Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film animasi Avatar: The Way of Water yang dirilis pada 16 Desember 2022 sempat meramaikan perbincangan publik di Tanah Air. Percakapan ini dipantik oleh pernyataan sutradaranya, James Cameron, yang menyatakan film ini terinspirasi oleh kelompok gipsi laut di Indonesia: Suku Bajau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film ini mengisahkan upaya Jake Sully, eks manusia yang menjadi anggota bangsa Na’vi (penduduk asli eksosatelit Pandora), mencari perlindungan dan bantuan ke Klan Metkayina, kaum Na’vi yang menghuni laut. Adapun Jake bersama klannya merupakan bagian dari klan hutan atau Omaticaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu sumber inspirasi film ini, gipsi laut, merupakan kaum yang menggantungkan sebagian besar hidupnya di laut. Gipsi laut merupakan masyarakat adat yang unik karena kebudayaan mereka berorientasi penuh pada laut. Mereka mengarungi lautan dengan perahu tradisional, dan hanya sesekali ke darat untuk menjual hasil tangkapan, mengambil air bersih, memakamkan jenazah, melakukan ritual, ataupun keperluan lainnya.
Di Asia Tenggara, kelompok gipsi laut terbagi setidaknya dalam tiga kelompok: Moken/Moklen di Myanmar dan Thailand; Orang Laut di Thailand, Malaysia, dan Indonesia; serta Sama-Bajau di Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Ketiga kelompok ini memiliki kesamaan dalam pola hidup, kearifan lokal, dan orientasi kehidupan pada budaya maritim.
Saya pun menonton film tersebut. Sebagai seorang peneliti gipsi laut, saya menyimpulkan ada beberapa kemiripan menarik antara Klan Metkayina dan gipsi laut di Indonesia, dari cara hidup hingga konflik yang mengancam kebudayaan mereka.
Suku Bajau Sampela di Wakatobi (kiri) dan Klan Metkayina dalam film "Avatar: The Way of Water (2022)" (kanan). TEMPO/Nita Dian, Dok. 20th Century Studios
1. Struktur Tubuh
Film Avatar: The Way of Water memperlihatkan Klan Metkayina yang akrab dengan laut. Tubuh mereka pun menyesuaikan diri dengan pola hidup sehari-hari, misalnya struktur sirip dan ekor yang menjuntai menyerupai dayung.
Sedangkan kaum gipsi laut, khususnya Orang Bajau, juga memiliki perbedaan tubuh, yaitu ukuran limpa (getah bening) yang lebih besar dibanding orang darat. Kondisi ini memungkinkan mereka menyelam bebas (tanpa perlengkapan) lebih lama.
Selain itu, saya mengamati bentuk morfologi, seperti panjang torso, dan bentuk tubuh lainnya mengalami penyesuaian dengan lingkungan hidup gipsi laut sebagai penyelam andal. Namun hipotesis ini harus dikaji lebih lanjut dalam penelitian.
Suku Bajau beraktivitas di Desa Sama Bahari, Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 9 September 2014. TEMPO/Nita Dian
2. Permukiman
Salah satu gipsi laut di Indonesia, yakni Orang Laut di pesisir timur Pulau Sumatera, kerap bermukim di perahu. Secara tradisional, mereka terbiasa mengarungi satu daerah ke daerah lainnya dengan membawa "rumahnya" yang bernama Sampan Kajang.
Pada Suku Bajau, rumah perahu tersebut dikenal dengan nama Soppe. Sayang, karena kebijakan batas negara yang ketat di Asia Tenggara, pergerakan mereka tak lagi bebas.
Baik Suku Laut maupun Suku Bajau dulunya merupakan kelompok pengembara laut dengan pola hidup nomaden. Namun saat ini pola hidup mereka bertransformasi menjadi menetap atau sedenter, yang disebabkan oleh berbagai faktor. Mereka mendirikan rumah di atas air atau disebut rumah tancap. Rumah ini juga biasa didirikan di sekitar kawasan mangrove.
Nah, dalam film Avatar: The Way of Water, Klan Metkayina yang menghuni Desa Awa’atlu juga bermukim di vegetasi pesisir. Rumah-rumah penduduk digantungkan di akar-akar pohon yang tumbuh di pesisir untuk memudahkan pergerakan mereka di air.
Klan Metkayina dalam film "Avatar: The Way of Water (2022)" (kanan). Dok. 20th Century Studios
3. Ekologi Sakral
Sama halnya dengan wilayah pohon arwah Metkayina (Rantent Utraiti) bagi bangsa Na’vi yang terletak di bawah laut Pandora, kaum Bajau juga mengenal wilayah yang dihuni oleh roh laut terbesar. Roh bernama Mbok Madilao’ ini dianggap sebagai penjaga keseimbangan alam dan manusia.
Sosok Mbok Madilao’ dapat berubah sesuai dengan situasi dan lintas wilayah, di mana ada laut mereka bisa berkoneksi. Kepercayaan ini mirip dengan ilustrasi Eywa, roh yang disakralkan dalam film Avatar: The Way of Water.
Selain di laut, kaum Bajau mengenal adanya pohon sakral. Biasanya pohon ini mereka tandai dengan pohon paling besar yang berada di pesisir pantai dan pulau-pulau kecil. Pohon ini dipercayai mewakili roh yang ada di daratan.
Ada pula filosofi hidup masyarakat Bajau tentang jumlah daun yang menggambarkan jumlah ikan di laut: lamong para daong ma dara, para dayah ma dilao (jika banyak daun di darat, maka banyak ikan di laut). Filosofi ini menunjukkan bagaimana kehidupan masyarakat Bajau yang bergantung kepada alam, baik itu di darat maupun di laut.
Contoh lainnya adalah kepercayaan masyarakat Bajau terhadap hutan bakau sebagai tempat pemijahan berbagai jenis biota dan tempat berlindung pada saat bencana datang. Hutan bakau memiliki peran sebagai pelindung bagi masyarakat Bajau, terutama pada musim tidak bisa melaut karena badai.
Suku Bajau Sampela, La Oda, melakukan penyelaman bebas saat berburu ikan di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 2016. TEMPO/Nita Dian
4. Dinamika Sosial-Budaya
Film Avatar: The Way of Water menyinggung kompleksitas dan dinamika sosial masyarakat Na’vi dalam menghadapi aktivitas manusia dari luar kehidupan mereka. Pesan menjaga lingkungan dan eksistensi masyarakat adat sangat kuat dalam setiap rangkaian ceritanya.
Peran ini juga tecermin dalam kehidupan gipsi laut. Misalnya masyarakat Bajau menerapkan praktik perikanan berkelanjutan "Tubba Dikatutuang" untuk menjaga laut dari eksploitasi berlebihan. Praktik ini terkait dengan upaya pelindungan kawasan laut oleh warga setempat, disebut juga Locally Managed Marine Area (LMMA), yang berkontribusi positif atas kelestarian laut dan praktik adat selama bertahun-tahun.
Sayangnya, di Indonesia, praktik ini belum dilindungi secara penuh. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih belum mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pelindungan Masyarakat Adat.
Padahal RUU ini bisa menjadi dasar pembentukan aturan khusus pelindungan gipsi laut. Pelindungan khusus dibutuhkan karena karakter yang berbeda dengan masyarakat adat di darat. Misalnya Bajau tidak mempunyai konsep tanah ulayat layaknya masyarakat adat di darat. Bagi mereka, laut bukanlah properti, melainkan wilayah komunal yang bebas dilintasi (open access). Namun hak mereka untuk mencari makan dan memenuhi kebutuhan spiritual bersama di suatu area LMMA mestilah dipenuhi.
Di sisi lain, isu pembangunan, seperti konservasi dan pariwisata, menghadirkan tantangan tersendiri bagi gipsi laut. Pembangunan pariwisata yang tidak mempertimbangkan kearifan lokal dan partisipasi gipsi laut harus ditelaah dengan saksama. Pemerintah juga harus memperhatikan pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata yang berdampak pada kehidupan mereka.
Dalam isu konservasi laut dan pesisir, praktik pelindungan ekosistem dan biodiversitas yang sejalan dengan praktik adat semestinya menjadi parameter kesuksesan program.
Baik dalam LMMA maupun opsi pelindungan lainnya, wilayah sakral masyarakat gipsi laut harus menjadi perhatian. Dengan demikian, eksistensi masyarakat gipsi laut sebagai inspirasi film Avatar: The Way of Water tetap terjaga.
---
Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo