Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POHON Joshua itu tegak dengan pucuk menembus layar yang menjadi latar panggung. Di sisi kanannya, sajak sejumlah penyair, antara lain “We Are Truly a Nation” yang ditulis William Matthews, disemprotkan ke layar. Lampu tiba-tiba gelap. Layar juga gelap. Siluet pohon Joshua tak tampak lagi, tapi sajak Matthews terus bergulir—larik demi larik.
Penonton di Stadion Nasional Singapura pada Ahad malam, 1 Desember lalu, bergemuruh. Begitu Larry Mullen Jr. menggebuk drum di panggung kecil di depan panggung utama, lampu mulai menyorot kuartet U2. The Edge, Adam Clayton, dan Bono satu per satu muncul dari balik gelap. Sang vokalis langsung mengentak dengan Sunday Bloody Sunday. “Terima kasih atas kesabaran kalian yang telah menunggu 42 tahun untuk konser ini,” kata Bono setelah menyanyikan lagu pertama tersebut.
Suatu waktu Bono pernah mengatakan tak akan pernah manggung di negara yang menerapkan hukuman mati. Setiap kali band asal Irlandia itu tur keliling dunia, setiap kali pula mereka tak mampir di Singapura. Tahun ini U2 bahkan menggelar konser dua malam berturut-turut di Stadion Nasional pada Sabtu dan Ahad, akhir November dan awal Desember lalu.
Penampilan di Singapura merupakan bagian dari “The Joshua Tree Tour 2019”. Konser ini rangkaian dari tur serupa dua tahun lalu untuk merayakan 30 tahun album The Joshua Tree, album kelima band ini—yang dibuat setelah Bono bergaul dengan Keith Richards dan Bob Dylan, yang menginspirasinya kembali ke akar musik Irlandia. Walau begitu, mereka juga memainkan lagu dari album lain. Empat lagu pertama yang dibawakan dalam dua hari konser itu berasal dari album lain. Total, U2 membawakan 24 lagu pada hari pertama konser dan 25 lagu pada hari kedua.
Setelah lagu keempat, Pride (In the Name of Love), mereka beringsut ke panggung utama. Layar menyala merah. Pohon Joshua kembali tampak di layar berukuran 61 x 14 meter itu. Kali ini seperti menaungi keempat personel yang tampak mungil dibanding latarnya.
Pemandangan di layar berganti seiring dengan The Edge memainkan riff Where the Street Have No Name, lagu pertama dalam album The Joshua Tree. Kamera seolah-olah menyusuri jalan aspal yang membelah gurun di Amerika Serikat. Tak berujung dan sepi. Warna lanskap yang abu-abu membuatnya tambah murung.
Klip tersebut seperti mengenang kembali penemuan nama The Joshua Tree ketika mereka hendak meluncurkan album itu pada 1987. Setelah menamatkan rekaman, pada Desember 1986, Bono dan kawan-kawan mengajak Anton Corbijn, fotografer mereka, terbang ke Amerika untuk mencari lokasi yang pas di gurun bagi foto di sampul album.
Semula album ini akan dinamai The Dessert Songs atau The Two Americas. Album ini memang ditujukan untuk mengkritik pemerintah Ronald Reagan. “Aku melihat dua Amerika: Amerika yang mistis dan Amerika yang sebenarnya,” ujar Bono suatu waktu. Amerika kerap diimajinasikan sebagai tanah impian yang menawarkan kebebasan. Tapi Amerika juga terlibat perang di mana-mana dan membuat rakyat di negeri yang bertikai sengsara.
Pada Juli 1986, Bono mengunjungi Nikaragua dan El Salvador, dan melihat dengan mata kepala sendiri perang sipil berkecamuk yang diperparah oleh intervensi Amerika. Lagu Bullet the Blue Sky dibuat sepulang Bono dari El Salvador. “Dia”, penebar dolar, yang dimaksud dalam lagu itu adalah Ronald Reagan. Ini salah satu lagu U2 yang paling politis, yang juga dimainkan dalam konser di Singapura.
Pada Desember 1986 itu mula-mula personel U2 dan Corbijn datang ke Reno, Nevada. Menaiki bus, mereka kemudian bergeser ke California. Dalam sebuah obrolan, Corbijn menyeletuk bahwa di gurun yang tandus di barat daya Amerika itu tumbuh pohon Joshua (Yucca brevifolia) dan mungkin cocok untuk menjadi foto sampul album. Bono setuju setelah diceritakan bahwa pohon itu dinamai Joshua oleh orang Mormon karena bentuknya mengingatkan pada Nabi Joshua yang sedang mengangkat tangan saat berdoa.
Bagi penggemar U2, yang pada hari pertama konser jumlahnya diperkirakan sekitar 50 ribu dan pada hari kedua 40 ribu, menonton tur The Joshua Tree seperti pengalaman spiritual. Apalagi ini pertama kalinya U2 tampil di Asia Tenggara. Penonton seolah-olah tak peduli dengan umur para personelnya yang tak lagi muda. Usia Bono, The Edge sang gitaris, Adam Clayton pencabik bas, dan Larry Mullen penabuh drum sepantaran, 58-59 tahun.
Album itu pun dinamai The Joshua Tree dan menjadi album U2 paling laku—terjual lebih dari 25 juta kopi dan kerap dimasukkan ke daftar album terbaik oleh pengamat musik. The Joshua Tree juga menandai U2 sebagai band yang menyatakan keberpihakan politik.
Ciri ini memancar ketika mereka memainkan Mothers of the Disappeared, salah satu lagu dalam The Joshua Tree, di panggung di Stadion Nasional. Layar menampilkan sejumlah perempuan dengan lilin menyala di atas piring yang mereka pangku. Lagu ini tribut untuk ibu-ibu di Argentina dan Cile yang anak-anaknya hilang karena diculik junta militer. Bono meminta penonton di konsernya menyalakan lampu telepon seluler sebagaimana Para Ibu Plaza de Mayo menyalakan lilin menanti anak-anaknya kembali.
Keberpihakan ini juga sangat kentara ketika Bono menyanyikan Beautiful Day dari album All That You Can’t Leave Behind, yang dirilis pada 2000. Bono “berkhotbah” cukup panjang di sela-sela lagu. “Hari indah itu ketika perempuan bisa bersekolah sebagaimana laki-laki.... Hari indah itu ketika laki-laki bisa mencintai laki-laki dan perempuan bisa mencintai perempuan....” Di layar, terpampang tulisan “Kita tak pernah setara jika masih ada ketidaksetaraan”.
Seorang penonton asal Singapura sampai-sampai mengeluhkan “khotbah” tersebut. Ia menulis di akun media sosialnya bahwa hal tersebut bisa membuat sebagian penonton tidak nyaman.
Tapi U2 adalah U2. Setelah membawakan Beautiful Day, mereka memainkan Ultraviolet (Light My Way) dari album Achtung Baby (1991) untuk para perempuan yang memberi inspirasi dalam sejarah. Puluhan perempuan ditampilkan di layar. Dari Nawal El Saadawi hingga Angela Merkel, dari Michele Obama hingga Greta Thunberg. Di layar muncul tulisan “herstory”, juga “women of the word, unite!”. U2 memang terlibat dalam proyek “Herstory” yang digagas feminis Alice Wroe sejak 2014 demi kesetaraan perempuan dan laki-laki.
Bagi penggemar U2, yang pada hari pertama konser jumlahnya diperkirakan sekitar 50 ribu dan pada hari kedua 40 ribu, menonton tur The Joshua Tree seperti pengalaman spiritual. Apalagi ini pertama kalinya U2 tampil di Asia Tenggara. Penonton seolah-olah tak peduli dengan umur para personelnya yang tak lagi muda. Usia Bono, The Edge sang gitaris, Adam Clayton pencabik bas, dan Larry Mullen penabuh drum sepantaran, 58-59 tahun.
Apalagi visualisasi di layar raksasa cukup memuaskan mata. Layar dengan resolusi 7.200 x 1.560 piksel itu yang -membedakannya dengan panggung konser U2 sebelumnya, terutama konser U2 “360°” sepanjang 2009-2011, yang disebut-sebut sebagai panggung terbesar dalam sejarah konser musik rock—luasnya 8.500 meter persegi. “Kami bermain dengan foto morphing, yang menggabungkan orang -dengan konten video,” ucap Willie Williams, perancang panggung, kepada Rolling Stone.
Minusnya ada di sound system. Di area yang jauh dari panggung, suara berdenging ketika vokal Bono atau melodi The Edge melengking. Bahkan pada saat Bono menyanyikan One sebagai penutup, suara dari sound system terdengar agak rebek. Namun, setelah penantian 42 tahun, agaknya itu bisa dimaafkan.
ANTON SEPTIAN (SINGAPURA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo