Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI pendapa lobi hotel Sahid Jaya. Jakarta, berkata pelukis itu:
"Sebenarnya saya juga ingin melukis kucing dengan bulu aslinya.
Tapi membunuhnya tak berani. Sebab kepercayaan Jawa terhadap
kucing tinggi sekali".
Akhirnya ia menampilkan wajah kucing dengan meminjam bulu-bulu
burung. Sebagaimana juga ia melukis macan dengan material yang
sama. Ini merupakan perkecualian-perkecualian dari tekadnya
semula untuk melukis margasatwa, khususnya burung, dengan
bulu-bulu asli.
Tak kurang dari 31 buah lukisan bulu burung terpampang di
pendapa tersebut tanggal 6 - 13 Pebruari ini. Semuanya merupakan
buah pencarian Cak Kandar selama 7 tahun menempel-nempel bulu
pada kanvas. Lelaki berkumis, yang lahir tepat pada tanggal 17
Agustus 1948 ini, bermula hanya seorang pelukis biasa yang
banyak bergaul dengan seniman-seniman di AKSERA (Akademi Seni
Rupa Surabaya). Tapi sejak dikeluarkannya Undang-Undang
Perlindungan Margasatwa, ia sibuk mengumpulkan bulu-bulu dan
mencoba menampilkan kehidupan makhluk bersayap tersebut. Hampir
sama dengan yang dilakukan pelukis bulu ayam dari Sala yang
bernama Tom Harry. Bedanya: Tom lebih cenderung pada potret
wajah. Lagi pula menurut Kandar, di samping meniru burung dengan
bulu aslinya, anak Surabaya ini juga sangat memperhitungkan
awetnya lukisan dengan cara menyemprotkan obat anti hama pada
material. Juga memberinya lapisan kimia pada lukisan yang telah
jadi tanpa mempengaruhi warna asli.
Cia
Sekelebatan saja, terasa apa yang dilakukan Kandar lebih
merupakan kerajinan daripada lukisan. Bukan karena material yang
dipergunakannya. Juga bukan karena proses menempel yang lebih
mengesankan hal-hal teknis. Tetapi karena yang terpancar dari
buah tangannya sifatnya lebih menggambarkan ilustrasi, pajangan,
hiasan dinding. Belum melantunkan emosi, imajinasi atau keharuan
lain lebih dari sekedar peniruan bentuk. Proporsi, komposisi,
tarikan garis, terlihat kadangkala mengalami penyederhanaan.
Bukan karena kesengajaan, tetapi oleh keterbatasan material.
Ini problim teknis. Kalau sesuatu karya masih bergulat dalam
pemapanan dengan soal-soal teknis, memang wajar belum sempat
menyabet segi-segi lain.
Pada gambar Raja Rimba misalnya, yang menampakkan seekor macan,
kita merasakan kesan lugu, akrab, semacam hasrat menggauli
kehidupan margasatwa itu dengan pendekatan yang dilakukan oleh
dongeng sebelum tidur mereka misalnya mampu berbicara
sebagaimana manusia. Dalam gambar Raja Angkasa kita melihat
sejumlah burung terbang di langit luas, melantunkan semacam
semangat kemerdekaan dari dunia yang liar dan jauh. Dalam Dua
Sejoli, peranan komposisi sangat menonjol. Tampak dahan-dahan
pohon jatuh dari belahan bingkai atas lalu dua ekor burung
bergelantungan. Ini seperti puisi-puisi yang kita jumpai pada
lukisan-lukisan Cina.
Barangkali kalau Kandar menggencarkan diri menangkap puisi-puisi
kecil itu - di samping keinginan menampilkan "seni bulu burung"
- gambar-gambarnya akan berarti lain. Kekuatannya dalam gambar
bentuk sebetulnya telah tercermin dari Sabung Ayam. Di sana
bentuk dan komposisi pas, kendati objek tersebut sudah sangat
klise. Ini berbeda sekali dengan gambar-gambar yang lebih besar
seperti Merak, yang berharga sampai Rp 400 ribu, yang jelas
diarahkan kepada mereka yang mencari sesuatu untuk penghias
dinding. Anehnya buah tangan yang memakan kerja 21 hari ini
dipuji sendiri oleh Kandar sebagai karya favoritnya.
Reog
"Saya heran, seingat saya sudah 3 kali ini burung hantu selalu
laku paling dulu. Padahal burungnya sendiri tidak dipelihara",
kata Kandar. Ketika ditanya apa dia sering melukis sebuah objek
berulang kali, ia cepat menjawab: "Tidak". Kita agak
berkepentingan untuk mengusut, sampai seberapa jauh sebenarnya
usaha Kandar dalam "berkarya", di samping bagaimana proses
terjadinya setiap gambar. Menurutkan selera pasaran, berdasar
persediaan bulu-bulu, atau mengikutkan keinginannya untuk
mensukseskan peraturan perlindungan margasatwa?
Kandar mengaku memperoleh bulu-bulu dari Sumatera, Kalimantan,
Irian. Kalau perlu ia membeli sebuah "reog" untuk mendapat
bulu-bulu merak. Kalau perlu lagi, ia mengumpulkan bulu
kepalanya sendiri - untuk sebuah gambar muka dengan rambut asli.
Gambar ini rupanya telah tergaet oleh seorang kolektor dari
Jepang. Kalau toh pancaran karya Kandar nanti bisa setanding
dengan pancaran karya yang disebut lukisan - sehingga kita tidak
menggubris lagi soal proses atau material yang dipergunakan -
itulah saatnya lukisan bulu tidak perlu lagi menderita rasa
rendah diri karena dianggap kerajinan.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo