PENGGESEK biola dari India Selatan itu menciptakan garis.
Mula-mula lurus dan tipis. Lantas berliku, makin jelas,
berlenggok-lenggok, naik-turun.
Di Studio V RRI Jakarta, Sabtu malam pekan lalu, L. Subramaniam
setenang musiknya. Hanya kadangkala kepalanya bergerak-gerak
sedikit mengikuti irama yang dibawakannya. Atau kalau permainan
sedang menampilkan mridangan (gendang India Selatan) tunggal, ia
menggerak-gerakkan tangan.
Itulah gambaran pentas: nyaris tak ada gerak. Dua pria duduk
bersila dengan alat musik masing-masing (biola dan gendang),
berkostum kemeja dan sarung india, didampingi seorang perempuan
bersari memegang tambura, alat petik India Selatan yang
mengeluarkan suara dengung.
Gerak agaknya memang tak perlu. Alunan biola atau bunyi gendang
dilatari dengung tambura, adalah tokoh utama malam itu.
Sementara para musisi dan juga penonton diam di tempat, garis
yang keluar dari biola menari, melenggok makin panjang, melibat
semua yang hadir -- kadang dibarengi noktah-noktah suara
gendang.
Dan ketika komposisi pertama berbentuk kriti (terdiri dari tiga
bagian) selesai dimainkan, garis-garis imajiner pun lenyap.
Kemudian, agaknya, penonton tersentak dari pukauan mereka
bertepuk.
Permainan Subramaniam, 31 tahun, penyandang gelar chakravarti
biola (maharaja biola) memang kaya. Musik klasik India Selatan
yang sangat mengandalkan improvisasi itu memberinya kesempatan
untuk dengan leluasa menarikan irama. Dan irama itu dikenalnya
dengan baik konser pertamanya dilakukan dalam usia 8 tahun.
Orang muda ini belum dikenal di Indonesia. Rekannya, yang pernah
ke Indonesia juga, Ravi Shankar, lebih populer. Mungkin itu
sebabnya pertunjukannya tak begitu mengundang orang. Padahal di
arena internasional banyak pengamat musik menyamakan kebolehan
kedua orang itu. Bertiga -- Ravi Shankar, Subramaniam dan George
Harrison (The Beatles) -- pernah keliling Eropa, Asia dan
Amerika Serikat mengadakan konser bersama. Dan Subramaniam
sendiri, tak kurang 2 piringan hitamnya telah beredar.
Subramaniam, dokter kelahiran Madras Medical College yang tak
sempat mempraktekkan ilmunya itu, adalah seorang musikus yang
mengagumkan, tulis seorang kritikus musik. Alunan biolanya yang
santai tapi karakteristik, membawa pendengarnya ke satu
pengalaman yang sederhana tapi intens. Garis-garis suara biola
itu memasukkan orang ke lorong-lorong gelap, membawa menari di
padang-padang, memberi keberanian pada kesendirian. Secara
keseluruhan, musiknya bagaikan doa. Pada puncak permainannya,
pada komposisi yang terakhir, ia benar-benar memenuhi ruang
Studio V dengan garisgaris yang menari dengan lincah, berlenggok
dengan indah dan beberapa lama dipadu dengan bunyi gendang dari
T.H. Subash yang memukul-mukul sela-sela alunan.
Seperti irama musiknya yang mengalun jauh, Subramaniam rupanya
seorang pengembara. Tapi pertunjukannya di Jakarta sebenarnya
tak masuk dalam rencananya. Maksud sebenarnya ke sini dia ingin
mengunjungi sahabatnya yang dikenalnya di Amerika Serikat: Wayan
Diya, penari TIM itu. "Saya puas, telah membayar janji saya
kepada Wayan mengunjungi Indonesia," katanya. Memang kebetulan
dua hari sebelumnya dia diundang Radio Singapura untuk
mengadakan pertunjukan di sana.
7 Manajer
"Saya senang hidup sederhana. Yang penting main musik. Harta itu
urusan kedua," tuturnya kepada TEMPO. Mungkin itu sebabnya ia
mau memenuhi permintaan Taman Ismail Marzuki dengan honor
sekedarnya. Tapi ia memiliki rumah di Van Nuys, California.
Bahkan diam-diam, di balik penampilannya yang sederhana itu,
Subramaniam bak sebuah perusahaan multi nasional. Ia punya 7
manajer --tersebar di Prancis, Denmark, Inggris, Skandinavia,
Malaysia, AS dan India sendiri -- yang mengatur pertunjukannya.
Dia memang sibuk luar biasa. Dalam setahun rata-rata 200 konser
diselenggarakannya. "Saya terlalu lelah, sebetulnya. Tapi musik
sudah hidup saya," katanya lirih, di hotel tempatnya menginap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini