Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Darah segar yang lembut

Leo kristi bersama empat rekannya tampil di teater arena tim. kelompok arek suroboyo ini berhasil memu kau penonton dengan lagu-lagu pedesaan yang padat liriknya. (ms)

27 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA arek Surabaya itu masih seperti setahun yang lalu - ketika mereka de!n,gan menamakan diri 'Konser reka denga menamakan diri 'Konser Rakyat Leo Kristi' turun pertama kali di Teater Arena TIM, Jakarta. Tegar, ekspresif dan kadang lembut, tetapi tidak cengeng. 16, 17 dan 18 Agustus malam, penonton yang memadati kursi-kursi bisa mendengar dan melihat: Leo tampil dengan segar. Mengambil bentuk penampilan trio (Mung, Leo, dan Nanil), Leo Kristi membuka, pergelarannya dengan lagu Indonesia Raya. Sementara penonton masih mengalir, Leo sudah memetik senar gitar dan Mung menyusul dengan bas. Di bagian tengah lagu itu, Nanil meniupnya dengan block flute. Babak pertama dimulai dengan lagu Nyanyian Malam. Lagu itu jatuhnya masih kurang matang. Juga lagu kedua: Lewat Kiaracondong, dengan suara utama Leo sendiri. Andaikata ada dSstribusi suara yang berimbang, mungkin akan dihasilkan sebuah paduan yang agak kompak. Seperti pada lagu terakhir babak pertama yang bernama Peron. Dengan lirik yang padat, pola bermain saling mengisi, lagu ini empuk menembus telinga. Demikianlah peron yang hiruk pikuk jadi tegar di mata. Boven Digul Pipi Leo cekung, sosok ceking, bermata tajam. Dulu namanya Imam Sukarno, kini lebih senang dipanggil Leo Kristi. Sambil menghirup wedang jeruk di warung, Leo berkata: "Aku pengin nyanyi yang ekspresif, tegar dan atos, Aku gak seneng ndelok pemuda-pemuda sing model tenger-tenger (Saya tidak suka melihat pemuda-pemuda loyo). Sing cengeng kuwi kenemenen. (Yang cengeng itu keterlaluan)". Leo energetik. "Meskipun rakyat kecil, saya memandang kehidupan mereka dengan optimis. Gembira dan optimis itu yang saya cenderungi," lanjutnya. Di babak kedua, dia tampil sendiri. Layar di belakang telah diganti, ini secarik kain putih dengan tulisan merah: "Pemuda Nyalakan Api Hatimu", direntangkan. Meniru gaya Bob Dylan, Leo membuka lagu Boven Digul in Memoriam. Dibawakan dengan liat dan pejal, lirik yang padat seperti balok itu berselang seling dengan bunyi senar. Tangan Leo bekerja dengan baik. Dari mulutnya terdengar lirik sederhana: "Aku terpisah di belah bumi tertepi Secarik kabar darimu akan sangat berarti Di sini hanya Satu bangku tidur yang dingin Tapi selalu saja ada Dengung ratusan nyamuk Seakan-akan pekik semangat rakyatku Berdentang-dentang merasuk hati Aku tak kan pernah mati Tuhan .... " Sikapnya melihat Boven Digul, seperti cara pembawaannya, sikap mata menyala. Sikap yang tetap terasa dalam nomor-nomor solo berikutnya: Langit Makin Merah Hitam, Di Bawah Monumen Sudirman, Jabatlah Tanganku Erat-erat, dan Surabaya Aku Cinta Kau. Pada nomor teraknir ini, sayang Leo terlalu banyak ingin bercerita kepada publik. Liriknya kelewat padat. Tetapi Leo menekan keangkeran Surabaya pada awalnya, kemudian di tengah lagu ia memainkannya seperti anak perawan yang lembut. Kelima nomor solo tadi hasil tangan Leo sendiri. "Saya ingin menunjukkan yang berbobot," katanya. Ia tergugah semangat kebangsaan dengan lirik yang kuat. "Menyatakan cinta tanah air, saya lebih suka dengan suara hati. Saya kurang suka menggunakan lambang dan kalimat-kalimat slogan." Nomor Hit Kemudian, mengenakan longdres hitam, kakak beradik Lita dan Jilly menemani Mung, Leo dan Nanil. Lengkaplah bentuk Leo Kristi. Dengan suara yang sendu basah, Lita membawakan Nyanyial Fajar. Suara Jilly yang halus kemudian menjalinnya. Dan Nanil menjadi tulang punggung nafas pedesaan yang damai itu dengan tiupan block flute. Maka meluncurlah pula nomor-nomor seperti Lenggang Lenggong Badai Lautku, Nyanyian Pantai dan Laut Lepas Kita Peri. Gitar di tangan Leo menganyam dengan kuat suara lita. Petikan bas Mung, senar gitar Jilly, dan ditiup dengan lembut oleh block flute Nanil. Semua nomor itu berakhir dengan tepuk riuh rendah hadirin. Para penonton mendaulat mereka untuk terus menyanyi. Arek-arek Suroboyo itu dengan senang hati meluluskan. Menjelang jam 22.00 terdengar nomor-nomor lembut. Seperti Jerami (lagu baru). Rasanya memang setelah beranjak dari kursi, dada terisi udara segar. "Menyenangkan sekali publik di TIM. Kayaknya kita saling kenal," ujar si manis Lita. Menggosok peluh di dahi, Lita herkata terus terang: "Saya sendiri denn publik Surabaya rasanya masih belum dekat." Hampir satu tahun sudah kelompok arek Suroboyo di bawah nama Leo Kristi mulai mencoba diri. Dari kota kelahiran, Surabaya, mereka menjamah Malang, Bandung, Yogya, dan Jakarta. Dalam acara kesibukan kampus pun mereka tampil. Disponsori majalah musik Aktuil, mereka sudah merekam suara. Sayang, kumpulan lagu yang bagus itu masih harus jatuh bangun menghadapi gempuran lagu pop. Yang membesarkan hati, dengan usia yang muda mereka punyai sikap dan warna yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus