Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PATROLI Polisi Gabungan terkenal galak, tegas, ditakuti dan
tidak bisa disuap. Jantung pengemudi kendaraan bermotor bila
berpapasan dengan mereka baru tenang kalau mengantungi
surat-surat lengkap. Tapi Saimin, 25 tahun, seorang pengendara
motor di Kota Solo, Jawa Tengah, tak pernah gentar. Setiap hari
ia berkeliaran di jalanan dengan Honda mininya, tanpa STNK tanpa
SIM, bahkan tanpa plat nomor polisi. Patroli Polisi Gabungan
yang serem itu hanya melihat saja.
Saimin bukan seorang pemberontak jalanan. Keberaniannya itu
direstui oleh Gubernur Jawa Tengah, Soepardjo Roestam, sejak
Januari 1980. Ia dibenarkan gentayangan tanpa surat-surat. Ini
memang diskriminasi. Tetapi tidak seorang pun yang iri, karena
kedua kaki Saimin cacat. Ia menyulap Honda mini itu menjadi
kendaraan roda tiga sejak 1969.
Saimin adalah anak nomor dua dari keluarga Sontowirejo, petani
miskin di Dukuh Tegalsari, Kelurahan Bulakan, Sukoharjo. Lahir
sebagai anak yang normal. Tapi pada usia 8 bulan menderita sakit
panas. Ia dibawa ke mantri kesehatan yang biasa berkeliling.
Sempat disuntik empat kali dalam tempo dua hari. Dua minggu
berikutnya, demamnya pulih. Tapi sejak itu terjadi malapetaka:
kedua kakinya tak tumbuh mengikuti perkembangan tubuhnya yang
lain.
Cacat tidak menghalangi lelaki yang ulet ini bekerja. Pada 1972
ia dikirim ke Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo, untuk belajar
menjahit. Tetapi rupanya ia tidak begitu tertarik, dan keluar
sebelum tamat. Walaupun sempat bekerja membantu pamannya
menjahit, ia tetap berniat memperoleh pekerjaan yang lebih
berat. "Saya ingin bekerja di bengkel, tangan saya rasanya amat
kokoh," katanya mengenangkan.
Cita-cita Saimin terdengar oleh Dinas Sosial Sukoharjo. Pada
1974 ia dikirim ke LPRPCT (Lembaga Penelitian Rehabilitasi
Penderita Cacat Tubuh) Prof. Dr. Soeharso, di Solo, untuk vak
reparasi sepeda. Tahun berikutnya ia lulus dan mendapatkan modal
kerja berupa alat-alat untuk perbengkelan. Sejak itu ia membuka
bengkel di rumahnya. Langganannya ternyata banyak. Bukan karena
mereka kasihan pada Saimin, tapi kerjanya memang trampil dan
rapi.
Tak cukup puas hanya menjadi tukang sepeda, Saimin mulai
menabung. Setelah cukup, ia merancang sepeda khusus roda tiga
untuk orang-orang cacat seperti dia sendiri. "Pakai kursi roda
sudah sangat kolot, kita harus buka mata," katanya dengan
berapi-api. Karyanya itu, pada pokoknya mengubah posisi rantai,
sedemikian rupa, sehingga bisa digerakkan oleh tangan.
Dihubungkan dengan roda depan, plus rem yang juga digerakkan
tangan.
Sepeda gaya Saimin itu mula-mula dipakai Saimin sendiri. Ia
mondar-mandir dl jalanan mengangkut ala-alat perbengkelannya.
Tentu saja jadi tontonan dan sekaligus publikasi. Kemudian
datang beberapa pesanan untuk penderita cacat yang senasib.
Permintaan juga datang dari LPRPCT Solo. Dalam tiga tahun (1975
-1978) lebih dari 10 sepeda buatan Saimin gentayangan di
jalanan.
Sinting?
Tabungan Saimin dengan sendirinya makin tebal. Lalu ia siap
membeli sebuah sepeda motor merk DKW Humel. Motor itu langsung
dipretelinya. Para tetangga heran, menyangka Saimin sudah
sinting. Tak apa. Orang-orang besar pada mulanya juga suka
ditertawakan. "Saya sampai tak berani bekerja siang hari, takut
ditertawakan," kata Saimin pada Putu Setia dari TEMPO.
Pada akhir 1978, Saimin berhasil menundukkan DKW itu menjadi
kendaraan roda tiga. Dan Saimin tidak lagi tertatih-tatih
didukung sepedanya yang aneh, ia sudah melesat dengan motor roda
tiga. Maka gemparlah Kelurahan Bulakan. Mereka menyaksikan
tukang bengkel sepeda itu dengan mata tak percaya. Tapi segera
kemudian anak-anak dilarang berkeliaran di jalan, takut ditabrak
Saimin.
Dinas Sosial setempat akhirnya mengambil inisiatif mengadakan
pemeriksaan. Lewat orang yang ahli, kendaraan baru itu dites.
"Ternyata rakitan Saimin memenuhi syarat dan bisa dipergunakan,"
kata H. Achmad Soeroeri, Kepala Dinas Sosial Sukoharjo.
Saiminlah yang paling gembira mendengar itu. Apalagi karya
pertamanya itu kemudian langsung dibeli oleh Marijo, lelaki
cacat dari Kelurahan Mancasan.
Uang yang diperoleh Saimin, langsung dibelikannya motor kembali.
Yang berikutnya jadi korban adalah merk Zundap. Melewati sebuah
pameran yang terbuka untuk umum karya kedua itu kemudian dibeli
juga oleh seorang peminat dari Solo. Demikian seterusnya. Sampai
akhir 1980, lelaki yang ulet dan pintar bicara ini, berhasil
menciptakan enam sepeda motor a la Saimin -- termasuk Honda yang
ia pergunakan sendiri sampai sekarang. Rakitannya itu ditempeli
stiker bertuliskan "Mintor" - singkatan dari "Saimin Motor".
Berapa harga sebuah Mintor? "Kalau pemesan membawa kendaraan
sendiri, Rp 200 ribu sudah terima beres," jawab Saimin. "Tetapi
bila pemesan tidak membawa kendaraan sendiri tarifnya Rp 700
ribu." Kenapa begitu mahal? Ya, memang sulit untuk mencari
sebuah motor bekas, dengan mesin yang masih lumayan.
Sayang Saimin tak punya modal sendiri untuk usaha yang cukup
mahal itu. "Saya tak tahu bagaimana caranya mendapatkan modal,"
katanya, sebab "saya sebenarnya ingin juga membuat kursi,
ranjang dan perlengkapan rumah tangga lainnya."
Di samping memberikan hak istimewa, Januari 1980, Gubernur
Ja-Teng juga melimpahkan peralatan kerja, plus sebuah Honda
mini. Semuanya bernilai Rp 760 ribu. Kini Saimin punya alat las,
mesin bubut dan perlengkapan bengkel yang cukup berat. Honda
mini itu ia pertahankan untuk dipakai sendiri kendati sudah tiga
orang peminat menawarnya. Barangkali sebagai kenang-kenangan.
Saimin tidak hanya sukses dalam pekerjaan. Kehidupan pribadinya
juga beres. Meskipun kedua kakinya cacat, anggota tubuhnya yang
lain normal. Pada 1972 ada seorang putri Solo yang mencintainya.
Mereka menikah. Sayang wanita itu kemudian meninggal tahun 1974,
tanpa memberikan keturunan. Tapi Saimin tak lama menduda. Hanya
dalam tempo lima bulan, seorang wanita muncul lagi mencintainya.
Namanya Ngatinem.
Selama berpacaran, Saimin, bertandang ke rumah Ngatinem dengan
memakai kursi roda. Kira-kira dua kilometer jauhnya. "Akhirnya
ada cinta, ada kecocokan dan kawin." kata Saimin mengenangkan
sambil mengepulkan asap rokoknya. Ngatinem (bertubuh normal)
hanya tersenyum-senyum kecil ketika ditanya bagaimana
perasaannya. "Saya tak pernah menyesal kawin dengan Saimin,"
ungkap Nyonya Saimin.
Kini Saimin dibantu oleh adik iparnya. Bengkelnya kelihatan
cukup memberikan jaminan hidup. Ia yang dulu di SD (1963) harus
merangkak ke sekolah lewat pematang sawah, kubangan kerbau dan
kehujanan di jalanan desa pada musim-musim basah, kini tampaknya
cukup bahagia. Rumahnya masih berlantai tanah, tapi di situ
sudah nangkring sebuah pesawat tv 14 inci. Ia kini dikaruniai
dua orang anak.
Saimin juga pintar menyenangkan keluarga. Seminggu sekali ia
bersama keluarganya berekreasi dengan Honda mininya. Ke mana
coba? "Yah, ke Solo, Klaten, Karanganyar, Wonogiri, bahkan
pernah ke Yogya, terus ke Bantul," Jawab Saimin, "satu Suro yang
lalu saya bahkan ke Tawangmangu." Tawangmangu adalah daerah
pegunungan di daerah Surakarta, tempat orang melepas akhir
minggu.
"Saya ingin kelak anak saya jadi sarjana dan jadi pejabat.
Kenapa tidak?" katanya sambil menggerakkan tangan dengan yakin.
Keyakinan Saimin bukan tak ada sebabnya. Bupati Sukoharjo, akhir
1979 -- ketika Saimin hendak berangkat ke Malang, untuk
memamerkan sepedanya memperingati hari Kebaktian Sosial --
berbisik bahwa ia akan diangkat jadi pegawai daerah. Ia akan
diperbantukan di Dinas Sosial sebagai instruktur perbengkelan.
Surat keputusan gubernur pun sudah turun, tinggal menunggu
pengangkatan. "Saya senang sekali, pagi jadi pegawai, siang dan
sore kerja bengkel," komentarnya. Tambahnya pula: "Kerja bengkel
tak bisa saya tinggalkan. Saya ingin jadi montir yang baik. Dan
montir yang baik bukan saja bisa memperbaiki motor, tapi juga
menciptakan mesin dan bentuk baru . . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo