Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Ah, Didi!

Penyanyi dan pencipta lagu Didi Kempot berpulang ke rumah abadinya. Mengukir perubahan besar peta audiens musik di Indonesia.

9 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Didi Kempot membuat perubahan besar peta audiens musik di Indonesia.

  • Bermula dari unggahan video di media sosial, pesona Didi Kempot menyusup ke kaum milenial.

  • Didi Kempot mengubah peta musik Indonesia menjadi lebih egaliter.

SUATU petang, seseorang berkendara sepeda motor memboncengkan lelaki berambut gondrong, berkulit gelap, dan bertubuh sedikit gempal. Menyibak kerumunan warga yang menyemut di sepanjang jalan menuju panggung Ngayogjazz 2019 di Kwagon, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. “Minggir... minggir…,” lelaki gondrong itu meminta sambil terus mengumbar senyum kepada semua warga. “Lord Didi!” teriak warga serentak. Mendadak sontak, arena pesta musik jazz tahunan itu berubah menjadi ruang liminal, sulit membedakan mana pandemen jazz dan mana pengagum musik Lord Didi yang bukan jazz. Diiringi musik Djaduk Ferianto dan Kua Etnika, dari atas panggung Lord Didi mengajak penonton bersama menembangkan lagu-lagunya. Musik bergemuruh oleh kor penonton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dionisius Prasetyo. Itu nama aslinya. Panggilannya Didi Kempot, tapi juga kondang disapa Lord Didi. Seorang pencipta lagu dan penyanyi yang menjadi legenda milenial musik Indonesia. Ayahnya, (almarhum) Ranto Edi Gudel, adalah pelawak dan pemain ketoprak ternama di Surakarta, Jawa Tengah. Darah seni mengalir dari sang ayah. Bersama kakaknya, Mamik Prakoso, yang kemudian kondang sebagai pelawak senior dalam grup Srimulat, masa kecil Didi dilumuri aneka kegiatan seni panggung. Mbah Ranto—demikian sapaan akrab ayahnya—menggembleng mereka dengan sesekali mengajak tampil di panggung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di usia dini, pria kelahiran 21 Desember 1966 ini sudah mengamen dari rumah ke rumah atau di trotoar-trotoar jalan di kawasan Keprabon, Surakarta. Didi mengamen bersama teman-temannya dan membentuk Kelompok Pengamen Trotoar. Nama panggung “Kempot” yang disandangnya lahir dari akronim kelompok tersebut. Ia menjual sepeda untuk membeli gitar agar bisa mengamen. Sekitar sepuluh tahun Didi melakoni pekerjaan itu, hingga pada 1987 hijrah ke Jakarta, membawa mimpi besar menjadi artis ternama.

Selama dua tahun di Ibu Kota, ia berhasil meyakinkan produser untuk merekam lagu Cidro. Ini lagu dalam album perdananya. Tapi Jakarta tidak pernah ramah, apalagi terhadap artis pendatang dari daerah. Karena itu, Cidro kemudian sekadar menjadi momen sejarah yang selalu dikenangnya. Liriknya refleksi pengalaman batin yang sangat membekas di hatinya: “Wes samestine ati iki nelongso/Wong seng tak tresnani mblenjani janji….” Sebuah kisah asmara yang tak sampai. Tema ini kelak mewarnai hampir semua lagu yang diciptakannya kemudian: kekallah asmara yang melahirkan luka, lara, dan patah hati!

Ia pulang kampung dan makin produktif menciptakan lagu. Bersama kakak sulungnya, Joko Lelur Sentot Suwarso, yang pemusik campursari, Didi meramaikan panggung musik di Solo dan sekitarnya. Hingga kemudian masyarakat Jawa di Suriname mendengar dan terhanyut oleh lagu-lagunya. Ia lantas sering diundang berkonser di Suriname. Ia bahkan lebih dulu mendapat tempat di negeri yang hampir sepertiga penduduknya orang Jawa itu. Di Suriname, Didi menciptakan lagu Angin Paramaribo yang bercerita tentang eloknya Paramaribo sebagai ibu kota negara tersebut. Tema tentang memori kota atau tempat tertentu sering muncul dalam lagu-lagu berikutnya. Misalnya Stasiun Balapan, Tanjung Mas, dan Pantai Klayar. Ia juga digandrungi warga Jawa di Belanda, bahkan mendapat tempat khusus dan gelar “Penyanyi Jawa Teladan”. Kedua negara itu meninggikan hormat atas konsistensi Didi dalam membuat lagu berlirik bahasa Jawa.

Lagu-lagu barunya terus mengalir. Ratusan, katanya, sampai ia lupa—banyak lagu yang tidak diketahui ujung nasibnya. Ratusan lagu itu diterbitkan dalam 23 album rekaman. Banyak yang menjadi hit dan menggoreskan signature bagi penggemar fanatiknya. Pesona lagu Sewu Kutho sempat membuat musikus Jaya Suprana “ambyar” secara musikal dan kekuatan sastra Jawa yang paripurna. Struktur harmoni lagu itu, katanya, hanya bisa membikin geleng-geleng kepala lantaran takjub. Adapun secara lirik terbukti bahwa bahasa Jawa memiliki daya ekspresi emosi sederhana tapi luar biasa dahsyat menggetarkan sukma. “Sewu kutho wis tak lewati/Sewu ati tak takoni (Seribu kota sudah aku datangi/Seribu hati kutanyai).” Suatu metafora tak biasa bagi yang mengerti bahasa Jawa.

Belakangan, melalui media sosial, pesona Didi menyusup ke kaum milenial. Mulanya adalah video unggahan akun Twitter @AgusMagelangan yang menampilkan sekelompok remaja asyik meresapi lagu-lagu Didi. Unggahan itu viral dan ditangkap YouTuber kondang, Gofar Hilman. Gofar mengundangnya dalam program Ngobam. Tayangan di YouTube tentang lagu dan perjalanan karier musik Didi itu viral di ruang virtual kaum milenial. Popularitas Didi makin melambung. Kaum milenial berbondong-bondong mengaguminya. Mereka pemuja bintang idola, “Top Star”—sesuatu yang lazim terjadi dalam dunia hiburan—yang menjadi audiens baru formula musik Didi.

Dalam dunia media, memenuhi hasrat para pemuja bintang idola adalah perkara mudah. Didi tidak perlu mengubah apa-apa: musiknya, bahasa dan tema liriknya, aksi panggungnya, juga penampilan sehari-harinya yang jauh dari kesan Top Star. Ia hanya membutuhkan “mitos” baru. Dan mitos itu sudah ada dalam genggamannya. Kata Roland Barthes, mitos adalah pengodean nilai-nilai sehingga sesuatu dianggap alami dan lazim, padahal di dalamnya tersamar ideologi terselubung. Melalui bahasa dan wicara, pengodean nilai-nilai tersebut diwujudkan.

Lalu, lahirlah ungkapan “Bapak Loro Ati Nasional”, “The Godfather of Broken Heart”, hingga “Lord Didi” yang membungkus identitas Didi. Itu semua bahasa kunci yang terkesan alami lantaran berhulu pada patron utama keseharian Didi—di dalam atau di luar panggung. Ungkapan-ungkapan tadi menjadikan para pengagum termehek-mehek, menyebut diri “Sad Boy” dan “Sad Girl”. Energi Didi menjangkitkan mania para “Sobat Ambyar” selaku penggemar milenialnya. Dan “Sobat Ambyar” mau menanggalkan stereotipe milenial yang menonjolkan kecerdasan logika serta kecanggihan-kecanggihan lain demi sang idola.

Berada di tengah-tengah kaum milenial, ia tidak ambil pusing musiknya diterima atau tidak di sana. Musiknya adalah formula hybrid yang melampaui pop, rock, dangdut, bahkan campursari yang disebut-sebut sebagai musik yang dimainkannya selama ini. Maka, dengan mulus Didi melenggang di panggung musik jazz, rock, world music, bahkan tampil di Live Space dan The Pallas yang eksklusif hanya untuk para artis pop ternama debutan industri musik global. Pada titik ini, perubahan peta audiens musik Indonesia “ambyar”. Penggemar musik yang tadinya terpolarisasi berdasarkan status sosial, ekonomi, dan pendidikan terdekonstruksi. Tidak ada lagi dangdut atau campursari sebagai musik kaum pinggiran dan perdesaan, jazz sebagai musik masyarakat kota dan terpelajar, klasik untuk kalangan the wave, ataupun rock buat para scumbag yang emoh diatur.

Didi membuat segalanya “ambyar”. Terakhir, dalam sebuah konser dua jam dari rumah untuk menggalang dana bantuan mengatasi pagebluk Covid-19, terkumpul Rp 7 miliar. Sungguh angka fantastis untuk konser berdurasi dua jam tanpa panggung megah. Namun, di tengah sukacita kesuksesan konser amal itu, Indonesia berduka. Pada Senin, 5 Mei 2020, sekitar pukul 07.30, ia dipanggil Yang Kuasa. Begitu mendadak. Pernyataan resmi dari rumah sakit yang merawatnya menyebutkan ia wafat karena henti jantung. Tak ada keterangan lain. Didi mengubah peta musik Indonesia menjadi lebih egaliter. Lord Didi, tetaplah indah di sana!

Joko S. Gombloh, Pengamat Musik
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus