Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA suatu malam di Bufallo, New York, yang gelap dan basah, seorang lelaki yang mengendarai sedan hitam mengajak seorang pekerja seks dari tepi jalan. Begitu mereka berbasa-basi pemanasan sebelum saling menerkam, sang lelaki mendeteksi ternyata sang pekerja seks adalah seorang transgender. Lelaki itu menghajar dia habis-habisan. Sembari menghajar, sang lelaki menyatakan tertipu karena dia sebetulnya berniat memproduksi anak dengan sang perempuan. Tubuh korban dimutilasi dan disimpan di lemari es.
Dengan nama-nama yang dikenal sebagai aktor watak, seperti John Cusack, Jennifer Carpenter, dan Mae Whitman, film bertema kriminal, The Factory, pada awalnya menjanjikan sesuatu yang baru setelah kedahsyatan The Silence of the Lambs (Jonathan Demme, 1991) dan Se7en (David Fincher, 1995) yang legendaris itu. Problemnya adalah film detektif, polisi, dan petugas forensik sudah menghantam ruang tamu pemirsa dunia melalui suburnya serial prosedural, dari serial Law and Order (Dick Wolf, 1990-2010), yang bertahan belasan tahun sampai kini; serial CSI (Ann Donahue, Anthony E. Zuiker, 2000 sampai sekarang); hingga NCIS (Donald Bellisario, 2003). Hollywood lalu mengembangkan diri dengan membuat serial investigasi pembunuhan berantai, seperti Criminal Minds (Jeff Daniels 2005-sampai sekarang) yang keras dan kelam serta serial prosedural yang lebih ringan, The Mentalist (Bruno Heller) atau Bones (Hart Hanson).
Maka penonton dunia sudah terlatih menyaksikan film atau serial dengan plot, putaran, lengkungan cerita, hingga kejutan gaya film kriminal. Artinya, para sineas dan produser masa kini yang ingin membuat film detektif harus memeras otak untuk membuat sesuatu yang berbeda, istimewa, dan unik. Apakah The Factory memenuhi persyaratan itu?
Film The Factory langsung menyajikan persoalan kasus seorang Jack the Ripper abad modern. Seorang pelaku pembunuhan berantai yang menculik para pelacur. Bedanya, sang pembunuh sama sekali tak menyisakan jenazah. Pelacur yang diculiknya lenyap begitu saja tanpa bekas. Adalah detektif Mike Fletcher (John Cusack) yang dengan gigih mengendus, mencari, dan menyusuri hingga tahap obsesif, sedangkan partnernya, detektif Kelsey Walker (Jennifer Carpenter), selalu ragu terhadap teori Fletcher tentang tewasnya para pelacur itu. Karena Fletcher belum juga berhasil memecahkan teka-teki kasus ini, investigasi ini terancam dipetieskan.
Dengan munculnya tokoh Abby Fletcher (Mae Whitman) sebagai anak remaja Mike Fletcher, penonton yang terbiasa dengan film detektif sudah tahu bahwa korban penculikan berikutnya pastilah putri sang detektif.
Pada akhirnya berbagai belokan dan kejutan di setiap pergantian babak terlalu mudah ditebak. Meski John Cusack dan Mae Whitman adalah dua aktor terkemuka yang selalu menyajikan seni peran yang intens, plot film ini tak lagi mengejutkan. Bahkan karakter Kelsey Walker seperti dicangkokkan dari serial Dexter. Jennifer Carpenter, yang berperan sebagai Debra Morgan, adalah detektif yang fungsinya selalu ragu terhadap temuan abangnya, Dexter Morgan (Michael C.Hall), ahli forensik khusus darah, yang sebetulnya pelaku pembunuhan berantai. Di dalam film ini, tokoh Kelsey Walker betul-betul mirip sosok Debra Morgan. Hingga akhir cerita, ternyata identitas sang pelaku pembunuhan berantai sungguh mengejutkan.
Persoalannya, berhasilnya sebuah film thriller tidak terletak pada bagaimana suspens itu membuat penonton jungkir-balik dari kursinya, tapi seberapa jauh daya kejut tersebut bisa dipercaya sebagai akhir cerita yang wajar, yang tidak dipaksakan. Suspens The Factory, meski memang sangat menggelegak, tetap mengganggu karena jalinan cerita ini terlalu dipaksakan dan mengasumsikan betapa bodohnya para detektif yang luar biasa terlatih itu.
Meski sinematografi dan seni peran film ini tetap terpelihara, justru kerangka plot film inilah yang paling lemah. Yang membuat kita bisa tetap betah menyaksikan film ini hanyalah penampilan duo ayah-anak John Cusack dan Mae Whitman.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo