Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Doa dari india selatan

Penggesek biola dari india selatan subramaniam dkk tampil di studio v rri jakarta membawakan mridangam (gendang india selatan). (ms)

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGGESEK biola dari India Selatan itu menciptakan garis. Mula-mula lurus dan tipis. Lantas berliku, makin jelas, berlenggok-lenggok, naik-turun. Di Studio V RRI Jakarta, Sabtu malam pekan lalu, L. Subramaniam setenang musiknya. Hanya kadangkala kepalanya bergerak-gerak sedikit mengikuti irama yang dibawakannya. Atau kalau permainan sedang menampilkan mridangan (gendang India Selatan) tunggal, ia menggerak-gerakkan tangan. Itulah gambaran pentas: nyaris tak ada gerak. Dua pria duduk bersila dengan alat musik masing-masing (biola dan gendang), berkostum kemeja dan sarung india, didampingi seorang perempuan bersari memegang tambura, alat petik India Selatan yang mengeluarkan suara dengung. Gerak agaknya memang tak perlu. Alunan biola atau bunyi gendang dilatari dengung tambura, adalah tokoh utama malam itu. Sementara para musisi dan juga penonton diam di tempat, garis yang keluar dari biola menari, melenggok makin panjang, melibat semua yang hadir -- kadang dibarengi noktah-noktah suara gendang. Dan ketika komposisi pertama berbentuk kriti (terdiri dari tiga bagian) selesai dimainkan, garis-garis imajiner pun lenyap. Kemudian, agaknya, penonton tersentak dari pukauan mereka bertepuk. Permainan Subramaniam, 31 tahun, penyandang gelar chakravarti biola (maharaja biola) memang kaya. Musik klasik India Selatan yang sangat mengandalkan improvisasi itu memberinya kesempatan untuk dengan leluasa menarikan irama. Dan irama itu dikenalnya dengan baik konser pertamanya dilakukan dalam usia 8 tahun. Orang muda ini belum dikenal di Indonesia. Rekannya, yang pernah ke Indonesia juga, Ravi Shankar, lebih populer. Mungkin itu sebabnya pertunjukannya tak begitu mengundang orang. Padahal di arena internasional banyak pengamat musik menyamakan kebolehan kedua orang itu. Bertiga -- Ravi Shankar, Subramaniam dan George Harrison (The Beatles) -- pernah keliling Eropa, Asia dan Amerika Serikat mengadakan konser bersama. Dan Subramaniam sendiri, tak kurang 2 piringan hitamnya telah beredar. Subramaniam, dokter kelahiran Madras Medical College yang tak sempat mempraktekkan ilmunya itu, adalah seorang musikus yang mengagumkan, tulis seorang kritikus musik. Alunan biolanya yang santai tapi karakteristik, membawa pendengarnya ke satu pengalaman yang sederhana tapi intens. Garis-garis suara biola itu memasukkan orang ke lorong-lorong gelap, membawa menari di padang-padang, memberi keberanian pada kesendirian. Secara keseluruhan, musiknya bagaikan doa. Pada puncak permainannya, pada komposisi yang terakhir, ia benar-benar memenuhi ruang Studio V dengan garisgaris yang menari dengan lincah, berlenggok dengan indah dan beberapa lama dipadu dengan bunyi gendang dari T.H. Subash yang memukul-mukul sela-sela alunan. Seperti irama musiknya yang mengalun jauh, Subramaniam rupanya seorang pengembara. Tapi pertunjukannya di Jakarta sebenarnya tak masuk dalam rencananya. Maksud sebenarnya ke sini dia ingin mengunjungi sahabatnya yang dikenalnya di Amerika Serikat: Wayan Diya, penari TIM itu. "Saya puas, telah membayar janji saya kepada Wayan mengunjungi Indonesia," katanya. Memang kebetulan dua hari sebelumnya dia diundang Radio Singapura untuk mengadakan pertunjukan di sana. 7 Manajer "Saya senang hidup sederhana. Yang penting main musik. Harta itu urusan kedua," tuturnya kepada TEMPO. Mungkin itu sebabnya ia mau memenuhi permintaan Taman Ismail Marzuki dengan honor sekedarnya. Tapi ia memiliki rumah di Van Nuys, California. Bahkan diam-diam, di balik penampilannya yang sederhana itu, Subramaniam bak sebuah perusahaan multi nasional. Ia punya 7 manajer --tersebar di Prancis, Denmark, Inggris, Skandinavia, Malaysia, AS dan India sendiri -- yang mengatur pertunjukannya. Dia memang sibuk luar biasa. Dalam setahun rata-rata 200 konser diselenggarakannya. "Saya terlalu lelah, sebetulnya. Tapi musik sudah hidup saya," katanya lirih, di hotel tempatnya menginap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus