Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKELOMPOK orang "kerja" bermunculan, membawa benda-benda bundar-cekung seperti kulit kerang raksasa atau kuali bergaris-tengah semeteran, yang kemudian disusun menjadi sekuntum bunga lotus. Dua laki-laki gondrong tak berbaju mengeluarkan suara menggeram rendah, suara dari perut dan tenggorokan yang menghasilkan harmonik (overtone) tinggisuatu teknik umum yang terdapat di wilayah Asia Tengah (Tibet, Mongolia, Tuva: khoomej atau overtone-singing). Geraman itu drone (suara dasar monoton), terasa ibarat tekstur bumi, kasar, kaya berliku, tapi statis dan tangguh dalam pertunjukan Nobody's Body, 30 Desember, di Gedung Kesenian Jakarta. Harmonik ibarat angin atau awan yang melangit, dinamis, tak terprediksi bentuknya, muncul dan lenyap seketika. Keduanya, juga bagai bumi dan langit, menjadi duet bersumber satu.
Bunga lotus tiba-tiba meletus. Kepingan kerang parabolis berserak, benda lain terpental dari dalamnya: representasi sensasional ledakan bom, yang jadi pusat keprihatinan kita kini. Beberapa penari masuk, menaiki dan menjalankan kuali-kuali, yang kemudian tampak terapung seperti perahu mini, main ski, di atas awan, naik sepeda roda-satu, atau entah apa. Yang jelas, cukup menarik. Suara geraman pun meninggi intensitasnya, kadang meronta, berontak menjadi teriak. Setelah sekian lama, adegan terasa meletihkan, bahkan mengkhawatirkan, jangan-jangan akan terus begitu.
Namun mendadak kita terenyak oleh munculnya tarian mempesona yang menghadirkan elemen-elemen teknis mantap, kental, tarian perempuan (Dorothea Quin H.) dengan kostum kuning berlapis-lapis tapi transparan. Di punggungnya bergandulan bungkusan, gulungan tali yang kadang tampak dari depan seperti kembaran atau bayangannya. Gerakannya sangat pelan dan meresap. Ia juga menari di atas kuali yang tertutup kostumnya, sehingga sering tampak sebagai satu sosok yang miring menentang grafiti, labil menegangkan, berbarengan dengan bunyi musik minimalis Tony Prabowo yang mengiang dan juga membius. Asyik. Kita terbawa pada suatu alam maya, misteri, yang belum pernah teralami. Berbaurlah rasa nikmat dan betah dengan keanehan atau keentahan. Di situlah justru kita temukan kedalaman makna.
"Makna" kental ini, mungkin, bukan akibat obsesi niat, melainkan lebih berupa ketepatan "sanggama" ruang, waktu, dan energi, saat demi saat, atmosfer demi atmosfer. Dalam menyaksikan pertunjukan, kita mengikuti proses linearberbeda dengan melihat peta bumi atau lukisan yang bisa dimulai dari dan berakhir pada titik mana saja dan berapa lama saja. Dalam tari, waktu tak bisa diloncati, direkayasa, dikorupsi. Proses menjadi teramat penting. Produk "mati" (fixed) tak pernah ada secara absolut. Ia bergerak dalam waktuyang terindra dari suatu momen dapat melenyapkan hasil pengindraan momen sebelumnya. Secara fisik, ia tak kembalimemang. Tapi waktu bisa "dikembalikan" atau kembali dengan sendirinya: dalam ingatan. Struktur pertunjukan secara alamiah hanya ada dalam ingatan. Akumulasi pengalaman-lalu hadir kembali melalui renungan, pencernaan, atau interpretasi, dan terjadilah transformasi makna.
Jika (konon) waktu adalah unsur yang sulit direkayasa atau ditransformasikan, waktu itu sendirilah yang punya daya transformatif. Makna yang hadir-kembali itu bisa berbeda dari "aslinya" setelah seluruh atau sebagian unit saat-saat itu terakumulasikan. Semuanya terjalin secaramau tak mausubyektif, tergantung siapa dan bagaimana merangkumnya, sesudah terbentuknya "struktur" tempat momen, irama, tempo, dan siklus tertampung dalam suatu jalinan dan bingkai-bingkai unik.
Seperti itu pula struktur pertunjukan SardonoPengalaman atau penikmatan saat-demi-saat terasa berbeda dengan sesudahnya,ketika ingat-kembali dari awal hingga rampung. Banyak adegan yang kurang memuaskan, celotehan dan pelesetan lawak Sardono, durasi kepanjangan, khaos, dan sebagainya, tapi semuanya bisa terlindas oleh pemaknaan-kembali, dua adegan tari par excellent. Tapi itu bagi saya. Bagi yang lain mungkin sebaliknya.
Tarian tunggal hebat itu tidak hanya satu, tapi dua. Keduanya perempuan, serupa tapi berbeda, dengan kesempurnaan sama: perpaduan gerak, kostum, pencahayaan, dan bunyinya. Keduanya bukan hanya highlight dari pertunjukan itu, melainkan inti kekuatannyatanpa makna semua pertunjukan itu mungkin meaningless. Di situ pula kekuatan dan keunikan Sardono kembali munculseorang koreografer jagoan dalam memunculkan cekaman visual-dinamis, ekspresif, dan mistis yang belum ada kembarannya. Kedua tarian itu menghipnotis penyaksi. Keseraman, kengerian, kelembutan, dan keagungan bersatu dalam unit kompleks. Kengerian tak diekspresikan dengan kiat menakutkan, keagungan tanpa pengagungan, spiritual tidak direligiuskan, tapi diwujudkan oleh kejujuran bahasa tubuh. Karena itu, bisa dimengerti jika yang terngiang lucu sampai kini adalah gerakan Mugiono sebagai kura-kuradengan jernihnya artikulasi tubuh atau dengan kemampuan penghilangan diri di bawah kuali yang terlalu kecil bagi tubuh normaldaripada kelucuan lelucon Sardono sendiri.
Demikian pula untuk tari kedua yang memakai kedok Panji dari Indramayu (Hanny Herlina), dengan kostum onggokan kain kelambu putih yang lebih tampak seperti "awan" daripada "baju." Dengan kesempurnaan ekspresinya pula, ia tidak menjadi tari-topeng yang pernah ada, melainkan sosok baru: antara manusia dan bukan, antara setan dan malaikat, durga dan bidadari, atau antara marah dan sedih. Ya, itu tidaklah jelas. Tapi ketidakjelasan yang tak membebani. Semua kemungkinan pemaknaan diikhlaskan pada penonton, untuk dijelajahi dari satu kutub ke kutub lain, atas dasar minat dan kemampuan "ingatan" masing-masing. Dan justru dengan itu terciptalah dialog kompleks: antara Sardono dengan pemain dan penonton, antarpemain, antarpenonton, dan bahkan antardiri masing-masing. Jadi, kesenian yang powerful itu bukanlah terutama yang menjelaskan, melainkan yang punya kemampuan menjadi trigger untuk menumbuhkan minat pemaknaan dari yang terlibat, sehingga semua pihak menjadi aktif, menjadi partisipan, bukan hanya resipien pasif.
Kompleksitas itu menarik. Di situ terjadi dinamika penyeimbang, untuk kepuasan logis (reasoning) ataupun estetis. Keseimbangan labilitas (kompleks, tidak-jelas) menuju yang lebih stabil (jelas) itu pun bukan dengan penancapan tonggak norma kukuh (rigid), melainkan oleh kreativitas yang juga labil, subyektif, interpretatif. Dalam adegan akhir, misalnya, imaji "kesengsaraan", "rustic", berbaur dengan dua petugas pemadam kebakaran lengkap dengan topi kerasnya yang bergegas membungkus kotak-kotak karton, yang memunculkan impresi pemenjaraan, peringkusan, dan hadiah Natal-tahun-baru yang manis sekaligus.
Untung rasanya, sebelum menyaksikan, saya tidak membaca buklet yang ternyata sangat inkonsisten, tak sepadan: bahasanya, panjang-pendeknya informasi, dan cukup ceroboh (salah seorang seniman penting tak tercantum). Ketidaktergangguan saya itu memuluskan kembalinya "ingatan". Dari karyanya ini, saya teringat pada kecemerlangan karya-karya Sardono sejak duluSam-gita, Girah, dan sebagainya, yang sudah berlalu 30 tahunan, dan sederetan karya lain dari Meta Ekologi dan Soloensis yang mem-purba sampai Diponegoro yang mem-Broadway. Mungkin karyanya akhir-akhir ini sedikit-banyak memudarkan kemasyhurannyapertunjukan Soloensis sanggup "memulangkan" penonton sebelum berakhir. Karena itu pula, mungkin, pertunjukan kali ini sangat sepi penonton, seperti pernyataan sepinya "Bali" yang diucapkan sang pelawak bertopeng bondres (Sardono). Atau mungkin kebetulan saja: Jakarta sedang sepi karena liburan tahun-baru beneran, atau teror bom, mid-upper class tidak terkecoh oleh pertunjukan yang "bicara" tahun baru dan bom.
Endo Suanda (etnomusikolog, pemerhati dan peneliti budaya seni, tinggal di Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo