Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lorong-lorong kumuh Old Havana. Almarhum Ibrahim Ferrer berjalan merangkul istrinya. Topinya pet putih. Kulitnya legam. Ia menyapa anak-anak muda yang duduk-duduk di sepanjang lorong dengan arsitektur Art Deco itu. Ia menyenandungkan bolero klasik tentang mawar dan cinta.
Dos Gardenia para ti Con ellas quiero decir: Te quiero,te adoro, mi vida Porque son tu corazon y el mio….
Kamera Wim Wender merekam. Itu, salah satu adegan yang mengharukan dalam film dokumenter Buena Vista. Ibrahim Ferrer disebut ”Nat King Cole”-nya Kuba. Ia, vokalis utama Buena Vista Social Club, salah satu klub musik Kuba dari zaman 1950-an.
Periode itu bisa disebut zaman emas jazz Kuba. Saat Castro menumbangkan Fulgencio Batista pada 1959, banyak klub musik jazz ditutup. Para musisi eksil ke New York. Di New York, sebelumnya telah tersohor para musisi migran Kuba seperti klarinetis Mario Bouza, perkusionis Luciano Chano Pozo Gonzalez, penyanyi Machito. Mereka bersama jawara terompet Amerika Dizzy Gillespie mengembangkan Afro-Cuban Jazz. Para eksil Kuba pascarevolusi itu juga ambil bagian mempopulerkan salsa, mambo, rumba, cha-cha-cha ke segala penjuru dunia.
Pada 1993, komposer Paquito d’Riviera di Miami mengadakan perhelatan antargenerasi para musisi eksil Kuba. Mereka yang pernah malang-melintang di forum jazz dunia berkumpul, termasuk Arturo Sandoval, yang pernah manggung di Jakarta dan sama sekali tak suka pada Castro.
Pada 1996, Ry Cooder, seorang pemusik Amerika, mengunjungi Havana. Ia mencari veteran-veteran musisi Cuba yang telantar dan dilupakan. Secara mengejutkan ia menemukan Ibrahim Ferrer menjadi penyemir sepatu. Satu per satu anggota Buena Vista yang hidup ia cari.
Ia menemukan semua sudah uzur, di atas 60-an. Ruben Gonzales, pianis yang sangat berpengaruh mengembangkan gaya Buena Vista, tak lagi menyentuh tuts lebih dari 10 tahun. Dan Compay Segundo, seorang ”legenda hidup”, khazanah lagu-lagu pra-Revolusi, masih mengisap cerutu tiap hari. Lalu biduanita Omara Portuondo, yang sering disebut ”Billy Holliday” Kuba. Eliades Ochoa, gitaris yang mengembara ke klub-klub kecil sepanjang Santiago.
Ry Cooder membawa mereka ke studio. Sangat mengharukan. Setelah menyanyikan bersama lagu Veinte Anos, Ibrahim Ferrer dan Orma menangis berpelukan. Tak terduga sambutan terhadap album ini luar biasa. Album ini mendapat Grammy. Cooder lalu mengajak sineas kenamaan Jerman Wim Wender mendokumentasi mereka.
Siapa pun yang mendengar mereka menyanyi, melantunkan lagu-lagu trubadur Kuba pra-Revolusi yang hampir hilang itu, seperti membayangkan perihnya Kuba kini. Romantisnya Kuba. Tragisnya Kuba. Kebahagiaan menjadi warga Kuba. Ketakutan sekaligus kecintaan pada Fidel. Dan mata masyarakat dunia pun terbuka, ternyata jazz masih hidup di Kuba.
Mengharukan ketika menyaksikan para anggota Bueno Vista merayakan ulang tahun Castro ke-75. Film Fidel, The Untold Story karya Estela Bravo menampilkan sekilas kejadian itu. Compay Segundo menari-nari, menyanyi tentang mawar dan cinta. Berseragam militer kebesarannya, Castro agak terpana memperhatikan Segundo. Kakek Ruben Gonzalez tertawa, terbungkuk-bungkuk menyalaminya. ”Castro punya selera lelucon tinggi,” kata Ibrahim Ferrer. Lalu Ferrer bercerita bagaimana pada acara itu Castro mengatakan suka jam emas yang dipakainya. Lalu Castro memintanya serta mengenakan jam tangan itu dan baru dikembalikan sampai saat Ibrahim mau pulang.
Pertemuan itu mengharukan. Apalagi Ruben Gonzales wafat dalam usia 83 tahun, Juli 2003. Pada Desember 2003 itu, Compay Segundo juga meninggal pada umur 95 tahun. Dan Ibrahim Ferrer pada 2005 meninggal di usia 78 tahun. Havana kehilangan putra-putranya yang paling romantis. Ingat, dalam film itu, tanpa perasaan dendam Compay Segundo memuji Castro: ”Castro ingin agar semua warga berbudaya.”
”Music is music. Music is not politics,” kata Jesus Chuco Valdes, kini 65 tahun, salah satu raksasa jazz Kuba. Ia seolah menekankan, selama kekuasaan Castro pun, jazz berkembang di Kuba. Ia seolah menampik pendapat seorang penulis buku jazz yang mengatakan jazz yang identik dengan kebebasan tidak bisa hidup di Kuba.
Jesus Chuco berasal dari keluarga pemusik. Bebo Veldes, ayahnya, adalah pianis yang memiliki peranan penting dalam perkembangan mambo. Pada 1961, ayahnya eksil meninggalkan Havana. Mulanya ia anggota Orquesta Cubana de Música Moderna, tapi kemudian ia mengembangkan sendiri gaya salsa dan latin jazznya. Tiap Desember ia menyelenggarakan Havana Jazz Festival. Dua albumnya, Bele Bele en La Habana dan Solo Piano, diproduksi oleh Blue Note, sebuah label yang menjadi ukuran para maestro jazz dunia. Ia meraih Grammy Award pada 1998, tapi ia mengakui popularitas Bueno Vista membuat dirinya menjadi terangkat.
Sekarang Castro dalam keadaan sakit keras. Para migran pengusaha Kuba dari sisi ekonomi menyiapkan diri berbagai kemungkinan untuk Kuba era pasca-Castro. Akan halnya para musisi jazz mungkin membayangkan terjadinya sebuah festival besar bersama antara mereka yang eksil dan yang tetap bertahan. Sebuah jam session yang bukan di Miami, tapi di Havana.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo