Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Antrean mengular panjang. Setiap orang masuk sambil memegang daun serai atau sereh. Tanaman untuk bumbu masakan itu diberikan panitia bersama leaflet saat menunjukkan tiket ke petugas jaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka bukan ingin masak bersama, melainkan hadir untuk menyaksikan pementasan konser teatrikal yang memadukan musik Batak dan orkestra. Berjudul Emas Sangge-sangge, pertunjukan itu dihelat di Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat, Jumat malam, 4 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sangge-sangge" dalam bahasa Batak berarti daun serai atau sereh. Rasa tanaman itu akrab di lidah karena beberapa kuliner Batak memakainya sebagai penyedap. Belakangan, istilah sangge-sangge mencuat dalam masalah sosial, khususnya berkaitan dengan adat pernikahan Batak. Sekitar dua tahun lalu, beredar kisah nyata sepasang kekasih gagal menikah karena konflik setelah acara pranikah. Sang calon mertua menyebut perhiasan emas dari calon mantunya sangge-sangge, atau emasnya setipis atau sekecil daun serai. Rencana pernikahan pun buyar.
Pernikahan sesuai dengan adat tradisional bagi sebagian orang menjadi persoalan besar. Kepatuhan pada tradisi membawa konsekuensi berupa biaya besar yang harus disiapkan. Untuk melamar, misalnya, harus ada maskawin atau mahar dengan berbagai hitungan uang. Belum lagi untuk acara pesta pernikahan, sajian dan tempatnya, jumlah undangan, serta perlengkapan adat lainnya. Untuk menikah secara adat, orang perlu berkantong tebal dan memiliki banyak simpanan uang di bank.
Alkisah, seorang pemuda kampung bernama Justin pergi merantau ke Jakarta. Impiannya adalah mendapatkan pekerjaan bagus dan mengangkat status ekonomi keluarga. Sesampai di Jakarta, ia mengabarkan lewat handphone. Matanya takjub melihat gedung-gedung tinggi. Ceritanya terputus karena pulsa teleponnya habis.
Justin merintis karier sebagai penjual panci berharga miring dengan bonus spatula. Kariernya kemudian menanjak hingga sanggup punya mobil. Orang tuanya berharap ia segera menikah. Kebetulan calonnya sudah ada. Dia merupakan seorang dokter lulusan universitas di Jerman. Ketika bertemu dengan ibu pacarnya, Justin dibuat kecewa. Sang ibu ingat Justin pernah menjadi penjual panci. Sebagai pemuda dari kampung, Justin dinilai tak layak menjadi pendamping hidup anaknya.
Kisah pemuda Batak yang sukses di perantauan itu berselang-seling dengan konser musik Batak dan orkestra serta tarian, juga paduan suara. Beberapa lagu tersebut di antaranya berjudul Ombra Mai Fu, Jamila, Dekke Jahir, Sai Anju Ma Ahu, Sangge-sangge, dan Aut Boi Nian. Tiap kali terjadi perpindahan dari teater ke musik, lampu pentas dimatikan atau tirai ditutup untuk memasukkan atau mengeluarkan properti, seperti tikar dan kursi. Panggung terasa sesak karena sekitar dua pertiganya terpakai untuk ansambel, sisanya untuk ruang teatrikal yang bergantian dengan tarian, band, dan paduan suara.
Penggagas sekaligus direktur pertunjukan itu, Stacia Edina Hasiana Sitohang, mengatakan ada satu hal yang keliru dan belum terjawab ihwal kenapa maskawin di adat Batak menjadi sesuatu yang dimaknai dari sisi materi. Padahal maskawin merupakan simbol dari suatu penghormatan yang sakral di antara dua pihak keluarga besar yang tidak dapat dinilai dari sisi materi. "Hal ini yang layak direnungkan kembali agar kita dapat kembali ke pemaknaan sesungguhnya," ujar dia.
Lewat hiburan di panggung, ia berupaya menyampaikan makna soal maskawin adat Batak itu kepada generasi muda seleluhur. Namun penonton malam itu bukan hanya generasi milenial, banyak juga yang sebaya orang tuanya dan lebih sepuh lagi.
Ayah Stacia, Benhard Sitohang, yang menjadi penasihat pementasan, mengatakan ide acara itu tercetus sejak dulu. Stacia menyebutnya sejak 2015. "Ada pemberontakan di pikiran Stacia soal kasih di dalam etnis Batak yang sudah dijajah materi," kata Benhard, guru besar di Institut Teknologi Bandung. Selain mengangkat tema sosial, pertunjukan tersebut ingin mengangkat musik tradisional Batak yang ditemani iringan orkestra.
Menurut Stacia, pergelaran itu bermodal nekat dan semangat menjaga tradisi bersama orang Batak segenerasi. "Saya hampir menyerah beberapa bulan lalu untuk menjalankan acara ini," tutur dia. Ikut dibantu rekan dari berbagai etnis, lulusan Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB 2016 itu menggaet sejumlah seniman. Mereka antara lain grup musik pemuda Batak D’Bamboo, maestro musik Batak Marsius Sitohang, Divo Singers, dan Svara Martua Orchestra.
Sebagai orang Batak yang lahir dan besar di tanah rantau, dia mengaku kurang fasih berbahasa ibu. Namun ia mendorong semangat kepada rekan sebayanya bahwa anak Batak di mana pun bisa berperan memajukan kebudayaan. Horas! ANWAR SISWADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo