Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa istimewanya boneka raksasa berwajah anak-anak yang sering mengamen di lampu merah? Seseorang biasanya mengenakan boneka ini dan menggerak-gerakkan tubuhnya, sehingga seolah-olah boneka ini bergoyang atau memainkan kepalanya. Boneka inilah yang menjadi salah satu medium Anis Harliani memunculkan koreografinya yang berjudul Holy Body.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koreografi yang menawarkan konsep tari dokumenter dari sejumlah pengamatan, pengalaman, dan arsip pelaku tari itu dipertontonkan dalam Helatari Salihara 2019 di Salihara, Jakarta, 22-23 Juni 2019. Dalam kesempatan itu, ditampilkan pula dua koreografi karya Ayu Permata Sari dan Eyi Lesar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Holy Body dimulai dengan gerakan sederhana, gerakan pemanasan, dan materi olahraga untuk membentuk fisik. Layar kemudian memutar sebuah video yang memperlihatkan seorang penari asal Bandung, Siti Nur Ela, sedang memperagakan gerak-gerak koreografi. Tubuhnya padat berisi, masih cenderung gempal, dengan berat sekitar 65 kilogram. "Berat badanku tadinya 85 kilogram, sekarang 65. Aku mencoba berbagai hal agar badanku langsing," ujar Siti.
Siti mencoba diet dengan obat herbal, teh pelangsing, jamu pelangsing, juga tidak makan nasi putih. Tapi tetap saja berat badannya tak berkurang signifikan. Ia bercerita pernah punya pacar dan ibu pacarnya mengatakan ia cantik, tapi pipinya tembam dan lebar seperti wajah boneka Mampang. Si ibu ini juga menyindir tubuh Siti yang cukup "berbobot".
Anis kemudian memakai narasi Siti untuk menghadirkan boneka Mampang ke panggung. Separuh tubuh bagian atas tertutup kepala boneka yang bergerak seperti mengangguk-angguk. Namun itu hanya sebentar. Kemudian, Anis kembali berolahraga, mengikuti panduan dari Internet yang direkamnya.
Tak sampai tiga menit, ia lalu mengenakan kain dan kebaya. Ia menarikan Siuh, tarian rakyat yang sering muncul dalam perhelatan hiburan rakyat. Selanjutnya, ia berganti kostum seksi layaknya penari klub malam atau chic sporty untuk adegan tantangan artis dengan tembang dangdut remix berjudul Dicocol Manjah.
Terakhir, Anis berkostum kain kebaya modifikasi ala penari latar. Dia bergoyang sambil menggoda penonton untuk nyawer. "Koreografi saya ini untuk mempertanyakan idealitas tubuh dalam estetika tari. Berangkat dari pengalaman saya sebagai penari komersial dan responden saya," ujar Anis.
Dengan tubuh tidak langsing, Anis dulu jarang menerima tawaran mentas. Alasannya, para vendor mencari tubuh yang langsing dengan ukuran kecil. "Saya pertanyakan, mereka ini memesan tubuh atau tariannya," kata koreografer asal Bandung ini.
Tak hanya Anis yang berdialog dengan tubuhnya. Ada pula Ayu Permata Sari dengan koreografi berjudul X, yang ia kembangkan dari motif "samber melayang" tari Sigeh Pengunten dari Lampung. Motif ini aslinya adalah kedua tangan bergantian menyilang dengan lemah gemulai. Awalnya, ini merupakan tari persembahan.
Ayu memulai eksplorasi koreografi di tubuhnya dengan gerakan sederhana. Dia berdiri dengan kaki agak merentang, lalu menggosokkan kedua telapak tangan di depan diafragma. Awalnya, ia menggosokkan telapak tangan dengan sangat perlahan dan lama-kelamaan menjadi cepat dan lebih cepat lagi. Ia menggesekkan telapak tangannya, bergerak dari perut, dada, hingga ke atas kepala dan turun lagi. Seiring dengan pergerakan kedua telapak tangannya, otot bagian tubuh lainnya pun ikut bergerak.
Setelah telapak tangan, ia pun menggesekkan lengan, tangan ke perut, paha, bagian belakang tubuh, lalu turun ke kaki. Sambil bersimpuh, ia menggesekkan telapak tangan ke lantai, lalu perlahan seperti menggosok sesuatu yang tak kasatmata di udara.
Penonton diajak melihat eksplorasi tubuh koreografer kelahiran Kotabumi, Lampung, yang tinggal di Yogyakarta ini. Seiring dengan pergerakan gesekan tangannya, ia mengikuti bagian tubuh yang ikut bergerak dan terlihat sangat menikmatinya. Seluruh badannya ikut bergerak. Ayu mengatakan, dari eksplorasi ini, dia merasa sedang berdialog dengan tubuhnya sendiri. "Ada keseimbangan yang tercipta," ujar dia.
Koreografi lain, karya Eyi Lesar, bermain-main dengan tubuh polos dalam tata cahaya dan suara. Dalam karya berjudul Ad Interim, ia menghadirkan tema tentang perbedaan dan pertentangan yang seharusnya bisa harmonis. Eyi bermain-main dengan tata cahaya sedemikian rupa berbentuk melingkar, yang bisa menutup tubuh penari dan menghasilkan siluet.
Ia berkolaborasi dengan musikus yang menggunakan teknologi sensor. Penonton melihat dan mendengar musik yang muncul seiring dengan gerakan tubuh Eyi. Koreografer kelahiran Manado ini mengenakan alat sensor musik di kedua tangannya untuk mendukung penampilannya. "Bagi saya, tubuh adalah sarana. Menari bagi saya seperti ibadah. Koreografi dengan ketelanjangan, karena bagi saya, tak ada lagi rahasia untuk visualisasi," kata Eyi.
Semula, koreografi itu menonjolkan gerakan lambat berguling di lantai, lalu gerakan dengan paduan olah napas, sehingga muncul kombinasi gerakan kontraksi dan relaksasi. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo