Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam tahun belakangan, Sawir Sutan Mudo, maes tro pendendang saluang (suling) di Sumatera Barat, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk me nemani istrinya berdagang pakaian dan aksesori perempuan di Pasar Bawah, Bukittinggi.
Padahal, pada dekade 1970 dan 1980, namanya sudah tersohor hingga ke luar ranah Minang. Sebuah perusahaan rekaman menggandengnya dan pada 1972 album kaset dan piringan hitam pertamanya terbit. Sejak itu hingga 1980, dia sudah menghasilkan sekitar 50 album kumpulan dendang saluang, seperti Pituan Ayah, Pasan Karantau, dan Nasib Sarupo Kudo Bendi. ”Bayarannya waktu itu lumayan juga, bisa membuat rumah sederhana di Bukittinggi ini,” kata Sawir tentang rumahnya di Jalan Syeh Ibrahimsyah.
Pria kelahiran Koto Kaciak, Tanjung Raya, Maninjau, pada 1942 itu pun kerap diundang pentas atau menghadiri pertemuan sastra lisan di berbagai daerah, bahkan di Belanda dan Jerman. Namun seniman yang cuma sekolah sampai kelas empat sekolah rakyat itu tetap meladeni undangan berdendang di kampungnya tanpa mematok harga. ”Semalaman ada yang kasih Rp 200 ribu atau Rp 300 ribu. Malah ada yang kasih Rp 100 ribu. Tidak apa-apa, yang penting ikhlas,” katanya.
Sawir memulai jalan hidup jadi pendendang ketika dia bergabung dengan perkumpulan pencak silat dan tari Randai di Koto Kaciak pada 1957. Dia semula menyanyi sebagai pengantar pertunjukan Randai, tapi kemudian mulai berkeliling kampung bersama tiga-empat rekannya untuk bagurau (berdendang saluang) di berbagai hajatan, yang biasanya digelar semalam suntuk.
Tapi masa-masa jaya itu tinggal kenangan. Sejak 1990, undangan main mulai jarang datang. Perhelatan di kampung dan berbagai keramaian sudah diisi oleh kesenian modern. ”Semua sudah memilih organ atau band. Kami sudah habis. Ini membuat saya risau sekali,” ujarnya.
Dendang saluang pun terancam punah. Sementara sebelumnya ada sederet nama populer, seperti Sutan Jamari, Mak Sarani, Ramili, Pasa Boteh, Muclis, dan Sutan Rajo Basa, sekarang tinggal Sawir yang tersisa. ”Kalau yang muda, jangan diharap lagi, tidak ada sama sekali,” katanya.
Dia sempat berharap terjadi pengaderan ketika dia meng ajar kesenian ini di Akademi Seni Karawitan Indonesia (kini Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Padang Panjang, selama 1993-1995. Tapi harapan itu pupus. ”Tampaknya upaya mengajar di Padang Panjang sia-sia. Padahal, waktu saya mengajar, saya melihat banyak bibit generasi muda yang sangat berbakat. Entah mengapa hilang begitu saja,” katanya. ”Padahal disuruh mengajar gratis saja saya mau. Saya mau mengajar siapa saja, tapi tidak ada yang mau, juga anak-anak saya.”
Sawir mengaku tak pernah mendapat bantuan apa-apa dari pemerintah. Para pejabat atau legislator juga cuma meng umbar janji untuk memperbaiki dan mengader pendendang saluang. ”Semua hanya bicara. Sudahlah. Mendendangkan kekecewaan ini saja saya tidak bisa lagi,” kata Sawir.
Jupernalis Samosir (Bukittinggi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo