Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Biennale Jakarta 2021 memamerkan karya 38 seniman dari sejumlah negara.
Para seniman menggunakan medium patung, instalasi, foto, dan video.
Menyoal aneka persoalan, dari isu hak asasi manusia hingga politik kesehatan.
Lubang oval yang menganga itu berlapis-lapis indah dan cerah warna-warni. Instalasi yang dipasang di Museum Nasional, Jakarta, ini disusun dari pintalan kaus bekas yang dikumpulkan selama bertahun-tahun. Lapisannya sedikit merah terang di bagian terdalam, lalu ungu tua dilapis warna kuning kunyit dan merah muda lembut berselang-seling. Sebagian biru dan merah muda, biru, serta oranye.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bawah instalasi vagina raksasa dengan ketinggian hampir 2 meter ini, terhampar tiga instalasi melingkar dengan warna dominan biru dan putih. Dari lubang itu, pengunjung bisa melihat tiga lingkaran instalasi dengan seruling, mangkuk, dan sebatang tongkat kecil, seperti mangkuk meditasi. Terlihat pula gaun panjang menjuntai berwarna-warni senada dengan lubang oval.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Instalasi tersebut dibuat dari rajutan yang dikerjakan oleh komunitas Rajut Kejut, yang diperkokoh dengan besi. Tamarra, sang seniman pembuatnya, memberi judul Matinro (tidur). Karya ini seperti hendak memperlihatkan sebuah perwujudan dari ritual pembersihan diri untuk bissu di Bugis, seperti mati suri, "tidur" mengosongkan pikiran untuk memulai sesuatu kembali.
“Seperti metafora berada di mana dan tempat yang diinginkan, masuk kembali ke rahim ibu dengan perwujudan vagina raksasa sebagai pintu gerbangnya,” ujar Grace Samboh, kurator dari karya ini, kepada Tempo, Rabu, 5 Januari 2022.
Pengunjung melihat karya seni yang dipamerkan dalam Jakarta Biennale 2021 di Museum Nasional, Jakarta. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Karya lain yang cukup menarik adalah stupa sesosok perempuan berkerudung dalam posisi meditasi sempurna. Karya Alfiah Rahdini itu sebagai telaah kritis keberadaan patung yang sering dipersekusi, menjadi momok di ruang publik. Sang seniman ingin menantang pemahamannya tentang nilai dari arca Prajnaparamita serta Gayatri Rajapatni melalui penggambaran posisi meditasi (duduk lotus dan Dharmachakra Mudra) sehingga dapat berdialog dengan manusia hari ini. “Khususnya di Indonesia dengan atributnya yang baru,” demikian catatan dari sang perupa.
Karya ini juga mengingatkan kita tentang praktik beragama dan kehidupan sosial-budaya di berbagai tempat di Indonesia. Kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki pemahaman tertentu menghujat dan membongkar patung-patung di wilayahnya.
Dua instalasi itu merupakan bagian dari puluhan karya seniman dalam Biennale Jakarta 2021 bertajuk Esok pada 21 November 2021 hingga 21 Januari 2022. Acara dua tahunan itu digelar di Museum Nasional, Museum Kebangkitan, Taman Menteng, dan Taman Ismail Marzuki. Pameran ini melibatkan pematung Dolorosa Sinaga sebagai direktur artistik serta tiga kurator, yakni Grace Samboh dan Sally Texania (Indonesia); Qinyi Lim (Singapura); serta dua asisten kurator, yaitu Akmalia Rizqita dan Rachel Katherina. Tema hak asasi, lingkungan, kemanusiaan, dan isu perempuan kental dalam karya 38 seniman dari beberapa negara ini.
Patung berjudul Casting Spells for a Movement. TEMPO/Nurdiansah
Lihat pula karya yang memperlihatkan sosok perempuan berkebaya dengan selendang melambai seperti terembus angin. Tangannya menengadahkan sebuah nampan bulat. Sosok ini seperti patung perempuan di Tugu Tani, Jakarta. Di sisi kanan patung itu terlihat beberapa instalasi video tentang serombongan perempuan melangkah berjalan, mengurai dinamika gerakan perempuan pada 1960-an, ketika Tugu Tani didirikan. Patung berjudul Casting Spells for a Movement itu merupakan karya Nadiah Bamadhaj.
Di seberangnya, terdapat instalasi panggung dengan bendera merah seperti bendera Cina dan pengeras suara melantangkan musik hiphop Cina karya Song Ta. Patung lainnya, karya Che Onejeoon, menyoroti hubungan Asia-Afrika dengan ragam miniatur, video, foto, dan arsip-arsip. Berjudul High Life, karya itu menggambarkan sepintas kehidupan pendatang asal Afrika di Korea Selatan.
Karya Susur Leluri. TEMPO/Nurdiansah
Di Museum Kebangkitan, ada karya Maharani Mancanagara berjudul Susur Leluri. Video animasi itu terinspirasi dari pengalaman keluarga yang menjadi korban tragedi 1965. Pengunjung dipersilakan duduk di bangku sekolah jadul dengan sebuah lampu. Di hadapan mereka terdapat tumpukan kartu yang memuat gambar. Gambar-gambar itu merupakan bagian adegan dari video yang disorotkan ke layar. Pengunjung bisa membuat "akhir cerita" dari kartu-kartu tersebut.
Tema HAM, konflik lahan, dan sumber daya alam juga dimunculkan dari karya kolaborasi Ines Doujak dan John Baker (Austria). Mereka menyajikan poster-poster tentang perampasan lahan dari berbagai tempat. Karya berjudul Landraub ini kemudian diperkaya dengan instalasi patung berkaus dan berkain. Kaus yang dikenakan memperlihatkan nama tokoh dan peristiwa konflik lahan. Sebelumnya, pada 17 Desember 2021, para model dari Future Models ID memperagakan kaus dan kain, kemudian kaus serta kain itu dipasangkan di instalasi patung.
Masih tentang sumber daya alam, pengunjung akan melihat peta dunia yang menggambarkan jalur sutra maritim dan Indonesia. Sang perupa melengkapi jalur sutra dengan perdagangan dan politik-ekonomi batu bara kini. Lengkap dengan mereka yang menguasai industri ini. Narasi kritis juga bisa kita jumpai dalam instalasi video dan fotografi kuliner ala Timor Leste, lalu kertas beras atau semacam kulit lumpia dari Vietnam karya Xuan Ha.
Karya tak kalah menarik buatan Phaptawan Suwannakudt (Sydney) berjudul Sleeping Deep Beauty. Ia menghadirkan sebuah ruangan berlapis-lapis kain kelambu, diiringi senandung rapalan seperti suasana di wihara. Di sana, pengunjung akan menemukan kertas timah perak daun emas di atas lukisan pada kain linen, terhampar, seperti sosok tengah tertidur. Kain-kain yang tertiup angin seperti panel-panel reflektif mengantar kepada lukisan lain yang dipasang berdiri pada selembar kain linen lainnya.
Ada pula karya yang merespons ruang dan kritis tentang dunia kesehatan. Misalnya, karya instalasi video koreografi tentang keberadaan dukun di ruang asrama para calon dokter (yang semua laki-laki pada era berdirinya Stovia) dan pemberantasan penyakit pes dengan membakar rumah-rumah rakyat jelata.
DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo