Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas monolog berjudul Amir, Akhir Sebuah Syair diperankan oleh Chicco Jerikho.
Sutradara Iswadi Pratama dan sutradara visual Yosep Anggi Noen menakhodai pertunjukan tersebut.
Menghadirkan kisah Amir Hamzah yang tewas pada masa revolusi.
“Mengapa harus patik (hamba) yang memegang parang dan menghantarkan kematianmu,” ujar Ijang Widjaja penuh sesal dalam tangis. Dialah yang memancung Amir Hamzah, lelaki yang diasuhnya sejak kecil. Masih lekat dalam ingatannya, tangan Amir kecil yang ia tuntun menuju surau. Di surau, ia melihat Amir duduk memandangi bintang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ijang pula yang mengajarkan kuda-kuda sebagai dasar bertahan dalam silat. Tapi, tak disangka, Amir menjemput maut di tangannya. Ia pun menghadapi penyesalan luar biasa, bahkan seperti kehilangan akal sehat. Tangisnya tak henti, tangannya membawa burung-burungan, mengingat Amir kecil yang santun, punya welas asih, dan tak pernah berkata kasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Chicco Jerikho menghadirkan Ijang Widjaja yang terbelenggu penderitaan batin dengan penuh penjiwaan. Sesaat sebagai Ijang, Chicco kemudian menjelma menjadi Amir Hamzah yang berusaha tenang meski hatinya remuk. “Ijang, tolong sampaikan (burung-burungan) ke Tahura,” ujarnya sambil mengangsurkan burung-burungan kepada Ijang.
Kisah Amir Hamzah, sastrawan Pujangga Baru yang tewas tragis semasa revolusi, dihadirkan dalam pentas monolog berjudul Amir, Akhir Sebuah Syair. Monolog yang dimainkan oleh Chicco Jerikho itu disiarkan melalui kanal YouTube Budaya Saya milik Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 24-25 Agustus 2021. Adapun pertunjukan dan perekamannya dilakukan di Gedung Kesenian Jakarta, Juli lalu.
Chicco Jerikho mementaskan 'Amir: Akhir Sebuah Syair' dalam seri monolog Di Tepi Sejarah pada 24-25 Agustus 2021. Youtube/Budaya Saya
Iswadi Pratama menulis naskah dan menyutradarai pamungkas seri monolog bertajuk Di Tepian Sejarah. Tiga monolog sebelumnya berjudul Nusa Yang Hilang, Radio Ibu, dan Sunyinya Sepi. Dalam monolog tentang Amir Hamzah ini, Iswadi berkolaborasi dengan Yosep Anggi Noen yang bertindak sebagai sutradara visual. Pentas ini diproduksi Titimangsa Foundation, Direktorat Jenderal Kebudayaan, dan Kawan Media.
Akting Chicco yang baru pertama kali bermonolog ini patut diacungi jempol. Ia memainkan enam karakter tokoh sekaligus dalam pentas berdurasi sekitar 75 menit ini. Chicco tampil sebagai roh Amir Hamzah, Amir Hamzah yang ditangkap dan diadili massa, lelaki misterius, bangsawan tua, serta Ijang Widjaja, si algojo.
Iswadi mengisahkan hidup Amir dalam alur maju-mundur. Yang pertama dari arwah Amir. Ia bercerita tentang sepenggal kisah hidupnya yang berutang budi kepada sang paman, Sultan Langkat. Ia meninggalkan harapan dan keinginannya, perjuangan melawan Belanda, dan kekasih yang dicintainya, Ilik. Amir muda yang penuh harapan perlahan luruh.
Selanjutnya, Chicco tampil sebagai lelaki misterius bertopi pandan dan bersarung. Ia dan keluarganya menyaksikan para kerabat Sultan yang berfoya-foya dengan Belanda. “Anak–anak kami lahir dan tumbuh dalam lapar dan waswas. Sedangkan anak-anak mereka sekolahnya tinggi, pakaiannya penuh kemilau dan wangi,” ujarnya penuh amarah. Ia berangkat memburu para kaum feodal.
Sesaat kemudian, situasi panggung berubah mencekam, dengan suara massa yang berteriak marah. Dalam remang, Chicco kembali menjadi Amir. Ia menyuruh anak istrinya lari, sementara dirinya dihujani pukulan dan cacian sebagai anjing feodal. Ia lalu dibawa ke ladang terpencil di Langkat, berselimut goni, meringkuk kusut, menekuri nasib. “Tahuraaaaa......!” Ia meneriakkan nama putrinya.
Seorang tua berpayung membawa sekeranjang bunga dan menabur di makam Amir. Ia seakan-akan sedang bercerita kepada Amir di kuburnya tentang nasib Kamaliah, istrinya. Juga nasib Ijang, sang algojo, yang menewaskannya. Kemudian lelaki tua itu beranjak meninggalkan gundukan kubur, sekali lagi ia menoleh melihat tanah bertabur bunga itu.
Chicco Jerikho mementaskan 'Amir: Akhir Sebuah Syair' dalam seri monolog Di Tepi Sejarah pada 24-25 Agustus 2021. Youtube/Budaya Saya
Set panggung yang sederhana, tata cahaya yang muram, dan lagu Melayu yang sendu, memperkuat suasana perih kisah itu. Akting Chicco yang hanya berkutat di panggung dengan gundukan tanah, beberapa tiang bambu, dan dua bangku ditangkap dengan bagus secara visual. Sebuah panggung yang sugestif dan simbolik.
Memerankan sejumlah karakter sekaligus bukanlah perkara mudah, terutama saat perpindahan dari satu karakter ke karakter lain. Salah satu hal yang sulit adalah perpindahan tokoh dari Ijang ke Amir, yang semula penuh tangis sesal menjadi sosok yang tenang. “Saat perpindahan itu harus smooth. Itu tidak mudah, terutama mengontrol napas dan emosi,” kata Chicco.
Apalagi persiapan sangat pendek. Chicco, yang selama ini berakting di film, hanya punya waktu 1,5 bulan menyiapkan diri untuk tampil. Awalnya ia hanya memerankan tiga tokoh. Dalam prosesnya, ia mengaku cukup gelisah. Chicco pun mencari berbagai referensi buku tentang Amir dan Ijang untuk membantu menemukan karakter di pentas. Tapi ia masih kesulitan.
Ia baru merasa lebih mudah menguasai naskah setelah berproses bersama Iswadi. “Semua naskah aku lahap dalam tiga hari,” ujar Chicco kepada Tempo, Kamis, 26 Agustus 2021. Iswadi mengatakan persiapan intensif antara dia dan Chicco berlangsung selama dua pekan. Ia pun memuji penampilan Chicco.
Iswadi menulis naskah dengan menonjolkan perspektif Ijang dalam porsi lebih besar, di samping perspektif dari Amir dan tokoh lain. Semua berangkat dari referensi sejarah. Kecuali soal burung, Iswadi mengakui itu fiksi, rekaannya untuk mengikat hubungan antara Amir, Ijang, dan Tahura. “Sebagai simbol kebebasan pula.”
DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo