Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA arek Surabaya itu masih seperti setahun yang lalu - ketika
mereka de!n,gan menamakan diri 'Konser reka denga menamakan
diri 'Konser Rakyat Leo Kristi' turun pertama kali di Teater
Arena TIM, Jakarta. Tegar, ekspresif dan kadang lembut, tetapi
tidak cengeng. 16, 17 dan 18 Agustus malam, penonton yang
memadati kursi-kursi bisa mendengar dan melihat: Leo tampil
dengan segar.
Mengambil bentuk penampilan trio (Mung, Leo, dan Nanil), Leo
Kristi membuka, pergelarannya dengan lagu Indonesia Raya.
Sementara penonton masih mengalir, Leo sudah memetik senar gitar
dan Mung menyusul dengan bas. Di bagian tengah lagu itu, Nanil
meniupnya dengan block flute.
Babak pertama dimulai dengan lagu Nyanyian Malam. Lagu itu
jatuhnya masih kurang matang. Juga lagu kedua: Lewat
Kiaracondong, dengan suara utama Leo sendiri. Andaikata ada
dSstribusi suara yang berimbang, mungkin akan dihasilkan sebuah
paduan yang agak kompak. Seperti pada lagu terakhir babak
pertama yang bernama Peron. Dengan lirik yang padat, pola
bermain saling mengisi, lagu ini empuk menembus telinga.
Demikianlah peron yang hiruk pikuk jadi tegar di mata.
Boven Digul
Pipi Leo cekung, sosok ceking, bermata tajam. Dulu namanya Imam
Sukarno, kini lebih senang dipanggil Leo Kristi. Sambil
menghirup wedang jeruk di warung, Leo berkata: "Aku pengin
nyanyi yang ekspresif, tegar dan atos, Aku gak seneng ndelok
pemuda-pemuda sing model tenger-tenger (Saya tidak suka melihat
pemuda-pemuda loyo). Sing cengeng kuwi kenemenen. (Yang cengeng
itu keterlaluan)".
Leo energetik. "Meskipun rakyat kecil, saya memandang kehidupan
mereka dengan optimis. Gembira dan optimis itu yang saya
cenderungi," lanjutnya. Di babak kedua, dia tampil sendiri.
Layar di belakang telah diganti, ini secarik kain putih dengan
tulisan merah: "Pemuda Nyalakan Api Hatimu", direntangkan.
Meniru gaya Bob Dylan, Leo membuka lagu Boven Digul in
Memoriam. Dibawakan dengan liat dan pejal, lirik yang padat
seperti balok itu berselang seling dengan bunyi senar. Tangan
Leo bekerja dengan baik. Dari mulutnya terdengar lirik
sederhana:
"Aku terpisah di belah bumi tertepi
Secarik kabar darimu akan sangat berarti
Di sini hanya
Satu bangku tidur yang dingin
Tapi selalu saja ada
Dengung ratusan nyamuk
Seakan-akan pekik semangat rakyatku
Berdentang-dentang merasuk hati
Aku tak kan pernah mati
Tuhan .... "
Sikapnya melihat Boven Digul, seperti cara pembawaannya, sikap
mata menyala. Sikap yang tetap terasa dalam nomor-nomor solo
berikutnya: Langit Makin Merah Hitam, Di Bawah Monumen
Sudirman, Jabatlah Tanganku Erat-erat, dan Surabaya Aku Cinta
Kau. Pada nomor teraknir ini, sayang Leo terlalu banyak ingin
bercerita kepada publik. Liriknya kelewat padat. Tetapi Leo
menekan keangkeran Surabaya pada awalnya, kemudian di tengah
lagu ia memainkannya seperti anak perawan yang lembut.
Kelima nomor solo tadi hasil tangan Leo sendiri. "Saya ingin
menunjukkan yang berbobot," katanya. Ia tergugah semangat
kebangsaan dengan lirik yang kuat. "Menyatakan cinta tanah air,
saya lebih suka dengan suara hati. Saya kurang suka menggunakan
lambang dan kalimat-kalimat slogan."
Nomor Hit
Kemudian, mengenakan longdres hitam, kakak beradik Lita dan
Jilly menemani Mung, Leo dan Nanil. Lengkaplah bentuk Leo
Kristi. Dengan suara yang sendu basah, Lita membawakan Nyanyial
Fajar. Suara Jilly yang halus kemudian menjalinnya. Dan Nanil
menjadi tulang punggung nafas pedesaan yang damai itu dengan
tiupan block flute.
Maka meluncurlah pula nomor-nomor seperti Lenggang Lenggong
Badai Lautku, Nyanyian Pantai dan Laut Lepas Kita Peri. Gitar
di tangan Leo menganyam dengan kuat suara lita. Petikan bas
Mung, senar gitar Jilly, dan ditiup dengan lembut oleh block
flute Nanil. Semua nomor itu berakhir dengan tepuk riuh rendah
hadirin. Para penonton mendaulat mereka untuk terus menyanyi.
Arek-arek Suroboyo itu dengan senang hati meluluskan. Menjelang
jam 22.00 terdengar nomor-nomor lembut. Seperti Jerami (lagu
baru).
Rasanya memang setelah beranjak dari kursi, dada terisi udara
segar. "Menyenangkan sekali publik di TIM. Kayaknya kita saling
kenal," ujar si manis Lita. Menggosok peluh di dahi, Lita
herkata terus terang: "Saya sendiri denn publik Surabaya
rasanya masih belum dekat."
Hampir satu tahun sudah kelompok arek Suroboyo di bawah nama Leo
Kristi mulai mencoba diri. Dari kota kelahiran, Surabaya, mereka
menjamah Malang, Bandung, Yogya, dan Jakarta. Dalam acara
kesibukan kampus pun mereka tampil.
Disponsori majalah musik Aktuil, mereka sudah merekam suara.
Sayang, kumpulan lagu yang bagus itu masih harus jatuh bangun
menghadapi gempuran lagu pop. Yang membesarkan hati, dengan usia
yang muda mereka punyai sikap dan warna yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo