Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Bukan Hanya Sex atau Protes

Beberapa orang seniman lukis dari Bandung, Yogya & Jakarta, berpameran di TIM. Karya bergaya seram, aneh, unik dan brutal, ternyata menarik banyak pengunjung hingga masa pameran terpaksa diperpanjang.

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGAK luar biasa ruang pameran TIM, mencatat jumlah pengunjung yang besar sekali. Setiap hari rata-rata 100 tamu masuk mencatatkan nama. Mereka mau nonton puluhan karya lukis dan patung dari kelompok yang menamakan dirinya "Senirupa Baru Indonesia". Sampai-sampai Dewan Kesenian memperpanjang masa pameran yang seharusnya sudah berakhir pekan lalu. Diskusi juga diadakan dengan santai di hari Minggu. Baik kalangan pelukis maupun pengamat bermunculan ingin tanya dan menyerang. Sebelum masuk ruangan orang telah dibuat kaget oleh karya Harsono berupa beberapa buah kanvas yang berbaris diterobos oleh kawat berduri. Ini semacam kata pendahuluan yang sakit, menyindir, sekaligus mencari suasana dasar: agar setiap orang yang memasuki pintu awas-awaslah. Apalagi di samping pintu bergantungan fandel-fandel kuning dengan tulisan yang bernada menyepelekan atau mengejek kemacetan kaum mapan. Wahyu Sihombing dari Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta, nyaris marah. Ia merasa belum apa-apa sudah dibentak-bentak. Tetapi begitu memasuki pintu menatap isi pameran yang serem, aneh, unik, brutal, tetapi juga gampang tertangkap, ia mendadak terhenyak. Ini kenakalan macaml Chairil yang menyenangkan. Ini kekurangajaran yang memperlihatkan pertentangkan terhadap kehidupan dan lingkungan", katnya. Ia bahkan berani mengatakan kerjaan para seniman dari Bandung, Yogya dan Jakarta itu lebih berhasil dari yang dilakukan Darmanto dan Sutardji dalam bidang puisi. Baginya kedua penyair tadi masih sihuk "merumus-rumus". Salib Kristus Sihombing mungkin berlebihan. Isi pameran memang sudah sempat menampilkan hal-hal yang segar dengan mempergunakan barang-barang yang dapat diketemukan sehari-hari. Kombinasi tersebut membuat segala sesuatu mengagetkan tetapi tidak meninggalkan para peminatnya dangan sikap masa bodoh. Inilah yang merupakan kekuatan utama "senirupa baru" tersebut. Mereka semuanya tampil dalam hal-hal yang berhubungan dengan pelukis karena rata-rata punya latar belakang pendidikan akademis. Paling sedikit sudah membuktikan bakatnya dalam senirupa "standar". Dikukuhkan lagi oleh keinginan mereka untuk "akrab" dengan publik. Di depan pintu kita temui sebuah patung Jim Supangkat dengan Judul Kotak X. Sebuah balok hitam dengan ornamen besi melukiskan salib Kristen. Di atasnya ada peti besi yang biasa dipergunakan untuk minta sumbangan. Digembok. Ada sebuah terompet. Kemudian lampu merah yang berputar seperti yang kita temui pada ambulans. Patung itu bagai halaman pertama sebuah buku yang memancing banyak sekali asosiasi orang bisa teringat pada diskotik dan menganggapnya sebagai semacam hiasan pop berbau urakan. Tetapi orang juga diberi peluang untuk menangkap puisi ironi hal-hal getir dalam hidup di mana segala yang terpuji bisa tumbuh menjadi sesuatu yang keji. Tak jauh dari sana terlihat sosok seorang perempuan sedang termenung di kloset. Itu adalah Perempuan di Kloset, oleh Satyagraha. Sekilas bak boneka-boneka bule yang sering dijumpai di toko pakaian. Mungkin tak banyak orang yang mempergunakan kloset macam itu - terlalu "Barat". Sehingga kalau di perhatikan warna kulit orang tersebut, dengan asosiasi pada toko-toko pakaian yang kini sudah merupakan kenyataan, muncul kesan yang khas. Kumbang Tak Jadi Juga karya Satyagraha yang lain, Apel dan Kumbang. Di dalam 4 buah setoples plastik, diperlihatkan buah apel yang digigit kumbang hijau sampai ludas. Kumbangnya sendiri tidak bertambah besar. Ada sesuatu yang betapapun juga, terasa mengerikan dari proses tersebut. Orang memang bisa keberatan kenapa buah apel yang "berbau Barat" yang dipergunakan. Tapi agaknya hal itu menjadi tidak penting. Dengan kata lain idelah merupakan tiang pokok dalam berkarya. Maka tak heran kalau Jim Supangkat bilang, bahwa demi melaksanakan idenya, ia tak segan minta bantuan tukang. Bahkan bila satu ketika sebuah lukisan Basuki Abdullah yang manis semerbak itu misalnya dipajang di dalaun ruang pameran, kemudian diberi pertanggung jawaban yang lain, itu masih dapat diterima oleh kelompoknya. "Kami membuka kemungkinan seluas-luasnya" kata Jim dengan tenang. Bicara soal kemungkinan, kita jumpai karya-karya Harsono yang berjudul Pot-Pot. Itu adalah sejumlah buah pot bunga kecil-kecil, dengan balutan putih pada dahan-dahannya. Di tengahnya terlihat sebuah pot yang dibebaskan dengan kembang merah. Selintas orang boleh menyangka ini hanya semacam pemindahan suasana pasar kembang hias di pinggir jalan. Tapi bisa juga berupa cabikan puisi dari hidup. Harsono membuktikan ini dengan idenya dalam Taman. Di sini terlihat plastik-plastik dengan guntingan daun-daunan di tengahnya, bergantungan di tengah ruang pameran. Juga pada tonggak-tonggak kayu yang berpita merah. Kemudian dengan sangat meyakinkan ia menyuguhkan suasana mistik dan sekaligus kampungan dalam Sesaji Abad Kini. Di situ ada tikar, di atasnya ada gelas dengan bunga-bunga, pedupaan dan talam-talam kecil, berisi sesaji. Tetapi sesaji itu bukannya kueh atau bunga. Sesaji itu mainan dari plastik. Mengerikan - juga menyindir. Lebih pahit lagi adalah karya-karya Muni Ardhi. Pelukis ini telah menghadirkan sesuatu yang bulukan, keras, kejam, tetapi hidup dalaun kenyataan dengan amannya. Ia menampilkan sebuah mesin tik di atas meja, lengkap dengan kursinya yang berlumur cat. Ia menampilkan sebuah kaleng minyak yang terbuka sedikit, dari sana terlihat tangan-tangan bayi merah seperti berebutan hendak keluar. Pak Bejo, Tukag Becak Ia juga menampilkan sebuah karya berjudul Monumen Revolusi - yang menghadirkan beberapa buah sepatu tua dengan tulisan jelas: "Monumen Revolui. Peresmian Dilakukan Oleh Pak Bejo Tukang Becak". Monumen ini oleh pelukis Danarto dianggap sebagai monumen revolusi yang paling berhasil yang pernah dibuat sampai saat ini. Muni Ardhi juga dengan beraninya menampilkan karya bernama talase. Isinya: berupa sebuah rak kaca, dengan bermacam barang di dalamnya, yang memberikan asosiasi yang mengingatkan pada problem hidup sehari-hari. Pameran bagaikan dunia yang rame, penuh seluk beluk yang unik. Kadang-kala terasa sebagai protes, sebagai reaksi dari kemapanan senirupa sebelumnya. Tctapi juga tak urung ada yang saling bereaksi satu sama lain. Lukisan Prinka yang bernama Sajak, Silau dengan tulisan "Protes" yang melukiskan seorang anak berada dalam lingkaran, adalah protes pada lukisan Jim Supangkat yang bernama Sex. Jim telah mempergunakan kaki dan tangan boneka untuk memberi asosiasi persetubuhan, yang menyebabkan Prinka (yang sering asik dengan "main-main sendiri") tiba-tiba melontarkan jawabannya. Jawab menjawab ini terdapat juga dalam karya-karya lain. Gerombolan ini jelas tidak membatasi persekutuannya dalam soal-soal yang mereka sepakati saja. Mereka juga mensahkan adanya perbedaan-perbedaan. Bahkan mungkin sekali dalam waktu dekat, sebagaimana direncanakan oleh Jim Supangkat, gerakan mereka tidak lagi akan dipusatkan pada penampilan mereka sebagai "gerombolan". Bukan Protes Sehubungan dengan itu, ada seorang bernama Dede Ery Supria. Umurnya 21 tahun. Ia menampilkan lukisan realis baru. Ia mencapai tehnik realis yang tinggi, tetapi tidak hanya menampilkan realisme wadag dalam kanvasnya. Ia juga menampilkan ide yang tanpa batasan. Ia menjadi fokus pameran kali ini, sebagaimana Jim Supangkat dengan patung-patungnya dalam pameran grup ini setahun yang lalu di tempat yang sama. Dengan berani, tetapi sederhana, Dede menampilkan benda dari berbagai posisi. Dengan berani ia menambahkan meja betul-betulan di samping kanvasnya. Dan dengan berani pula ia meletakkan lukisan orang berbaring, menggeletak di lantai. Lukisan-lukisannya kadangkala menjadi teka-teki, tetapi bersamaan dengan itu, ia juga tidak terasa diseret-seret arus untuk membuat "yang baru" atau yang nakal. "Saya tertarik pada kehidupan sehari-hari, keadaan kamar saya misalnya. Saya tidak bermaksud untuk memprotes apapun, saya meInang berusaha melakukan pembaruan, tetapi tidak ada unsur protes", kata pelukis yang berambut panjang itu. Dede mungkin salah satu dari orang yang mungkin akan melanjutkan Senirupa baru ini, tidak hanya sebagai gebrakan sementara. Terutama sekali karena ia memang tidak dari awal ikut gerombolan ini. Tumbuhnya bukan karena arus gerakan yang bermaksud bereaksi. Demikianlah pameran senirupa baru kali ini telah meyakinkan banyak orang. Karena mereka tidak hanya sekedar ingin menarik perhatian lagi. Mereka telah menelorkan ide-ide yang segar yang dikerjakannya dengan ketrampilan dan ketekunan. Sebagaimana kata kritikus Kusnadi: "Dibandingkan dengan penarnpilan mereka sebelumnya, pameran senirupa baru kali ini memiliki lebih banyak variasi estetika. Dahulu terasa hanya sibuk mengeksploitasi sex". Putu Wijaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus