Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Madah Duka Lara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adam Gottar Parra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH bukit ketiga, napasnya terasa sesak! Ia tumpangkan dagunya di atas batu di tengah jalan, karena tak sanggup lagi meneruskan perjalanan melewati bongkahan-bongkahan batu menuju bukit berikutnya. Tenaganya keburu habis. Peluh telah mengering di badannya. Seolah menemukan bantal empuk di amben gubuknya, seketika ia tertidur lelap di bawah terik matahari yang berpijar di atas bukit. Kepedihan yang dialaminya membuatnya tak lagi merasakan hawa panas permukaan batu yang terpanggang terik matahari. Ia tertidur pulas sambil memeluk batu di bawah kepalanya yang terbungkus topi kupluk. Begitu terpejam, serta-merta ia didatangi mimpi serupa potongan-potongan gambar surealis dari film lawas dengan pita seluloid yang berjamur. Namun tidak sampai mengusik tidurnya. Ia tetap mendengkur seperti mesin jahit tua di lorong pasar.
Sudah dua hari ia merangkak seperti beruk tua, menyeret kakinya yang patah dari bukit ke bukit. Rasa sakit yang bersarang di pangkal pahanya telah memaksa ia pergi sendiri ke puskesmas desa untuk mencari obat generik, guna meredakan nyeri yang merayah urat-sarafnya. Tetapi, puskesmas pembantu yang hendak ditujunya masih terlalu jauh, enam atau tujuh bukit lagi. Jika untuk melewati tiga bukit saja memerlukan waktu dua hari lebih, apalagi tujuh bukit? Dengan kondisi kesehatan yang kian memburuk dan perbekalan yang minim (tinggal tiga butir ubi, tanpa air minum), sulit dibayangkan untuk sampai ke sana.
Sewaktu ibunya masih hidup, Goli tidak terlalu menderita seperti sekarang. Sejak terjatuh dari pohon nangka (saat mengambil sarang burung punai) di hari yang nahas itu, ibunyalah yang mengusahakan berbagai jenis obat, dari ramuan tradisional hingga obat olahan pabrik. Setiap obatnya habis, ibunya akan segera pergi ke puskesmas dengan naik kuda atau menumpang pada angkutan umum yang mangkal di lembah. Kendati kerja keras ibunya gagal mencegah pembusukan di kaki Goli, sehingga kaki kanannya terpaksa diamputasi dengan kapak, lalu dibuang ke sungai.
Tapi, sejak ibunya meninggal (wanita itu tewas dalam kecelakaan truk di ngarai), tak seorang pun yang menolongnya. Ia tak punya kerabat dekat. Sedangkan ayahnya sudah sewindu menghilang. Pria itu tak berani pulang ke rumah karena takut pada penagih utang yang tiap hari menyatroni rumahnya. Beredar kabar bahwa ayahnya telah tewas tertembak dalam peristiwa perampokan di Serawak. Sampai sekarang Goli masih menyimpan sobekan koran bergambar peti mati, yang memberitakan kematian ayahnya (meskipun Goli tak bisa membacanya). Sementara para tetangga juga enggan menghampiri rumah di ladang jagung itu. Mereka merasa jijik pada kaki Goli yang tak kunjung sembuh. Karena tak ada orang yang sudi menolongnya, Goli pun pergi sendiri ke puskesmas pembantu. `
Pagi itu sebenarnya Goli sudah duduk di bangku bus angkutan desa (mobil VW Combi tua) yang biasa mangkal di celah bukit, untuk mengangkut orang-orang desa yang hendak ke pasar. Tapi kehadiran Goli yang dirubungi lalat dan meruapkan bau busuk membuat para penumpang beramai-ramai turun dari kendaraan sambil menyumpal hidung. Melihat penumpangnya kabur, sopir bergigi emas itu pun menyuruh Goli turun. Sikap para penumpang dan sopir angkutan yang tidak bersahabat itu membuat Goli amat terpukul. Tapi ia tak berdaya menghadapi kehendak orang banyak, sehingga terpaksa mengalah dan merangkak turun dari bus sambil menggerutu.
Karena diusir dari angkutan umum, Goli pun memutuskan untuk pergi sendiri lewat jalan pintas di atas bukit, ditemani anjingnya, yang sejak tadi telah menunggunya di bawah pohon sagu di pinggir jalan. Insting hewan itu seolah sudah tahu bahwa Goli akan berpergian sendiri, sehingga anjing betina berbulu merah itu merasa perlu menemani tuannya.
“Lo, Dara, kamu kok ada di sini?” kata Goli, seolah binatang itu paham bahasa manusia. Goli tidak menyadari saat Dara membuntuti langkahnya dari belakang tadi. Ia mengira anjingnya masih tidur-tiduran di kolong amben. Ternyata ada di dekatnya. Dara pun berdesis sambil mengendus-endus lengan Goli yang bertumpu di permukaan tanah yang miring.
Setelah berbisik pada mendiang ibunya di swargaloka, Goli pun mengajak Dara berangkat, menyusuri jalan setapak yang membelah bukit-bukit yang membujur dari utara ke selatan. Terlihat Goli menyeret kakinya yang patah di tanjakan berkerikil, diikuti Dara dari belakang. Sesekali Dara akan berlari-lari kecil dan menyalib Goli yang merangkak dengan susah-payah, lalu berjalan di depannya. Setiap menggerakkan kaki, batu-batu kerikil akan bergesek dengan luka di lututnya. Tapi, keinginan untuk memperoleh obat membuat Goli tetap nekat menyeberangi bukit-bukit mati itu. Dalam kepedihannya, sesekali Goli akan melontarkan kata-kata yang tidak bersahabat dengan dirinya, “Ketimbang hidup sengsara, lebih enak jadi babi!” rutuknya, sambil melirik seekor babi yang berlari di jurang. Kadang, jika lehernya terasa pegal, Goli akan meminta bantuan Dara untuk membawa tas keresek hitam berisi ubi dengan mengalungkan talinya ke leher binatang itu.
Menjelang tengah hari, saat berada di ketinggian 1.485 meter di atas permukaan laut, seraya menyeka peluh di dahinya, Goli memandang jauh ke timur, pada barisan bukit-bukit yang merunduk seperti kawanan ternak yang sedang merumput. Jauh di kaki langit berdiri pucat gedung-gedung perhotelan yang seolah menyembul dari rimbun pepohonan. Menyadari betapa jauhnya tempat yang hendak dituju, Goli merasa kecut (membayangkan dirinya tidak akan sampai ke sana!). Tapi rasa nyeri di sekujur tubuhnya memaksanya untuk terus merangkak di jalan setapak berkelok-kelok yang seolah tanpa ujung itu.
Di malam hari, saat Goli istirahat di bawah pohon randu di pinggang bukit, Dara tetap berjaga-jaga sambil berjalan mondar-mandir di sekitar Goli yang sedang tidur, seolah hendak melindungi tuannya dari gangguan binatang buas. Lewat tengah malam Dara mendadak terkesiap dan menegakkan kuping saat kontak mata dengan titik-titik cahaya merah yang bergerak simpang-siur dalam gelap. Dikejutkan oleh lengkingan suara Dara yang melolong di dekat kupingnya (menimpali lolongan puluhan anjing hutan di lembah), Goli sontak terjaga dan melihat puluhan titik merah menyorot ke arahnya, disusul lolongan yang membuat berdiri bulu kuduk. “Anjing hutan!” gumam Goli, panik, sambil memegang kaki Dara kuat-kuat, agar tidak pergi bergabung dengan kawanan anjing liar itu. Goli merapal mantra leluhur dengan suara terbata-bata. Tapi, anjing-anjing hutan yang lapar itu terus melolong, hingga Goli terpaksa menempeleng moncong Dara yang hendak menimpali lolongan ingar-bingar di lembah itu. Kemudian, saat fajar membias langit timur, Goli buru-buru mengajak Dara pergi, mengikuti jalan setapak yang masih tampak samar dalam bayangan bukit batu di depannya.
Setelah menuruni lereng bukit yang landai di sisi utara tebing, sejurus kemudian Goli tampak seperti ngengat yang merayap di sulur pakis saat menyeberangi titian dari batang pohon tumbang di atas sungai mati, lalu membelah stepa tandus yang menghubungkan bukit-bukit yang jarang dilalui manusia, bahkan oleh makhluk halus. Kecuali oleh orang-orang susah, para pejalan kaki, yang tidak punya ongkos untuk naik bus sumbangan pemda yang mesinnya terus terbatuk-batuk di sepanjang jalan. Tetapi, itu lebih baik ketimbang berjalan kaki. Apalagi merangkak dengan kaki yang buntung?
Entah sudah berapa lama Goli tertidur, ketika di akhir mimpinya ia menyaksikan tubuhnya sendiri berubah menjadi anjing berbulu merah yang sedang dipanggang dalam kobaran api. Goli juga melihat puluhan pria dan wanita dengan kulit penuh rajah dari arang dan kapur menari-nari mengelilingi api unggun sembari melantunkan madah dukalara dalam bahasa Igau tua (sebuah suku di dunia peri). Saat itu Goli kesulitan membedakan dirinya dengan Dara. Namun, tiba-tiba terdengar letusan disusul bau tulang yang hangus terbakar dari tempurung kepalanya yang pecah dalam kobaran api. Goli tergeragap, dan seketika merasakan sengatan hawa panas di kepalanya yang beralas batu.
Rasa haus membuat Goli meraba-raba tabung bambu yang tergantung di lehernya. Digoyangnya benda itu perlahan. Kosong! Diminum dua hari berturut-turut oleh Goli dan Dara, air di dalam tabung itu pun habis. Keduanya kini menahan haus, seperti pohon-pohon meranggas di lereng bukit.
Tetapi, sekonyong-konyong Goli merasakan ada benda dingin yang sesekali menyentuh pipinya. Ia menoleh ke kiri, tampaklah lidah Dara terjulur dalam jarak sangat dekat, hanya beberapa senti dari pipinya. Anjing itu juga tampak kehausan. Napasnya terengah-engah. Tadi malam lidah Dara sempat menjilat-jilat air kencing Goli yang sudah terserap ke dalam tanah. Bekas lidahnya membentuk kubangan kecil di tanah.
Tanpa membuang waktu, dengan harapan ingin mendapatkan setetes air liur di moncong Dara—untuk membasahi mulutnya—Goli langsung mengulum lidah Dara dengan bersemangat. Seolah mengerti maksud tuannya, Dara pun menjulurkan lidahnya keluar, agar dikulum oleh Goli. Tapi sia-sia, Goli tidak memperoleh setetes air liur pun. Lidah Dara benar-benar kering seperti karet.
Dongkol karena tidak memperoleh air liur di moncong Dara, secara tak sengaja Goli melirik deretan puting susu di perut anjing betina itu. Wajah Goli seketika berbinar, seolah melihat harapan hidup pada enam puting susu mirip biji kacang itu. Tanpa menunda, Goli langsung menetek pada puting susu Dara yang berdiri pasrah di depannya. Sembari meremas-remas kelenjar susu Dara, Goli terus mengisapnya dengan suara mulut berdecap-decap. Tapi, tak memperoleh air susu, sehingga mulut Goli segera berpindah ke puting lainnya. Begitu seterusnya, dari puting yang satu ke puting berikutnya. Namun lidah Goli tidak mencecap setetes air susu pun. Anak-anak Dara memang sudah besar, sehingga induknya tidak mereproduksi air susu lagi.
Dari bawah perut anjing, Goli memandang lurus ke timur, ke balik bukit-bukit dengan latar beberapa gedung perhotelan di antara pohon sagu. Dan puskesmas pembantu yang hendak ditujunya berada di bawah menara orari. Jauh, masih sangat jauh. Lebih dekat ke rumahnya di Dusun Kerotok ketimbang ke Puskesmas Pembantu di Desa Balara. Harapannya untuk memperoleh obat generik pun pupus.
Di benak Goli terbersit keinginan untuk kembali, sehingga iseng menengok ke belakang, mencari-cari letak gubuknya di balik deretan pohon sagu. Ia tak melihat Dusun Kerotok, apalagi rumahnya yang tersembunyi di tengah ladang jagung. Mengetahui kenyataan itu, Goli pun sadar bahwa tak mungkin kembali ke rumahnya tanpa air minum.
Lantas, apa yang harus diperbuat?
Goli melirik ke ekor Dara yang tersembunyi di antara kaki belakang. Dalam keadaan lapar, melihat ujung buntut mirip sosis itu, muncul keinginan untuk memakannya. Daripada mati kelaparan, dan jadi santapan anjing hutan, kan lebih baik mati karena saling memangsa, pikirnya. Goli akan mengusulkan kepada Dara untuk saling memakan, sebelum akhirnya ajal mengurai tubuh mereka jadi tanah, air dan udara. Goli akan menawarkan kakinya yang busuk untuk dimangsa lebih dulu oleh Dara. Setelah itu, Dara juga harus merelakan ekornya untuk dimakan oleh Goli. Disusul organ tubuh lainnya pada hari-hari berikutnya, hingga keduanya tinggal deretan gigi yang saling berpagut, mempertahankan hidup!
“Bagaimana, Dara, setuju?” kata Goli sambil mengelus-elus buntut Dara.
Awalnya Dara tampak ragu-ragu karena mengira Goli sedang menguji kesetiakawanannya. Tapi, setelah tahu Goli bersungguh-sungguh, Dara pun berdesis-desis di kuping Goli.
Goli menyodorkan ujung kakinya yang busuk ke moncong Dara.
Langsung diterkam...!
***
SUDAH hampir sebulan Goli terdampar di atas bukit tak bertuan ini. Suatu hari terlihat kawanan burung bangkai terbang berputar-putar di bawah awan, mengawasi onggokan tubuh Goli yang mirip patung dada di Tugu Revolusi, setelah kaki dan tangannya dimangsa oleh Dara. Karena setiap hari hanya saling memangsa, keduanya kini tinggal kepala. Dari leher ke bawah telah habis dimakan, tinggal tumpukan tulang di sisi sebongkah batu.
Hari itu dua butir kepala terlihat sedang bercakap-cakap seputar upaya mereka untuk mempertahankan hidup, ketika dari arah berlawanan, dari balik semak-semak di pinggir jalan, muncul seorang penunggang kuda, memakai kebaya usang. Rambut putihnya berkibar diterpa angin yang berhembus dari celah bukit. Kedatangan wanita itu membuat wajah Goli langsung berseri-seri. “Obatku sudah datang!” katanya lirih, seraya tersenyum pada wanita di atas pelana kuda itu. Berbeda dengan Dara, yang menyambut kedatangan wanita itu dengan menyalak.
“Dara, saya kalah!” bisik Goli, lalu tersedak. Sorot matanya memudar.
Menyaksikan Goli menyerah, Dara sangat syok, dan hendak melompat untuk memeluk sahabatnya terakhir kali. Tapi ia tak bisa bergerak karena tak punya badan, sehingga hanya bisa berlinang air mata melepas kepergian Goli.
Perempuan kurus itu turun dari punggung kuda, lalu mengangkat kepala Goli dan meletakkannya dalam kain gendongan. Kemudian, dengan sigap melompat kembali ke punggung kuda, lantas memacu kudanya berlari menerjang bukit-bukit, meninggalkan Dara menutup mata.**
Adam Gottar Parra, lahir 12 September 1967, di Praya. Cerpen-cerpennya terbit di sejumlah media massa serta dalam beberapa buku kumpulan cerpen bersama. Penulis tinggal di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo