Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gunawan Wibisono
Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Universitas Sebelas Maret
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak banyak buku karya para peneliti musik di Indonesia. Pengarsipan teks musik rata-rata masih bersifat karya jurnalistik. Mungkin kita mengenal peneliti-peneliti barat seperti Andrew Weintraub, yang meneliti dangdut di Indonesia; Phillip Yampolsky, yang pernah meneliti salah satu aset penting negeri ini: Lokananta; atau profesor dari departemen budaya populer Bowling Green State University, Jeremy Wallach, yang meneliti riuh-rendah musik Indonesia pasca-Soeharto. Lantas pertanyaannya kemudian, di mana peran peneliti-peneliti Indonesia? Buku ini "berani" memberi jawaban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku berjudul Lanskap: Mosaik Musik dalam Masyarakat ini merupakan bunga rampai berisi delapan esai tentang musik yang beririsan dengan masyarakat yang dikaji dari perspektif sosiologi, antropologi, fenomenologi, ekonomi, hingga politik. Buku ini merupakan seri publikasi kedua yang diterbitkan Yayasan Kajian Musik Larassebuah perkumpulan yang beranggotakan seniman cum akademikus di Kota Yogyakarta.
Sekilas buku ini terlihat seperti jurnal ilmiah yang ketat dalam kaidah teori dan metode. Tapi jangan khawatir, buku ilmiah ini dikemas dengan wajah dan penulisan populer. Temanya pun beragam, dari yang adiluhung, kontemporer, hingga hal remeh-temeh yang jarang mendapat sorotan. "Ruang" menjadi tema utama buku setebal 172 halaman ini. Tentunya bukan ruang secara fisik, melainkan ruang yang dimaknai secara sosial-kultural.
Esai pertama ditulis pengamat seni pertunjukan, Michael R.B. Raditya, dengan judul yang begitu menarik: "Gak Dangdut Gak Gethuk!". Tulisan ini berusaha memaknai relasi antara musik dangdut dan tukang getuk. Pembaca dituntun untuk menelusuri jalinan kasih antara dangdut dan penganan lokal, getuk. Kajian fenomenologis ini dikupas dengan kerangka analisis semiotik.
Dengan cukup telaten, Michael mewawancarai sedikitnya lima penjual getuk keliling di Yogyakarta. Sebagai penulis sekaligus peneliti, Michael sama sekali tidak terlihat tergesa-gesa dalam tulisannya. Ia tak buru-buru menduga bahwa dengan membawa musik dangdut di atas gerobak, penjual getuk akan serta-merta meraup keuntungan ekonomi. Michael sangat jeli melihat hal ini. Kelindan antara dangdut dan getuk ternyata mempunyai ragam makna, di antaranya dangdut sebagai representasi penjual getuk, dangdut sebagai daya energi saat berjualan, dan dangdut sebagai representasi masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya, ada M. Rizky Sasono yang menulis tentang konstelasi musikal di Jalan Kaliurang, yang akrab disebut sebagai Jakal. Sebagai praktisi musik, Rizky hendak merespons tulisan Max Richter dalam Musical Worlds in Yogyakarta. Dalam buku itu, Richter menulis tentang praktik musik di Keraton, daerah Malioboro, dan beberapa tempat makan yang memiliki aktivitas musikal. Namun buku itu belum mengulas aktivitas musikal di Yogyakarta bagian utara, dalam hal ini Jakal. Di kawasan itu terdapat Universitas Gadjah Mada, yang menjadi salah satu tempat penting dalam lahirnya pemusik-pemusik indie.
Dengan gaya menulis etnografis, Rizky menggambarkan ruas Jalan Kaliurang dengan cara menyusurinya bersama pemusik jalanan, Peter Lennon. Rizky mengalami musikalitas Jakal dengan mengamati berbagai kios, seperti toko komputer, gerai cetak foto, kedai makanan, hingga toko pakaian. Berbekal pemikiran Adorno, Rizky menemukan musikalitas Jakal sebagai apa yang disebut dengan pseudo-individualization. Variasi yang serentak pada ruang yang sama. Dalam hal ini, musik populer yang berada di kios-kios Jakal berpola dan terstruktur pada mekanisme kapitalistik.
Salah satu esai yang mengangkat "narasi besar" dalam sekujur buku ini adalah tulisan Ferdhi P. Putra. Ferdhi mencoba mengurai ideologisasi dalam praktik musik underground, dalam hal ini musik punk dan metal di Indonesia. Punk dan metal, yang notabene merupakan subkultur perlawanan dari bawah tanah, memunculkan kubu yang memperebutkan ruang-ruang ideologis.
Ferdhi cukup cermat dalam mengamati pertarungan ruang politis dalam kancah musik underground ini. Penjelasan Ferdhi cukup komprehensif. Ia mengurai secara historis embrio gerakan-gerakan Islam pada masa Orde Baru, gerakan punk masa reformasi, hingga kemunculan komunitas underground Islami. Berbekal teori produksi ruang sosial dari seorang Marxis asal Prancis, Henri Lefebvre, Ferdhi mengkaji perebutan ruang antara komunitas underground Islami dan underground sekuler.
Ferdhi mengambil contoh konkret dari pergelaran konser yang bertajuk "Titik Nol: Approach Deen Avoid Sins (ADAS)" pada 2010. Sebuah konser musik metal yang menyematkan unsur dakwah Islami di dalamnya: salam satu jari dan salat berjemaah. Namun, pada tahun yang sama, komunitas underground lainnya mengadakan konser tandingan yang diberi judul "Metal untuk Semua: Pro Pluralisme dan Anti Terorisme (MUS)". Sindiran bernada nyinyir terhadap kelompok underground Islami kerap muncul dalam konser MUS. Ihwal negosiasi kultural ini juga ditulis Wiman Rizkidarajat dalam penelitiannya tentang pertautan harmonis antara musik black metal dan institusi pesantren di Kemranjen, Banyumas, Jawa Tengah. Meski demikian, Ferdhi tidak terjebak dalam kecenderungan pada pihak tertentu. Ia hanya mencurigai pertarungan itu merupakan perebutan ruang sosial, budaya, politik, dan tentunya ekonomi.
Lain Ferdhi, lain Leilani. Perempuan dengan nama panggung Frau ini mengambil tema identitas dalam gamelan kontemporer. Frau secara khusus mencermati gamelan kontemporer Rahayu Supanggah.
Sedikit berbeda, Teraya Paramehta, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menulis tentang pengalaman historis ayahnya dalam mendengarkan lagu-lagu rock and roll yang saat itu dilarang rezim demokrasi terpimpin ala Sukarno. Narasi sosio-historis kental dalam esai ini.
Buku ini, secara tidak langsung, telah memantik siapa pun yang tertarik pada kepenulisan musik untuk menggali pengetahuan dan nilai-nilai intelektual yang terkandung di dalamnya. Entah itu sebuah fenomena musikal, isu-isu kontemporer, atau karya musik itu sendiri. Musik sebagai titik kecil yang berada dalam ranah kebudayaan telah berhasil menjadi subyek keilmuan tertentu.
Menurut saya, ini merupakan sebuah harapan sekaligus tantangan ke depan. Harapannya, semakin banyak peneliti Indonesia yang menyoal kebudayaan populer sebagai subyek keilmuan yang dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini juga menjadi tantangan, ketika realitas keilmuan kita masih menganaktirikan kajian-kajian interdisipliner yang menitikberatkan pada fenomena dan dinamika masyarakat postmodernism yang bergerak begitu cepat dan tak tentu arah.
Lanskap: Mosaik Musik dalam Masyarakat
Editor : Irfan R. Darajat
Kontributor : Michael H.B. Raditya, M. Risky Sasono, Mei Artanto, Ferdhi F. Putra, Leilani Hermiasih, Wiman Rizkydrajat, Teraya Paramehta, Gregorius Ragil
Penerbit : Yayasan Kajian Musik Laras
Cetakan : Januari, 2018
Tebal : xviii + 174 hal
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo