Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Di Sini Simin, Alias Mintor

Saimin, yang cacat tubuh di desa tegalsari, sukoharjo, berhasil merancang sepeda khusus roda tiga untuk orang-orang cacat seperti dia. (tk)

10 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PATROLI Polisi Gabungan terkenal galak, tegas, ditakuti dan tidak bisa disuap. Jantung pengemudi kendaraan bermotor bila berpapasan dengan mereka baru tenang kalau mengantungi surat-surat lengkap. Tapi Saimin, 25 tahun, seorang pengendara motor di Kota Solo, Jawa Tengah, tak pernah gentar. Setiap hari ia berkeliaran di jalanan dengan Honda mininya, tanpa STNK tanpa SIM, bahkan tanpa plat nomor polisi. Patroli Polisi Gabungan yang serem itu hanya melihat saja. Saimin bukan seorang pemberontak jalanan. Keberaniannya itu direstui oleh Gubernur Jawa Tengah, Soepardjo Roestam, sejak Januari 1980. Ia dibenarkan gentayangan tanpa surat-surat. Ini memang diskriminasi. Tetapi tidak seorang pun yang iri, karena kedua kaki Saimin cacat. Ia menyulap Honda mini itu menjadi kendaraan roda tiga sejak 1969. Saimin adalah anak nomor dua dari keluarga Sontowirejo, petani miskin di Dukuh Tegalsari, Kelurahan Bulakan, Sukoharjo. Lahir sebagai anak yang normal. Tapi pada usia 8 bulan menderita sakit panas. Ia dibawa ke mantri kesehatan yang biasa berkeliling. Sempat disuntik empat kali dalam tempo dua hari. Dua minggu berikutnya, demamnya pulih. Tapi sejak itu terjadi malapetaka: kedua kakinya tak tumbuh mengikuti perkembangan tubuhnya yang lain. Cacat tidak menghalangi lelaki yang ulet ini bekerja. Pada 1972 ia dikirim ke Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo, untuk belajar menjahit. Tetapi rupanya ia tidak begitu tertarik, dan keluar sebelum tamat. Walaupun sempat bekerja membantu pamannya menjahit, ia tetap berniat memperoleh pekerjaan yang lebih berat. "Saya ingin bekerja di bengkel, tangan saya rasanya amat kokoh," katanya mengenangkan. Cita-cita Saimin terdengar oleh Dinas Sosial Sukoharjo. Pada 1974 ia dikirim ke LPRPCT (Lembaga Penelitian Rehabilitasi Penderita Cacat Tubuh) Prof. Dr. Soeharso, di Solo, untuk vak reparasi sepeda. Tahun berikutnya ia lulus dan mendapatkan modal kerja berupa alat-alat untuk perbengkelan. Sejak itu ia membuka bengkel di rumahnya. Langganannya ternyata banyak. Bukan karena mereka kasihan pada Saimin, tapi kerjanya memang trampil dan rapi. Tak cukup puas hanya menjadi tukang sepeda, Saimin mulai menabung. Setelah cukup, ia merancang sepeda khusus roda tiga untuk orang-orang cacat seperti dia sendiri. "Pakai kursi roda sudah sangat kolot, kita harus buka mata," katanya dengan berapi-api. Karyanya itu, pada pokoknya mengubah posisi rantai, sedemikian rupa, sehingga bisa digerakkan oleh tangan. Dihubungkan dengan roda depan, plus rem yang juga digerakkan tangan. Sepeda gaya Saimin itu mula-mula dipakai Saimin sendiri. Ia mondar-mandir dl jalanan mengangkut ala-alat perbengkelannya. Tentu saja jadi tontonan dan sekaligus publikasi. Kemudian datang beberapa pesanan untuk penderita cacat yang senasib. Permintaan juga datang dari LPRPCT Solo. Dalam tiga tahun (1975 -1978) lebih dari 10 sepeda buatan Saimin gentayangan di jalanan. Sinting? Tabungan Saimin dengan sendirinya makin tebal. Lalu ia siap membeli sebuah sepeda motor merk DKW Humel. Motor itu langsung dipretelinya. Para tetangga heran, menyangka Saimin sudah sinting. Tak apa. Orang-orang besar pada mulanya juga suka ditertawakan. "Saya sampai tak berani bekerja siang hari, takut ditertawakan," kata Saimin pada Putu Setia dari TEMPO. Pada akhir 1978, Saimin berhasil menundukkan DKW itu menjadi kendaraan roda tiga. Dan Saimin tidak lagi tertatih-tatih didukung sepedanya yang aneh, ia sudah melesat dengan motor roda tiga. Maka gemparlah Kelurahan Bulakan. Mereka menyaksikan tukang bengkel sepeda itu dengan mata tak percaya. Tapi segera kemudian anak-anak dilarang berkeliaran di jalan, takut ditabrak Saimin. Dinas Sosial setempat akhirnya mengambil inisiatif mengadakan pemeriksaan. Lewat orang yang ahli, kendaraan baru itu dites. "Ternyata rakitan Saimin memenuhi syarat dan bisa dipergunakan," kata H. Achmad Soeroeri, Kepala Dinas Sosial Sukoharjo. Saiminlah yang paling gembira mendengar itu. Apalagi karya pertamanya itu kemudian langsung dibeli oleh Marijo, lelaki cacat dari Kelurahan Mancasan. Uang yang diperoleh Saimin, langsung dibelikannya motor kembali. Yang berikutnya jadi korban adalah merk Zundap. Melewati sebuah pameran yang terbuka untuk umum karya kedua itu kemudian dibeli juga oleh seorang peminat dari Solo. Demikian seterusnya. Sampai akhir 1980, lelaki yang ulet dan pintar bicara ini, berhasil menciptakan enam sepeda motor a la Saimin -- termasuk Honda yang ia pergunakan sendiri sampai sekarang. Rakitannya itu ditempeli stiker bertuliskan "Mintor" - singkatan dari "Saimin Motor". Berapa harga sebuah Mintor? "Kalau pemesan membawa kendaraan sendiri, Rp 200 ribu sudah terima beres," jawab Saimin. "Tetapi bila pemesan tidak membawa kendaraan sendiri tarifnya Rp 700 ribu." Kenapa begitu mahal? Ya, memang sulit untuk mencari sebuah motor bekas, dengan mesin yang masih lumayan. Sayang Saimin tak punya modal sendiri untuk usaha yang cukup mahal itu. "Saya tak tahu bagaimana caranya mendapatkan modal," katanya, sebab "saya sebenarnya ingin juga membuat kursi, ranjang dan perlengkapan rumah tangga lainnya." Di samping memberikan hak istimewa, Januari 1980, Gubernur Ja-Teng juga melimpahkan peralatan kerja, plus sebuah Honda mini. Semuanya bernilai Rp 760 ribu. Kini Saimin punya alat las, mesin bubut dan perlengkapan bengkel yang cukup berat. Honda mini itu ia pertahankan untuk dipakai sendiri kendati sudah tiga orang peminat menawarnya. Barangkali sebagai kenang-kenangan. Saimin tidak hanya sukses dalam pekerjaan. Kehidupan pribadinya juga beres. Meskipun kedua kakinya cacat, anggota tubuhnya yang lain normal. Pada 1972 ada seorang putri Solo yang mencintainya. Mereka menikah. Sayang wanita itu kemudian meninggal tahun 1974, tanpa memberikan keturunan. Tapi Saimin tak lama menduda. Hanya dalam tempo lima bulan, seorang wanita muncul lagi mencintainya. Namanya Ngatinem. Selama berpacaran, Saimin, bertandang ke rumah Ngatinem dengan memakai kursi roda. Kira-kira dua kilometer jauhnya. "Akhirnya ada cinta, ada kecocokan dan kawin." kata Saimin mengenangkan sambil mengepulkan asap rokoknya. Ngatinem (bertubuh normal) hanya tersenyum-senyum kecil ketika ditanya bagaimana perasaannya. "Saya tak pernah menyesal kawin dengan Saimin," ungkap Nyonya Saimin. Kini Saimin dibantu oleh adik iparnya. Bengkelnya kelihatan cukup memberikan jaminan hidup. Ia yang dulu di SD (1963) harus merangkak ke sekolah lewat pematang sawah, kubangan kerbau dan kehujanan di jalanan desa pada musim-musim basah, kini tampaknya cukup bahagia. Rumahnya masih berlantai tanah, tapi di situ sudah nangkring sebuah pesawat tv 14 inci. Ia kini dikaruniai dua orang anak. Saimin juga pintar menyenangkan keluarga. Seminggu sekali ia bersama keluarganya berekreasi dengan Honda mininya. Ke mana coba? "Yah, ke Solo, Klaten, Karanganyar, Wonogiri, bahkan pernah ke Yogya, terus ke Bantul," Jawab Saimin, "satu Suro yang lalu saya bahkan ke Tawangmangu." Tawangmangu adalah daerah pegunungan di daerah Surakarta, tempat orang melepas akhir minggu. "Saya ingin kelak anak saya jadi sarjana dan jadi pejabat. Kenapa tidak?" katanya sambil menggerakkan tangan dengan yakin. Keyakinan Saimin bukan tak ada sebabnya. Bupati Sukoharjo, akhir 1979 -- ketika Saimin hendak berangkat ke Malang, untuk memamerkan sepedanya memperingati hari Kebaktian Sosial -- berbisik bahwa ia akan diangkat jadi pegawai daerah. Ia akan diperbantukan di Dinas Sosial sebagai instruktur perbengkelan. Surat keputusan gubernur pun sudah turun, tinggal menunggu pengangkatan. "Saya senang sekali, pagi jadi pegawai, siang dan sore kerja bengkel," komentarnya. Tambahnya pula: "Kerja bengkel tak bisa saya tinggalkan. Saya ingin jadi montir yang baik. Dan montir yang baik bukan saja bisa memperbaiki motor, tapi juga menciptakan mesin dan bentuk baru . . . "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus