Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Dokter yang Kepincut Dansa dan Lukisan

16 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aula Gedung Tribakti di Kota Magelang, yang sering menjadi tempat konser musik, berubah jadi galeri seni rupa sekaligus lantai dansa pada Kamis malam dua pekan lalu. Dua perempuan bernyanyi di atas panggung, membawakan lagu-lagu yang mengajak kaki bergoyang, seperti 50 Tahun Lagi, yang dipopulerkan Yuni Shara, dan Jogja Istimewa karya Kill the DJ.

Beberapa orang turun melantai, termasuk Oei Hong Djien, pengusaha tembakau yang jadi tuan rumah acara itu. Beberapa tamu dan anggota keluarga besar Oei duduk di kursi-kursi yang disusun mengitari lantai dansa. Tempat pesta ini berada di bagian paling belakang aula tanpa sekat yang seperti hanggar pesawat itu. Untuk mencapainya, orang harus melewati beberapa ruang yang dibatasi panel-panel yang menyajikan karya 37 seniman dalam pameran "A Tribute to a Mentor", yang digelar Garis Artspace selama dua hari hingga Jumat. "Dansa adalah hobi saya, nomor dua setelah seni," tulis Oei dalam pengantar pameran.

Pesta dansa dan pameran itu adalah hadiah bagi Oei, yang tepat pada 5 April lalu berulang tahun ke-73. Semua seniman yang berpameran adalah yang karyanya dikoleksi Oei. Nasirun, perupa Yogyakarta, bahkan membuat Bayang-bayang OHD, berupa 73 panel lukisan yang menggambarkan siluet Oei dalam berbagai warna dan tema.

Hidup Oei tampaknya memang ditakdirkan dekat dengan seni rupa. Dia lahir di Magelang dan besar di Semarang, Bandung, dan Jakarta. Meski berpindah-pindah, dia selalu tinggal di rumah yang dipenuhi lukisan. Apalagi saat dia tinggal di rumah sepupunya di Bandung, Kwi Sian Yok, kritikus seni di mingguan Star Weekly, dan berkenalan dengan beberapa seniman, seperti Mochtar Apin. Namun ayahnya, juragan tembakau Magelang, yang ingin Oei jadi dokter, mengirim dia kuliah kedokteran di Universitas Indonesia dan spesialisasi patologi anatomi di Katholieke Universiteit Nijmegen, Belanda.

Selama masa kuliah, Oei rajin mengunjungi pameran lukisan dan museum. Sayang, dia belum punya uang untuk ­me­ngoleksi lukisan. Maka jadilah dia membeli poster-poster lukisan karya empu seni rupa dunia, seperti Picasso dan Rembrandt. Uang baru terkumpul setelah dia mewarisi usaha dagang tembakau ayahnya dan menjadi grader (penguji kualitas tembakau) di PT Djarum. "Setelah uang terkumpul, saya bisa beli lukisan Affandi pada 1982. Bayarnya dengan mencicil," kata Oei.

Karena mencicil, Oei jadi sering bertemu dengan Affandi dan berkenalan dengan para seniman lain. "Saya tak tahu kapan saya disebut kolektor. Tapi waktu itu mulai banyak seniman yang menawarkan karyanya kepada saya," ujarnya.

Para seniman dari Yogyakarta dan Jawa Tengah pun bertandang ke rumahnya, untuk menghadiahinya lukisan atau menjajakan karya mereka. Mereka adalah seniman muda yang kini namanya tenar, seperti Handiwirman Saputra, Jumaldi Alfi, Rudi Mantofani, Yunizar, dan Yusra Martunus, yang tergabung dalam Kelompok Jendela. Ada pula Entang Wiharso dan Nasirun. Saat itu mereka masih seniman muda yang malu-malu menawarkan karyanya. Bahkan Nasirun pernah hendak mengantar lukisannya, tapi baru sampai pagar rumah, dia sudah lari tunggang langgang karena digonggongi anjing.

Oei memang mengoleksi karya seniman muda yang karyanya dia pandang berkualitas, tapi tetap rajin memburu karya para maestro. Dia bahkan pernah mengejar lukisan hingga ke Brasil. Saat itu, ia mendengar kabar bahwa seorang bekas duta besar Brasil di Indonesia, yang mengoleksi banyak lukisan Indonesia, meninggal dan koleksinya jatuh ke balai lelang. Oei segera terbang ke Rio de Janeiro dan memborong 30 lukisan, termasuk karya tiga empu seni rupa, Affandi, Widayat, dan S. Sudjojono.

Kini koleksinya mencapai 2.000 lebih dan dianggap paling lengkap mengenai sejarah seni rupa Indonesia. Itu sebabnya para peneliti seni akan datang kepadanya bila hendak mempelajari sejarah dan karya seni rupa. Dia juga jadi tempat bertanya bagi para kolektor dan balai lelang.

"Nah, ini yang saya dapat di Brasil. Ini salah satu lukisan penting Affandi yang menang Biennale Venesia pada 1954," kata Oei sambil menunjuk Bistro in Paris yang kini dipajang di gedung 3 Museum OHD, pada Kamis siang, beberapa jam sebelum ia turun ke lantai dansa merayakan ulang tahunnya.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus