Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setelah delapan tahun lamanya, perupa TuTu menggelar pameran tunggal berjudul Future Wisdom.
TuTu menampilkan lukisan dan instalasi seni dalam pameran tunggal di Can's Gallery, Jakarta Pusat.
Tokoh kartun, game, dan pahlawan super menjadi inspirasi karya TuTu.
Tiga lukisan di atas kanvas masing-masing berukuran 120 x 160 sentimeter dipasang berdampingan di sudut dinding ruang pameran Can's Gallery, Jakarta Pusat, Selasa, 10 Oktober lalu. Ketiga lukisan itu punya tema sama: tokoh pahlawan super.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uniknya, ketiga tokoh yang biasanya identik dengan laki-laki itu kini digambarkan lebih feminin. Betapa tidak, lukisan berjudul Astro Babe digambarkan menyerupai tokoh anime Jepang Astro Boy, robot super berbentuk bocah laki-laki. Perupa A.A.G. Airlangga menampilkan sosok mirip Astro Boy itu, dari rambut hingga corak warna badan, dalam wujud tubuh perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selanjutnya ada lukisan berjudul GunMom yang terinspirasi oleh karakter robot super Gundam. Lagi-lagi Tutu—demikian seniman itu dikenal—membuat karakter robot tempur tersebut seperti perempuan, dari bentuk bagian dada sampai gerak tangannya. Terakhir, lukisan Ultra Gal yang tak kalah menggelitik.
Karakter Ultraman, pahlawan super asal Jepang bertubuh raksasa, juga ikut dibuat dalam versi perempuan. Uniknya, tanduk pada helm raksasa itu mirip rambut dikuncir dua di sisi kanan dan kiri.
Ketiga lukisan tersebut bagian dari karya-karya TuTu dalam pameran tunggal bertajuk "Future Wisdom", yang digelar pada 7 Oktober-7 November 2023.
Tiga lukisan karya perupa TuTu berjudul Astro Babe (kiri), GunMom, Ultra Gal. Tempo/Indra Wijaya
Selain itu, ada satu instalasi seni berjudul Tango Down. Jika dilihat dari kejauhan, bentuknya mirip senapan runduk milik para penembak jitu. Bagi orang yang gemar memainkan game peperangan dan menonton film laga, pasti tak akan merasa asing lagi dengan senapan runduk.
Namun, ketika melihat karya Tango Down lebih dekat, akan tampak kejanggalan dari senapan runduk itu. Rupanya senapan berkelir biru tua dan hitam tersebut terbuat dari berbagai macam benda bekas. Dari bor listrik, potongan kamera video lama, sampai beragam jenis mata bor yang dipasang layaknya amunisi cadangan.
TuTu mengatakan pembangunan diri menjadi tema kuat dalam sejumlah karya yang ia pamerkan kali ini. Perjalanan hidupnya sebagai orang yang mencintai fiksi ilmiah, kartun, game, dan pahlawan super tergambar jelas dalam sejumlah karya.
Seni instalasi berjudul Tango Down. Tempo/Indra Wijaya
Minat itu membuat TuTu sempat bekerja sebagai ilustrator dan animator. "Tempat saya bekerja membuat saya banyak berinteraksi dengan orang-orang yang ada di dunia itu," kata pria lulusan Desain dan Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung ini.
Bagi TuTu, tema nostalgia sejatinya punya kaitan kuat dengan pembangunan diri. Sebab, dari nostalgia itu, akan tergali cerita masa kecil saat masih hidup bersama keluarga, dari lahir, tumbuh dewasa, hingga meninggalkan rumah. Selama itu pula, seseorang mendapat banyak ilmu hidup dari orang tua, saudara, dan anggota keluarga lain.
"Atau awal pembentukan diri kita yang bisa jadi kelak berguna saat kita mandiri."
TuTu juga menampilkan sejumlah lukisan tak biasa. Contohnya karya berjudul Power of Positivity. Lukisan ini tampak memiliki dua bingkai bertumpuk, yakni bingkai persegi panjang horizontal dan bingkai berbentuk mirip palet cat. Adapun kanvas pada lukisan tersebut tergambar sebuah wajah perempuan dengan berbagai macam spektrum warna.
Lukisan berjudul Solitude. Tempo/Indra Wijaya
Ada pula lukisan berjudul Solitude yang lagi-lagi memakai bingkai bertumpuk. Kali ini perpaduan antara bingkai persegi panjang vertikal dan jajar genjang. Wajah perempuan kembali menjadi isi utama karya dengan berbagai spektrum warna tersebut.
Selain menggunakan kanvas, TuTu menyuguhkan lukisan yang terbuat dari berbagai macam benda. Seperti pada karya berjudul Home, Friend, & Foes, yang terbuat dari kayu lapis, potongan balok Lego, tutup botol, silet lipat, dadu, hingga rantai dompet. Benda-benda tersebut lantas disapu dengan cat semprot beraneka warna: merah, ungu, hitam, biru, dan lainnya.
Seni instalasi berjudul Home, Friend, & Foes. Tempo/Indra Wijaya
Menariknya, hampir semua karya lukis TuTu memainkan komposisi warna yang menyala dan atraktif. Sekilas warna dan goresan cat itu mirip street art yang biasa ditemukan pada karya grafiti. Hal itu wajar karena TuTu sejak 2000-an dikenal sebagai seniman grafiti yang kerap unjuk karya di berbagai ruang publik di dalam dan luar negeri.
TuTu pun membenarkan bahwa gaya street art sudah telanjur mengakar pada dirinya. "Jika ingin jadi ciri khas, mungkin bisa saja, tapi hanya sebagian karena masih ada ciri khas lain yang bisa ditemukan pada karya saya," ujarnya.
Selain itu, narasi kuat menjadi hal wajib dalam setiap karya TuTu. Menurut dia, setiap hari harus punya keterkaitan narasi yang sesuai. Karena itu, banyak sketsa yang ia buat bisa berubah di tengah jalan karena energi dan rasa baru yang ditangkap dalam proses kreatifnya. "Perubahan lebih ke arah teknis dan visualisasi. Jadi, narasi dan pesan tidak berubah total, melainkan berkembang."
Kurator pameran Bambang Witjaksono menilai terdapat perbedaan yang cukup kental dalam visualisasi pada karya-karya TuTu dibanding street art pada umumnya. Salah satunya adalah kejelian sang seniman serta pengembangan potensi garis, warna, dan volume kedalaman ruang. Bambang menyebutkan sejumlah elemen dalam karya-karya TuTu dibuat dengan teliti dan teratur.
Hal inilah yang menjadi pembeda dengan seni grafiti jalanan yang cenderung mengandalkan tarikan garis dinamis pada cat semprot. Selain itu, grafiti jalanan lebih mengedepankan permainan garis dan ruang. "Tapi TuTu bisa melakukan eksplorasi terhadap waktu," ujarnya.
Ia juga menilai karya-karya TuTu dalam pameran Future Wisdom sukses memvisualisasi keseimbangan semua elemen non-kaidah geometris klasik pada umumnya. Selain itu, TuTu mampu menjabarkan bentuk mikroskopis serta menggabungkan teknik visual berbeda yang diracik dalam gaya fiksi ilmiah dan fantasi pada sebuah media.
Bambang menambahkan, TuTu sering memunculkan tampilan visual dengan makna tersembunyi, seperti meninggalkan potongan teka-teki yang harus dipecahkan. Tak hanya membawa bentuk abstraksi geometris dan terkesan lawas, tapi juga futuristik. Karya-karya TuTu seperti membuka dunia baru yang ada di antara kenyataan dan khayalan.
"Ruang tanpa dimensi, bentuk tanpa massa, waktu yang tidak linear. Sesuatu yang mengajak untuk menempuh eksplorasi imajiner," kata dosen Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.
Bagi TuTu, pameran tunggal "Future Wisdom" seakan-akan menjadi penyegaran atau momentum eksistensinya sebagai perupa. Maklum, terakhir kali ia menggelar pameran tunggal pada 2015 bertajuk "Barbuk" di Gardu House, Jakarta Selatan.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo