Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan Lamafa Terakhir di Lamalera
Dewanto Amin Sadono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yohanis Wirin berdiri di hommololo. Kulit mukanya kecokelatan, mengilat ditimpa sinar matahari. Rambutnya kemerahan; berkibar-kibar diterpa angin Laut Sawu. Dadanya berdegup kencang. Tangan kanan bergetar. Tulang rahang mengeras. Meskipun begitu, terlihat kegelisahan pada sorot matanya. Perburuan paus bukan yang pertama kali baginya. Namun, tak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini ada perasaan gentar yang merayapi hatinya, dan Yohanis Wirin tahu penyebabnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Koteklema! Koteklema! Koteklema!”
Seorang dari delapan matros berteriak, menunjuk ke arah pukul lima. Di sana, air laut terlihat menyembur ke udara seperti air mancur taman kota. Lalu, diikuti penampakan sosok-sosok berwarna abu-abu gelap; beberapa ekor. Ada yang berukuran besar sekali. Sepertinya seukuran gerbong kereta api.
“Hilibe, hilibe, hilibe!”
Para matros mengayunkan kayuh sekuat-kuatnya; riuh meneriakkan aba-aba. Peledang melaju kencang. Lamauri mengarahkan perahu ke paus berukuran paling besar.
“Hilibe, hilibe, hilibe!”
Jarak antara pemburu dan yang diburu mendekat, makin dekat, hingga dekat sekali. Yohanis Wirin mempersiapkan diri; menguatkan kuda-kuda, mempererat pegangan pada tempuling. Matanya menatap tajam bagian tubuh paus yang sedang diincarnya; sedikit di belakang kepala. Tikamannya harus tepat sasaran. Nyawa teman-temannya berada di tangannya.
Yohanis Wirin mengambil napas panjang. “Ampuni aku, Bapa! Berilah keselamatan dan kemudahan!”
Didahului pekikan dahsyat, Yohanis Wirin melompat dari haluan perahu, terbang menerjang udara. Tombak sepanjang empat meter berujung besi runcing itu ia ayunkan sekuat tenaga.
***
Sudah lima tahun ini Yohanis Wirin menjadi lamafa, menggantikan bapaknya yang sudah tua. Tidak sembarang orang bisa menyandang jabatan itu. Selain mempertimbangkan keterampilan menggunakan tempuling, para tetua adat akan menilai kepribadiannya. Seorang lamafa haruslah berpembawaan tenang, tidak berangasan. Tidak boleh berhati kotor, apalagi berbuat kotor, dan Yohanis merasa dirinya tidak memenuhi syarat itu.
Selama upacara Tobu Neme Fate digelar, Yohanis Wirin terus gelisah. Sementara para tetua Desa Lamalera sibuk membahas masalah yang perlu diselesaikan sebelum musim perburuan paus tiba, agar perburuan paus berjalan lancar, Yohanis Wirin justru sibuk dengan pikirannya sendiri. Begitu juga saat Romo Beny melakukan misa arwah, memanjatkan doa bagi para lefa alep yang gugur saat menjalankan tugas.
Sebenarnya Yohanis Wirin ingin mengundurkan diri sebagai lamafa pada musim perburuan paus tahun ini, tapi dibatalkannya. Susah mencari alasan yang masuk akal jika nanti para tetua adat mendesaknya. Tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya.
Perempuan itu, Agnes Beto Bataona, tetangganya, dan istri temannya. Entah kenapa, perempuan yang lebih tua umurnya itu membuat Yohanis Wirin tak berdaya. Senyum itu tak bisa ditolaknya dan tatapan mata yang mendayu merayu itu membuatnya bagai kerbau dungu, dan membiarkan dirinya ditarik ke balik batu.
Yohanis Wirin belum ingin mati, belum tiga puluh tahun meskipun maut tak memandang umur. Selama pelaksanaan upacara Ie Gerek yang diikuti seluruh warga Lamalera, Yohanis Wirin khusyuk berdoa.
“Ampuni aku, Bapa! Berilah keselamatan dan kemudahan!”
Tujuh tahun yang lalu pernah terjadi bencana. Seekor paus raksasa mengamuk. Meskipun tombak yang talinya terikat erat pada tiang perahu itu telah menancap di punggung, dan darah yang mengucur deras itu telah mengubah laut menjadi merah, si paus tak mau menyerah. Ditariknya perahu itu ke dasar lautan, beserta seluruh penumpangnya. Delapan orang tewas. Mayat mereka tak pernah ditemukan.
Perburuan paus bukannya tanpa risiko dan tak seindah yang terlihat di layar televisi. Ada banyak darah dan pergulatan. Juga batin yang bertentangan. Sudah lima ekor paus yang dibunuh Yohanis selama ini. Jerit kesakitan saat tempuling menghunjam tubuh paus-paus itu mengusik batinnya; berhari-hari tak hilang dari ingatan.
Namun, laut adalah kebun bagi warga Desa Lamalera. Perburuan paus merupakan adat dan budaya peninggalan nenek moyang yang harus dilestarikan. Padanya terdapat berlimpah pesan moral tentang berbagi dan bersosialisasi. Daging ikan paus hasil buruan dibagi-bagi ke seluruh warga Lamalera sesuai dengan peran mereka. Bagian sirip kanan dan kiri masing-masing untuk rumah adat dan lamafa. Bagian kepala diberikan kepada lango fujo. Ekor dibagi menjadi banyak bagian. Di sana terdapat hak matros dan lamauri. Para janda dan yatim juga mendapat haknya.
Seluruh ritual adat menjelang dimulainya musim berburu paus itu diakhiri dengan misa pembukaan musim lefa di kapel kecil Santo Petrus di Pantai Lamalera. Pastor Beny memercikkan air suci yang berlimpah dengan doa keselamatan itu ke semuanya. Benda hidup maupun mati. Pastor yang masih muda itu memberkati peledang, tempuring, matros, lamafa, dan Yohanis Wirin memejamkan mata saat air suci itu memerciki mukanya, dan yang terbayang olehnya justru wajah cantik Agnes Beto Bataona.
“Baleo! Baleo! Baleooo!”
Teriakan bersahut-sahutan terdengar, memecah di udara. Di tengah Laut Sawu, air yang memancar itu terlihat jelas sekali dari Pantai Lamalera. Para paus sudah datang. Hasil kebun yang sedang berenang-renang di tengah lautan itu siap dipetik dagingnya.
Peledang segera disorongkan ke Laut Lamalera. Ada lima yang melaut hari ini, termasuk Nana Lere. Sehari sebelumnya, perahu itu sudah dihias dan dicat merah. Tanpa bicara, para lamafa, termasuk Yohanis Wirin, menuju lango belle, mengambil leo. Hanya lamafa yang diperbolehkan mengambil tali yang nantinya diikatkan ke tombak itu.
Perburuan paus pun dimulai. Yohanis Wirin berdiri di hommololo. Tempuling yang sudah terikat pada leo itu digenggamnya erat-erat. Si lamauri yang berada di bagian belakang perahu mengarahkan kemudi ke arah para paus yang sedang arak-arakan. Para matros duduk berdampingan dengan formasi empat-empat, mengayuh dayung dan berteriak riuh memberi semangat.
“Hilibe, hilibe, hilibe!”
Hari itu rombongan Yohanis Wirin beruntung. Perahu bermuatan sepuluh orang itu tidak perlu berlayar sangat jauh. Apalagi hingga ke Pulau Alor. Lima kilometer dari Pantai Lamalera, mereka bertemu seekor paus.
“Koteklema! Koteklema! Koteklema!”
***
Bidikan tempuling Yohanis Wirin meleset. Ujung tombaknya hanya mengiris kulit dan daging punggung si paus, tidak menancap sesuai dengan harapan. Seketika paus itu menggeliat, menjerit; berguling-guling. Air laut tersibak-sibak.
“Kembali ke peledang!” seorang matros berseru. “Cepat!”
Sekuat tenaga Yohanis Wirin mengayunkan kedua tangan, berenang di antara air laut yang telah bercampur dengan darah paus yang membanjir. Gerakan Yohanis Wirin semahir katak, tapi degup jantungnya yang tak menentu itu tak bisa menipu. Ia tahu posisinya dalam bahaya. Paham apa yang bisa dilakukan oleh paus yang sedang marah.
“Lebih cepat!” matros lain berseru.
Yohanis Wirin terus berenang, tak peduli napasnya yang hampir putus. Lima kayuhan lagi ia tiba di peledang. Pada saat yang sama, teman-temannya sudah bersiap-siap mengulurkan tangan mereka.
“Cepat! Sedikit lagi!”
Terlambat. Didahului pekik kemarahan bercampur jerit kesakitan, paus seukuran bus itu menghantamkan ekornya yang sebesar bak truk. Deburan dahsyat terdengar. Bagaikan ada pesawat terbang yang jatuh di tempat itu. Air laut tersibak tiba-tiba. Yohanis Wirin mencelat; lima belas meter jauhnya.
“Wirin! Yahonis Wirin!”
Para matros mengayuh peledang secepat-cepatnya; menuju Yohanis Wirin yang telungkup, terkampul-kampul seperti bangkai katak. Dua orang matros berlompatan, meraih Yohanis Wirin, membuatnya telentang, lalu membawanya berenang menuju peledang. Yohanis Wirin dibaringkan di lantai. Darah mengucur deras dari mulut, hidung, dan telinganya.
***
Bendera hitam berkibar lesu pada tiang peledang Nana Lere saat menuju pantai. Tak ada nyanyian memenuhi pori-pori udara Laut Sawu; tentang para pemilik laut yang pulang menggiring hasil tangkapan. Ombak seakan-akan malas berdebur di Pulau Lembata. Tak ganas menghantam karang-karang dan bebatuan di Pantai Lamalera. Tak laju menjilat hamparan pasir hitam pekat yang tak seberapa panjang itu.
Meskipun demikian, tak ada lamafa yang tak tergantikan. Pada musim perburuan paus tahun depan, di tempat dan waktu yang tak berbeda, warga Lamalera akan kembali melakukan hal yang sama, pergi ke laut, memetik hasil kebun.
Baleo, baleo, baleo!
Kajen, 20 Januari 2024
Keterangan:
- koteklema: sebutan untuk paus sperma
- matros: tukang dayung
- hommololo: haluan perahu
- tempuling: sejenis tombak, gagangnya panjang
- lamafa: juru tikam atau tombak paus
- tobu neme fate: upacara untuk menandai dimulainya musim tangkap paus
- lefa alep: sebutan untuk orang-orang yang tewas saat melakukan perburuan paus
- upacara ie gerek: upacara pemanggilan roh paus yang dilakukan di batu yang bentuknya mirip paus
- lango fujo: pemilik rumah adat
- lamauri: juru mudi perahu
- leo: tali anjang
- peledang: perahu tanpa mesin
- hilibe, hilibe, hilibe: sejenis aba-aba
- baleo, baleo, baleo: seruan simbolisasi yang menyebut "laut kebun kami", atau ada juga yang mengatakan seruan pertanda datangnya paus
Dewanto Amin Sadono, guru dan penulis. Beberapa cerpennya dimuat di media massa dan sejumlah tulisannya memenangi perlombaan.
MAKLUMAT
Para penulis bisa mengirim cerpen dan puisi untuk Tempo lewat e-mail: [email protected] dan cc: [email protected]. Panjang cerpen maksimal 13 ribu karakter. Kiriman puisi minimal lima judul. Karya-karya tersebut belum pernah terbit di medium mana pun, termasuk media sosial. Lampirkan biodata singkat, alamat lengkap, kontak, dan nomor rekening. Karya yang dikirim lebih dari enam pekan otomatis tidak diterbitkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo