Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Laki-laki Sangsara

Iman Suwongso bergiat di Komunitas Belajar Menulis (KOBIS) “Merajut Sastra” di Malang, Jawa Timur.

28 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laki-laki Sangsara
Iman Suwongso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Ibu selalu menuntunku ke bawah pohon nangka ketika mataku mulai merah menyala, dan genggamanku menghunus pisau dapur. Pada mataku hanya tergambar wajahnya. Ibu selonjor di atas tikar pandan, tubuhku dibaringkan di sisihnya, dan kepalaku diletakkan pada pangkuannya. Jemari Ibu yang lembut mengusap rambutku yang ikal. Dan, dari mulutnya meluncur cerita-cerita, dan pada ujungnya membuat darah pada mataku berangsur mengalir, mengembalikan mataku menjadi putih dengan lingkaran hitam pekat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kisah yang didedahkan dalam telingaku tak pernah lepas dari sosok seorang laki-laki desa yang kulitnya menghitam dibakar matahari. Ladang yang terik menjadi latar utama ceritanya. Pada hamparan tanah kering, laki-laki itu bercucuran keringat, punggungnya terbuka tanpa sehelai baju yang melindungi kulitnya. Ia sudah keluar rumah dengan cangkul di pundaknya ketika suara kokok ayam mulai berkumandang.

Dan, laki-laki itu baru meninggalkan ladang ketika kegelapan mulai menguasai bilik-bilik rumahnya. Pulangnya seperti ditelan goa yang datang setiap malam. Sesudah itu, ia tidak kelihatan lagi.

Getaran suara yang muncul dari kerongkongan Ibu, dapat aku rasakan bahwa Ibu bangga kepadanya, pernah dekat dengannya, dan memujanya bak pahlawan yang butuh dibangun monumen di sisi pohon nangka.

Dan, ibu melanjutkan ceritanya: laki-laki itu masih muda; belum beristri belum beranak. Juga tidak memiliki orang tua, apalagi sanak keluarga. Hidup laki-laki muda itu hanya berputar pada garis edar rumah gelap dan ladang yang membara. Pada hari-hari, bulan-bulan, dan tahun-tahun yang terus berganti.

Pada usianya menjelang angka tiga puluh, ladangnya semakin luas. Tenaganya tidak mampu lagi menuntaskan tanah-tanah yang ia garap. Ia butuh orang lain untuk mengerjakan tanah-tanah itu. Tetapi, ia tidak mau menggunakan tenaga laki-laki yang ada di desa itu. Alasannya banyak. Terutama, ia tak mau hasil ladangnya mengalir ke kantong-kantong mereka.

Suatu sore, ketika bilik gelap rumahnya siap menerkam, ia pergi ke rumah seberang sungai. Rumah dinding bambu yang kelihatan berasap dari kejauhan. Itulah pertama kali ia meninggalkan bilik gelapnya selain ke ladang. Laki-laki itu melamar seorang gadis pencari kayu bakar, putri seorang Mbok Rondo yang usianya sudah lanjut. Mereka kawin, menjadi suami-istri, tinggal di bilik gelapnya.

Tapi, perkawinan itu tidak mengubah hidupnya. Ia sudah keluar rumah dengan cangkul di pundaknya ketika suara kokok ayam mulai berkumandang. Semangatnya tak mau didahului ayam-ayam yang akan mematuk rezekinya. Istrinya tidak pernah mengantarnya sampai pintu bilik.

Dan, laki-laki itu baru meninggalkan ladang ketika kegelapan sudah menguasai bilik-bilik rumahnya. Kalaupun ada yang berbeda dari sebelumnya, sore-sore rumah itu dari kejauhan kelihatan berasap. Bilik-bilik gelap berasap tersebut menelannya setiap malam. Sesudah itu, ia tidak kelihatan lagi.

Suara Ibu memberat: hidup mereka berputar seperti itu, hari demi hari, bulan demi bulan. Sampailah pada tahun ketiga pamit, laki-laki itu mengusir istrinya. “Kamu tidak bisa memberi aku anak laki-laki, untuk membantu mengolah tanah yang kian menghampar itu.”

Perempuan itu pergi tanpa meninggalkan jejak di tengah malam.

Sesudah itu, tidak ada yang berubah. Laki-laki itu hidup berputar pada porosnya lagi; dari ladang yang makin luas ke bilik gelap yang menelannya sepanjang malam. Tetapi, sepanjang malam, ia selalu bermimpi memiliki anak laki-laki yang bisa berangkat bersamanya ke ladang ketika ayam-ayam mulai berkokok.

Pada hari ke-303 setelah ia mengusir istrinya, ia berjumpa dengan seorang perempuan pemetik bunga-bunga liar di pinggir hutan saat petang mulai menyergap.

Malamnya, laki-laki itu datang ke gubuk bambu perempuan pemetik bunga. “Aku ingin anak laki-laki dari rahimmu,” lamarnya.

Perempuan pemetik bunga matanya berkaca-kaca. Ia teringat kata-kata emaknya, ketika napasnya sudah tinggal di leher. “Kamu menyimpan benih anak laki-laki.” 

Perempuan itu mengangguk. Laki-laki itu memboyongnya.

Tidak lama. Bahkan kurang sembilan bulan. Suara lengking tangis bayi laki-laki mulai merobek keheningan bilik gelap. Laki-laki itu melompat dari ladang ketika guguran bara meluncur dari puncak gunung menjelang surup. Dalam dadanya seperti meledak. Dalam rongga telinganya menggema suara lengking bayi.

“Anakku!” katanya menerobos gelap bilik rumahnya.

Laki-laki itu sepanjang malam wajahnya bersinar. Sepanjang malam telinganya dibuka, tangis anaknya menggema dalam rongga telinganya seperti petir yang sebentar lagi mengguyurkan hujan di pucuk-pucuk daun jagung. Dengkurnya menerpa daun telinga, seperti silir angin yang mengusir terik matahari.

Laki-laki itu ingin sekali berdiam lama dalam bilik gelap rumahnya, untuk menunggui anak laki-lakinya. Hanya kokok ayam yang mengusirnya untuk segera pergi ke ladang. Bermalam-malam ia terjaga, berhari-hari ia kembali ketika bilik sudah gelap. Tetapi, suatu sore, ia pulang lebih awal. Ia melihat anak laki-lakinya sedang dimandikan ibunya.

Tetapi! Kamu tahu? Laki-laki itu melihat tubuh anaknya telanjang. Lantas, ia balik keluar dari bilik dengan wajah menyala, dengan mata melotot. Tak pulang sampai bayi itu selapan. 1) Ketika ia pulang, seperti kapuk yang diembus angin. Hanya sejenak, tak lebih lama dari dengus napas.

Terakhir kali laki-laki itu menemui perempuan pemetik bunga yang telah memberinya anak laki-laki, hanya untuk mengusir perempuan itu dari bilik gelapnya.

“Anak laki-laki yang kamu berikan, tak ada guna!” bentaknya, sambil mendorong tubuh perempuan pemetik bunga.
Perempuan itu mendekap anaknya pergi ditelan malam, dibalut kepulan debu yang berkibar-kibar sepanjang jalan. Pergi jauh ke dalam hutan, membangun gubuk dari klaras. 2)

Mengapa kawin? Tanyaku. Ibu menghela napas. Keluarga bukan menjadi tujuannya. Ia hanya menginginkan tanah-tanah yang telah diraih dengan cucuran keringat tak lepas dari genggamannya.

“Katanya, hanya anak laki-laki dari benihnya yang bisa dipercaya,” kata Ibu.
Bukankah anaknya laki-laki?

Ibu mengusap rambutku yang ikal. “Anak laki-laki yang diharapkan, lahir tidak sempurna, Nak. Kaki dan tangannya tidak genap.”

***

Sontak aku bangkit dari pangkuan Ibu. Mataku kembali menyala. Memerah! Lenganku gemetar menggenggam pisau.

Aku tinggalkan Ibu bersimpuh di bawah pohon nangka dengan tatapan mengikuti langkahku. Aku mendirikan orang-orangan sawah dari rumput ilalang di tepi sungai. Wajahnya aku buat semirip mungkin dengan wajah Abu, bapakku.

“Kaki kananku buntung! Lenganku pendek sebelah! Jalanku melompat-lompat! Tak ada guna!” teriakku kepada orang-orangan sawah.

Tetapi lengan kiriku kuat! Aku melempari orang-orangan sawah itu dengan pisau dapur. Ia seperti bernyawa, bisa menghindar ketika pisau itu hampir menyentuh matanya. Darahku semakin deras mengalir ke bola mata. Dendamku makin menggumpal.

Aku melemparinya dengan pisau berulang-ulang. Tak puas ketika mata pisau yang kulempar hanya menggores dan memutus serpihan rumput ilalang menjuntai pada lengan bapakku. Aku pungut pisau-pisau dapur yang berserakan. Aku lemparkan lagi dengan lengan kiriku sepenuh tenaga. Sebuah pisau menancap tepat di dada orang-orangan sawah itu.

“Modar!” teriakku, sambil bercucuran air mata.

Gumpalan awan di atas sungai diam dan beku. Ibu terisak di bibir tebing sungai.

“Bara!” Pekik Ibu. Tanggalkan pisau-pisau itu, Nak. Hidupmu sewangi sari mawar. Hanya bangkai yang dikungkung oleh jengkal-jengkal tanah. Ia lelaki yang sangsara. Awal hidupnya sudah sangsara, ia memilih hidup yang sangsara. Ia akan mengakhiri hidupnya dengan sangsara. Pisau-pisaumu jangan untuk menuntaskan dendammu, Nak.” Ibu sesenggukan.

***

Aku berkemas. Aku pergi meninggalkan gubuk daun klaras, meninggalkan Ibu yang mematung di bawah pohon nangka. Wajahnya pucat, sekelabu debu yang menempel di kulit dedaunan. Debu lava erupsi gunung semalam.

Aku menyusuri pelosok belantara. Melompat. Melompat. Melompat dengan hanya kakiku yang sebelah. Aku babat duri-duri perdu yang membentang pada jalan berliku. 

Hari itu, pada hari ketujuh belas, aku menemukannya. Ia terkapar di bawah pohon kenari. Napasnya berat. Wajahnya kusut. Sisa kulitnya yang menghitam sudah keriput. Tanah yang ia puja sepanjang hidupnya, sekejap ditenggelamkan bara yang meluncur dari mulut gunung.

“Hai, orang-orangan sawah! Bangun! Malaikat yang akan mengeluarkan matamu sudah di hadapanmu,” bentakku. Pisau dalam genggamanku berkilat.

Matanya membelalak. Bibirnya bergetar. Aku menatap matanya lekat-lekat. Pada lensanya terpantul betapa sangsara laki-laki itu, terkungkung dalam bilik gelap kekikiran. 

Tatapan itu menjadi tatapan pertama dan terakhir mataku dengan matanya. Ia berdesis hampir tak jelas, “Sampaikan ampunku kepada anakku, Bara...” Sesudah itu, matanya menutup pelan-pelan. Ia pergi meninggalkan kesangsaraannya.

Aku teringat Ibu, ceritanya seperti titah. Gumpalan dalam dadaku luruh, pisau dalam genggamanku jatuh.


Catatan:
1) selapan: peringatan tiga puluh enam hari setelah kelahiran
2) klaras: daun pisang kering


Iman Suwongso bergiat di Komunitas Belajar Menulis (KOBIS) “Merajut Sastra” di Malang, Jawa Timur. Ia telah menerbitkan kumpulan cerpennya, Si Jujur Mati di Desa Ini (Penerbit Kota Tua, Mei 2017). Sedang menyiapkan dua kumpulan cerpen: Topeng di Meja Bupati dan Perempuan Kunang-kunang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus