Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Des Alwi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARAH yang menetes di sudut bibir Mak membuat suaranya susah dipahami. Apalagi Mak bicara sambil menggigit bibir seperti menahan sakit. Hanya setelah memuntahkan darah segar dan kerongkongan Mak mulai bersih, aku bisa menangkap maksudnya. Mak meminta aku segera menyiapkan masakan. Permintaan yang sangat ganjil karena diucapkan tidak lama setelah kami menemukan Mak bergelimang darah, tertelungkup di meja penuh puntung rokok di ruang tamu rumah kami.
Aku dan adikku segera memapah Mak ke dalam dan membaringkannya di ruang tengah. Sambil menekan tanganku, Mak meminta kami segera membawanya ke dapur. “Cepat, waktunya tidak banyak!” Mak berteriak menahan tangis.
Di dapur, kami menyandarkan Mak di kursi. Dengan napas tertahan, Mak meminta aku menyiapkan masakan dan mendiktekan apa yang harus aku lakukan. “Potong tomat, kunyit, bawang kecil-kecil, aduk, dan tuangkan garam,” ujar Mak. “Tambahkan asam kandis, serai, daun jeruk, dan masukkan semuanya ke mangkuk besar.”
Ketika mengaduk-aduk mangkuk, aku mendengar Mak meminta adikku ke kebun memetik daun jarak dan buang air besar di daun jarak tersebut. Ketika kami terdiam mendengar permintaan ganjil tersebut, Mak berteriak, “Aduuuh, kalau kalian sayang dan tidak ingin Mak mati, ikuti saja perintah Mak!” Dengan menangis, adikku berlari ke kebun, dan lima menit kemudian datang dengan bungkusan daun jarak yang baunya sangat menyengat. Aku muntah-muntah. Tapi adikku dengan wajah mengeras memasukkan bungkusan daun jarak tersebut ke dalam mangkuk. Ia mengaduk-aduk bungkusan daun jarak tadi dengan berbagai bumbu dan, sesuai dengan perintah Mak, menghidangkannya di depan Mak.
Dengan memencet hidung, Mak menyuap makanan berisi daun jarak ke dalam mulutnya. Belum sampai ke mulutnya, Mak muntah mengeluarkan semua isi perutnya. Dengan menutup mata, Mak kembali menyuap makanan berisi daun jarak tersebut. Sekali ini Mak muntah mengeluarkan cairan berwarna hijau yang menggumpal di tengah-tengah tumpahan muntahnya. Beliau minta kami memberikan handuk dan air. Mak memasukkan kepalanya ke dalam baskom berisi air dan membersihkan mukanya sambil mereguk air, membersihkan kerongkongannya, dan menyemburkannya berkali-kali.
Adikku membawa segelas air teh hangat. Mak mereguk dan menyemburkan teh hangat tadi sampai habis. Bahkan Mak masih menyemburkan habis gelas teh kedua. Aroma yang sangat menyengat tampaknya menyulitkan Mak menelan air teh kesukaan beliau.
Kami membersihkan bekas masakan dan muntah yang berceceran di dapur. Setelah bersih, Mak meminta kami membawa beliau ke ruang tengah, tempat yang dulu selalu dipenuhi semua anggota keluarga besar kami tapi sekarang kosong ditinggal sejak kematian ayah kami. Setelah mereguk dalam-dalam teh yang disiapkan adikku, Mak bercerita bahwa ia tadi bertemu dengan paman kami yang baru selesai tugas dari Surabaya dan datang membawa martabak daging kesukaan Mak.
Menurut Mak, paman meminta semua surat tanah milik keluarga besar, termasuk semua surat gadai. Ia khawatir Mak tidak akan mampu menjaga semua surat tersebut sepeninggal ayah kami. Apalagi jika Mak nanti sampai kawin lagi. Kendatipun Mak sudah berkali-kali menjelaskan bahwa semua surat tersebut aman di tempat yang tidak akan mudah dicari orang dan ia tidak pernah berniat kawin lagi sepeninggal ayah, paman kami, menurut Mak, berkeras semua surat tersebut harus diserahkan. “Kewajiban saya sebagai anak lelaki menjaga harta pusaka keluarga,” paman menegaskan. Dengan berat hati, Mak akhirnya mengambil semua surat tersebut dan menyerahkannya kepada paman kami.
Setelah menerima semua surat tanah, paman kami menyuguhkan martabak yang khusus dibelikannya untuk Mak. Belum sampai habis sepotong, Mak merasa sangat pusing. Mulutnya panas, kerongkongannya serasa terbakar, dan ia langsung pingsan ketika menyemburkan darah segar dari mulutnya. Mak tidak sadarkan diri sampai kami menemukan beliau tertelungkup di meja. Kami hanya menemukan beberapa puntung rokok dengan merek kesukaan paman kami.
Mak mengambil sisa-sisa puntung rokok tersebut menggunakan sapu tangan dan melipatnya, serta memasukkannya ke kotak sirih milik nenek kami. “Ini bisa menjadi bukti bahwa Mak menjadi percobaan pembunuhan paman kalian. Gumpalan hijau yang kalian lihat tadi adalah racun kelabang. Alhamdulillah racunnya bisa keluar sebelum merenggut nyawa Mak.” Mak mengatakan penggunaan racun kelabang biasa dilakukan untuk menghilangkan nyawa musuh. Namun hanya untuk mempertahankan diri dan dalam situasi hidup-mati. Mak merasa beruntung paman kami yang menggunakan racun kelabang itu. Jika anggota keluarga lain yang melakukannya, hampir tidak ada peluang Mak selamat. Beruntung juga kami datang tidak lama setelah Mak diracun, sehingga Mak masih sempat mengeluarkannya. “Racun dilawan dengan racun, kotoran dilawan kotoran,” tutur Mak ketika kami menanyakan kenapa beliau menggunakan cara yang sangat menjijikkan untuk menawar racun kelabang tersebut.
Ketika kami menyatakan akan menuntut balas perlakuan paman kami, Mak hanya menghela napas dan bergumam, “Paman kalian hanya melakukan apa yang seharusnya terjadi dalam perebutan harta pusaka.” Menurut Mak, harta pusaka direbut dan diambil dengan menumpahkan darah dan dipertahankan juga dengan darah dan nyawa. Lagi pula, paman satu-satunya lelaki terpandang yang masih ada di antara anggota keluarga dan merupakan tonggak untuk mempertahankan harta pusaka. “Keluarga besar kita membutuhkan paman kalian tetap hidup,” ujar Mak.
Saat kami memprotes kenapa paman tetap berupaya membunuh Mak kendatipun semua surat harta keluarga sudah diserahkan, Mak menegaskan bahwa lelaki hanya bisa menguasai, tapi tidak dapat memiliki harta pusaka. “Dia harus membunuh Mak untuk dapat menguasai penuh harta keluarga. Dan Mak menyerahkan semua surat harta pusaka karena tahu paman kalian tidak akan pernah bisa memilikinya. Harta pusaka milik kami, perempuan-perempuan Minang,” Mak menegaskan.
Sambil berdiri, Mak meminta kami mengumpulkan semua rapor dan ijazah sekolah serta pakaian yang bisa dibawa. “Sebelum gelap, kita harus meninggalkan rumah ini. Ini rumah kematian, tempat semua kakek, andung, paman, dan ande kalian meninggal, baik karena sakit maupun terlibat pertikaian memperebutkan harta pusaka. Rumah kematian ini bukan tempat yang baik untuk membesarkan kalian,” ucap Mak.
Sebelum gelap dan azan magrib, kami telah berada di kereta terakhir menuju Padang, ke masa depan yang kami tidak tahu seperti apa.
Dua puluh tahun kemudian, di kereta yang sama, sesudah mendarat di airport, kami berangkat ke kampung menemani Mak, yang tidak berkedip sepanjang jalan melihat persawahan dan deretan pohon kelapa yang semakin menghilang digantikan kompleks perumahan. Tidak ada kata yang terucap. Mak sepertinya ingin menikmati kesendirian tanpa dapat kami pahami apa yang bergelora di hatinya. Untung, tak lama kemudian, kereta tiba di Stasiun Pariaman dan kami melihat Tek Adjun, sepupu Mak yang mengurus rumah sepeninggal kami, menjemput dengan mobil sewaan.
Sampai di rumah, Mak juga tidak berkata-kata dan hanya duduk diam di ruang tamu, sampai akhirnya Tek Adjun meminta Mak istirahat di kamarnya. “Besok Bari (paman kami) akan ketemu Uni,” kata Tek Adjun. “Uni harus istirahat karena Syamsulbahri minta diadakan rapat lengkap keluarga guna membahas rencana penjualan tanah di Kampung Kandang yang diminta pemda. Ia tidak menemukan surat tanah tersebut dan menuduh Uni menyimpannya.”
Mak tidak menjawab, hanya menyatakan akan salat magrib di masjid. Diiringi Tek Adjun, Mak menghilang di kegelapan senja. Sekembali dari masjid, Mak langsung ke kamar, dan kami pun beristirahat.
Kokok ayam dan kicauan burung membangunkan kami, yang menemani Mak salat subuh di masjid. Setelah salat subuh, Mak langsung ke rumah. Kami berdiri di halaman menikmati kabut dan embun pagi. Riuh rendah suara sepeda motor dan mobil yang lalu-lalang mengusir kokok ayam dan kicauan burung.
Tek Adjun kemudian mengajak kami ke dalam mempersiapkan pertemuan keluarga yang akan dihadiri semua anggota keluarga besar kami. Dan seperti sudah bisa diduga, pertemuan keluarga kami berjalan sangat panas dan ricuh. Mak bergeming ketika didesak untuk segera menyerahkan surat tanah yang diminta paman. Ia bahkan tidak bicara sepatah kata pun selama pertemuan. Pertemuan berakhir tanpa ada kejelasan, dan paman marah dengan menggebrak meja. Satu per satu akhirnya anggota keluarga kami meninggalkan rumah tua, yang selalu disebut Mak sebagai rumah kematian. Meninggalkan Mak, Tek Adjun, aku, dan adikku, serta beberapa sepupu yang membersihkan ruang tengah yang berantakan seusai pertemuan.
Tek Adjun mengajak aku dan adikku ke ruang tamu dan, tanpa berkata, ia menyiapkan teh, kopi, dan kue-kue yang ditaruh di meja kecil, dekat meja utama ruang tamu. Kemudian, ia menutup pintu ruang tengah dan mengajak kami masuk ke kamar depan. “Ini urusan pribadi pamanmu dan Mak. Apa pun yang terjadi, kalian tidak boleh ikut campur. Kita hanya boleh mendengarkan saja,” kata dia.
Tidak lama, kami mendengar langkah halus dari ruang tengah ke ruang tamu. Kami menahan napas karena tahu itu langkah pelan Mak. Berselang lima menit, kami mendengar pintu rumah diketuk dan terdengar suara paman kami mengucapkan salam. Setelah basa-basi, kami mendengar paman kami menyatakan membawa martabak kesukaan Mak dan berharap dapat menyuguhkannya karena dulu Mak tidak bisa menghabiskan semua martabak yang ia bawa.
“Martabak kamu yang dulu tidak enak, tapi sekarang tentu saja saya akan menghabiskan semuanya,” kata Mak.
“Uni kelihatan sangat sehat, tentu bisa menghabiskan martabak yang sudah lama saya siapkan,” paman kami menimpali. “Saya hanya minta air putih saja karena tadi sudah kenyang makan dan minum.”
“Kamu juga sangat sehat dan semakin makmur. Mudah-mudahan harta keluarga kita berkah untuk kamu sekeluarga.”
Paman bercerita panjang-lebar soal keinginannya memanfaatkan tanah keluarga yang bertahun-tahun telantar tanpa diolah dan berencana menginvestasikan semua uangnya untuk mengembangkan tanaman cokelat. Tidak banyak yang bisa dicatat dari pembicaraan Mak dengan paman kami sampai dia pamitan pulang karena kepalanya sangat pusing dan dadanya terasa sakit sekali. “Mudah-mudahan air putih yang uni suguhkan tidak jadi penyebab pusing dan sakit dada saya,” ujarnya berkelakar. Mak hanya berkata singkat bahwa martabaknya lebih enak daripada yang dulu ia makan dan berharap masih bisa menikmati martabak lagi besok. “Semoga besok kita berdua masih bisa bertemu,” ujar Mak.
Besok paginya, kami mendapat kabar bahwa paman kami masuk ruang gawat darurat karena serangan jantung. Namun isu yang berkembang adalah paman kami masuk rumah sakit karena terkena racun yang disuguhkan Mak. Tidak mengherankan jika keluarga kami, terutama anak-anak paman kami, memandang Mak dengan penuh kebencian saat kami masuk ke kamar tempat paman dirawat. Tanpa menghiraukan pandangan tidak nyaman tersebut, kami duduk mengelilingi paman yang tampak sangat pucat. Dokter yang kebetulan berada di ruangan menjelaskan bahwa paman kami mendapat serangan jantung karena konsumsi rokok berlebihan dan tingkat stres yang tinggi.
Suara berisik sepupu kami seolah-olah menyiratkan ketidakpercayaan terhadap penjelasan dokter. Di rumah, ketika kami tanya, Mak hanya berkata singkat bahwa ia menyuguhkan air putih sesuai dengan permintaan paman kami. “Hanya air putih berisi olahan biji apel, yang menurut kalian mengandung sianida dan ternyata tidak ada efeknya.” Kami hanya terdiam saling pandang. ***
Bundo Kandung Malin Kundang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo