Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELERA humor memang tak ada rumusnya. Namun, bila Anda seorang sutradara film, dan meminta bintang sekelas Julia Roberts mengenakan wig yang mengerikan, menyuruhnya memilih kostum dan menata riasnya sendiri, lantas mengambil gambarnya dalam rangkaian adegan yang tak jelas juntrungannya dengan kamera video digital yang buruk pula, cita rasa guyonan Anda pastilah kelewat "tinggi". Hal inilah yang dilakukan sutradara pemenang Oscar, Steven Soderbergh, dalam Full Frontal.
Soderbergh meminjam gaya Dogma untuk Full Frontal. Dogma adalah aliran yang muncul di Eropa menjelang pergantian alaf lalu yang mendewakan kontinuitas kamera digital (salah satu penggagas utamanya adalah Lars von Trier, yang membuat Dancer in the Dark). Kata "meminjam" di sini maksudnya adalah Soderbergh sebetulnya bukan saja sudah memiliki gaya sendiri yang diakui kualitas artistiknya, melainkan juga paham kebutuhan komersial. Ia dianggap sebagai anak ajaib lewat debut pertamanya, Sex, Lies and Videotape, pada 1989. Sayangnya, karya-karya berikutnya di awal kariernya tak terlalu meyakinkan, terlebih Schizopolis. Namun tengoklah deretan film yang dihasilkannya dalam beberapa tahun terakhir, seperti Out of Sight, The Limey, Erin Brockovich, Traffic, dan Ocean's Eleven. Dengan film Full Frontal, Soderbergh seperti sengaja kembali mengamatirkan diri. Kalau ini tidak dimaksudkan sebagai olok-olok, rasanya jeri memberikan komentar lain.
Gagasan dasar Full Frontal adalah memberi gambaran satu hari dalam industri hiburan Los Angeles. Plotnya melibatkan film di dalam film dan dokumenter tentang kehidupan orang-orang tersebut di luar film. Film di dalam film ini dibintangi Julia Roberts sebagai wartawan yang mewawancarai seorang aktor yang diperankan Blair Underwood. Keduanya digambarkan saling jatuh cinta. Gilanya, karena Underwood memainkan aktor yang memerankan aktor, ada lagi adegan pembuatan film di dalamnya. Brad Pitt dan sutradara David Fincher ikut tampil sekelebat sebagai diri mereka sendiri dalam film lapis ketiga. Adegan dalam bagian kisah cinta wartawan dan aktor itu diambil dalam film 35 mm yang cemerlang. Ketika adegan ini usai, dan Roberts dan Underwood ditampilkan sebagai bintang film dalam kehidupan sehari-hari, pengambilan gambarnya dilakukan dengan kamera digital.
Ada kisah lain yang melibatkan pasangan suami-istri bermasalah, Lee (Catherine Keener) dan Carl (David Hyde Pierce). Lee meninggalkan surat perpisahan di pagi hari dan menuju kantornya untuk bekerja sebagai direktur personalia. Ia menghabiskan hari itu dengan menghina para pegawainya yang akan ia pecat. Carl, yang digambarkan penuh frustrasi, adalah penulis skenario untuk film yang dibintangi Roberts dan Underwood.
Lee punya adik bernama Linda (Mary McCormack), yang bekerja sebagai pemijat di hotel. Sepanjang hidupnya, Linda tak pernah bertemu dengan Mr. Right. Ia punya kenalan di Internet, tapi laki-laki itu tinggal di luar kota. Karena ingin ngluruk ke tempat si laki-laki idaman, Linda pun menerima tawaran Gus (David Duchovny), seorang produser film, untuk memasturbasi Gus dengan bayaran US$ 500. Linda mengira pria pujaannya baru berusia 22 tahun, tapi ternyata sudah berusia 40 tahun. Laki-laki itu adalah seorang sutradara teater (Nicky Katts) yang tengah menggarap lakon tentang Hitler. Fuhrer dalam lakon ini berkata kepada gundiknya, Eva Braun, "Aku punya banyak tanggung jawab sehingga tak sempat berpikir tentang hubungan yang serius."
Silang sengkarut aneka kisah dalam film ini akhirnya bermuara pada adegan perayaan ulang tahun Gus. Namun adegan penutup ini tetap tidak menjadikan film ini jelas apa maunya.
Jika Full Frontal adalah olok-olok terhadap kegawalan, dan diputar di festival, serta sang sutradara berbagi tentang apa yang ia maksudkan dan bagian mana yang tidak berjalan mulus (karena aktornya ngaco atau tak ada uang untuk pengambilan gambar ulang), mungkin film ini bisa diterima dengan hati nyaman. Sebagai film satiris, Full Frontal kurang menggali isi jeroan dunia film seperti halnya The Player karya Robert Altman. Humor yang dimunculkan tampaknya hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang terlibat dalam film ini. Alhasil, film ini ibarat karya seorang amatir yang bisa memiliki arti yang istimewa atau sanggup meledakkan tawa bagi orang-orang terdekat pembuatnya. Bagi orang luar (penonton lain), film ini tak menyisakan apa-apa selain kejemuan.
Yusi Avianto Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo