesuatu mengagetkan tetapi tidak
meninggalkan para peminatnya dangan sikap masa bodoh. Inilah
yang merupakan kekuatan utama "senirupa baru" tersebut.
Mereka semuanya tampil dalam hal-hal yang berhubungan dengan
pelukis karena rata-rata punya latar belakang pendidikan
akademis. Paling sedikit sudah membuktikan bakatnya dalam
senirupa "standar". Dikukuhkan lagi oleh keinginan mereka untuk
"akrab" dengan publik.
Di depan pintu kita temui sebuah patung Jim Supangkat dengan
Judul Kotak X. Sebuah balok hitam dengan ornamen besi melukiskan
salib Kristen. Di atasnya ada peti besi yang biasa dipergunakan
untuk minta sumbangan. Digembok. Ada sebuah terompet. Kemudian
lampu merah yang berputar seperti yang kita temui pada ambulans.
Patung itu bagai halaman pertama sebuah buku yang memancing
banyak sekali asosiasi orang bisa teringat pada diskotik dan
menganggapnya sebagai semacam hiasan pop berbau urakan. Tetapi
orang juga diberi peluang untuk menangkap puisi ironi hal-hal
getir dalam hidup di mana segala yang terpuji bisa tumbuh
menjadi sesuatu yang keji.
Tak jauh dari sana terlihat sosok seorang perempuan sedang
termenung di kloset. Itu adalah Perempuan di Kloset, oleh
Satyagraha. Sekilas bak boneka-boneka bule yang sering dijumpai
di toko pakaian. Mungkin tak banyak orang yang mempergunakan
kloset macam itu - terlalu "Barat". Sehingga kalau di perhatikan
warna kulit orang tersebut, dengan asosiasi pada toko-toko
pakaian yang kini sudah merupakan kenyataan, muncul kesan yang
khas.
Kumbang Tak Jadi
Juga karya Satyagraha yang lain, Apel dan Kumbang. Di dalam 4
buah setoples plastik, diperlihatkan buah apel yang digigit
kumbang hijau sampai ludas. Kumbangnya sendiri tidak bertambah
besar. Ada sesuatu yang betapapun juga, terasa mengerikan dari
proses tersebut. Orang memang bisa keberatan kenapa buah apel
yang "berbau Barat" yang dipergunakan. Tapi agaknya hal itu
menjadi tidak penting. Dengan kata lain idelah merupakan tiang
pokok dalam berkarya.
Maka tak heran kalau Jim Supangkat bilang, bahwa demi
melaksanakan idenya, ia tak segan minta bantuan tukang. Bahkan
bila satu ketika sebuah lukisan Basuki Abdullah yang manis
semerbak itu misalnya dipajang di dalaun ruang pameran, kemudian
diberi pertanggung jawaban yang lain, itu masih dapat diterima
oleh kelompoknya. "Kami membuka kemungkinan seluas-luasnya" kata
Jim dengan tenang.
Bicara soal kemungkinan, kita jumpai karya-karya Harsono yang
berjudul Pot-Pot. Itu adalah sejumlah buah pot bunga
kecil-kecil, dengan balutan putih pada dahan-dahannya. Di
tengahnya terlihat sebuah pot yang dibebaskan dengan kembang
merah.
Selintas orang boleh menyangka ini hanya semacam pemindahan
suasana pasar kembang hias di pinggir jalan. Tapi bisa juga
berupa cabikan puisi dari hidup. Harsono membuktikan ini dengan
idenya dalam Taman. Di sini terlihat plastik-plastik dengan
guntingan daun-daunan di tengahnya, bergantungan di tengah ruang
pameran. Juga pada tonggak-tonggak kayu yang berpita merah.
Kemudian dengan sangat meyakinkan ia menyuguhkan suasana mistik
dan sekaligus kampungan dalam Sesaji Abad Kini. Di situ ada
tikar, di atasnya ada gelas dengan bunga-bunga, pedupaan dan
talam-talam kecil, berisi sesaji. Tetapi sesaji itu bukannya
kueh atau bunga. Sesaji itu mainan dari plastik. Mengerikan -
juga menyindir.
Lebih pahit lagi adalah karya-karya Muni Ardhi. Pelukis ini
telah menghadirkan sesuatu yang bulukan, keras, kejam, tetapi
hidup dalaun kenyataan dengan amannya. Ia menampilkan sebuah
mesin tik di atas meja, lengkap dengan kursinya yang berlumur
cat. Ia menampilkan sebuah kaleng minyak yang terbuka sedikit,
dari sana terlihat tangan-tangan bayi merah seperti berebutan
hendak keluar.
Pak Bejo, Tukag Becak
Ia juga menampilkan sebuah karya berjudul Monumen Revolusi -
yang menghadirkan beberapa buah sepatu tua dengan tulisan jelas:
"Monumen Revolui. Peresmian Dilakukan Oleh Pak Bejo Tukang
Becak". Monumen ini oleh pelukis Danarto dianggap sebagai
monumen revolusi yang paling berhasil yang pernah dibuat sampai
saat ini. Muni Ardhi juga dengan beraninya menampilkan karya
bernama talase. Isinya: berupa sebuah rak kaca, dengan bermacam
barang di dalamnya, yang memberikan asosiasi yang mengingatkan
pada problem hidup sehari-hari.
Pameran bagaikan dunia yang rame, penuh seluk beluk yang unik.
Kadang-kala terasa sebagai protes, sebagai reaksi dari kemapanan
senirupa sebelumnya. Tctapi juga tak urung ada yang saling
bereaksi satu sama lain. Lukisan Prinka yang bernama Sajak,
Silau dengan tulisan "Protes" yang melukiskan seorang anak
berada dalam lingkaran, adalah protes pada lukisan Jim Supangkat
yang bernama Sex. Jim telah mempergunakan kaki dan tangan boneka
untuk memberi asosiasi persetubuhan, yang menyebabkan Prinka
(yang sering asik dengan "main-main sendiri") tiba-tiba
melontarkan jawabannya. Jawab menjawab ini terdapat juga dalam
karya-karya lain.
Gerombolan ini jelas tidak membatasi persekutuannya dalam
soal-soal yang mereka sepakati saja. Mereka juga mensahkan
adanya perbedaan-perbedaan. Bahkan mungkin sekali dalam waktu
dekat, sebagaimana direncanakan oleh Jim Supangkat, gerakan
mereka tidak lagi akan dipusatkan pada penampilan mereka sebagai
"gerombolan".
Bukan Protes
Sehubungan dengan itu, ada seorang bernama Dede Ery Supria.
Umurnya 21 tahun. Ia menampilkan lukisan realis baru. Ia
mencapai tehnik realis yang tinggi, tetapi tidak hanya
menampilkan realisme wadag dalam kanvasnya. Ia juga menampilkan
ide yang tanpa batasan. Ia menjadi fokus pameran kali ini,
sebagaimana Jim Supangkat dengan patung-patungnya dalam pameran
grup ini setahun yang lalu di tempat yang sama. Dengan berani,
tetapi sederhana, Dede menampilkan benda dari berbagai posisi.
Dengan berani ia menambahkan meja betul-betulan di samping
kanvasnya. Dan dengan berani pula ia meletakkan lukisan orang
berbaring, menggeletak di lantai.
Lukisan-lukisannya kadangkala menjadi teka-teki, tetapi
bersamaan dengan itu, ia juga tidak terasa diseret-seret arus
untuk membuat "yang baru" atau yang nakal. "Saya tertarik pada
kehidupan sehari-hari, keadaan kamar saya misalnya. Saya tidak
bermaksud untuk memprotes apapun, saya meInang berusaha
melakukan pembaruan, tetapi tidak ada unsur protes", kata
pelukis yang berambut panjang itu.
Dede mungkin salah satu dari orang yang mungkin akan melanjutkan
Senirupa baru ini, tidak hanya sebagai gebrakan sementara.
Terutama sekali karena ia memang tidak dari awal ikut gerombolan
ini. Tumbuhnya bukan karena arus gerakan yang bermaksud
bereaksi.
Demikianlah pameran senirupa baru kali ini telah meyakinkan
banyak orang. Karena mereka tidak hanya sekedar ingin menarik
perhatian lagi. Mereka telah menelorkan ide-ide yang segar yang
dikerjakannya dengan ketrampilan dan ketekunan. Sebagaimana kata
kritikus Kusnadi: "Dibandingkan dengan penarnpilan mereka
sebelumnya, pameran senirupa baru kali ini memiliki lebih banyak
variasi estetika. Dahulu terasa hanya sibuk mengeksploitasi
sex".
Putu Wijaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini