Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film-film rekomendasi liburan
Unorthodox menyajikan perlawanan terhadap konservatisme
Upload memadukan perkembangan teknologi dengan komedi soal kematian
HIDUP tak semudah yang dibayangkan Esther Shapiro alias Esty, 19 tahun, sebelum menikah. Saat banyak gadis seumurnya ingin berkelana, dunia Esty hanya Williamsburg: secuil area di Brooklyn, Amerika Serikat. Di sanalah cabang komunitas Yahudi Ortodoks, Satmar Hasidic, mengakar dalam ruang dan aturan-aturan eksklusifnya. Semula, Esty (diperankan Shira Haas) adalah orang yang taat. Sampai di satu titik, ia membelot dan minggat ke Jerman, negara tempat tinggal ibunya. Williamsburg, bagi Esty, tak seperti Amerika yang dikenal dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjalanan Esty disuguhkan dalam empat episode serial Unorthodox yang digarap Netflix dan tayang 26 Maret lalu. Film arahan Maria Schrader itu terilhami buku Unorthodox: The Scandalous Rejection of My Hasidic Roots karya Deborah Feldman. Empat episodenya menyorot pertarungan di kepala Esty antara “ideal dan tidak ideal”, sampai kemudian ia memilih mendobrak aturan komunitas, yang tak ubahnya menyerang kemapanan identitas bersama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Narasi film disokong pewarnaan yang membuat kita larut dalam dinamika pikiran Esty. Setiap kali Williamsburg diekspos, warna-warna hangat tapi monoton mendominasi. Menampilkan adat Satmar Hasidic yang miris bagi pemuja kebebasan dan modernitas: dari kisah tentang perjodohan yang diatur rabi atau pemuka agama Yahudi, pernikahan dini—Esty dijodohkan dengan Yanky saat umurnya 14 tahun—aturan hidup yang seksis, hingga urusan ranjang yang menempatkan perempuan sebagai obyek dan mesin anak belaka.
Unorthodox/imdb
Kondisi itu kontras dengan yang dialami Esty begitu masuk ke Jerman. Tiba di Berlin dengan bekal duit yang digulung dan diselipkan di baju, Esty berjumpa dengan satu geng musikus multietnis dan sekuler. Mereka berkawan dan mendiskusikan banyak hal, dari orientasi seksual hingga genosida Holocaust yang menyisakan trauma berkepanjangan bagi orang Yahudi. Situasi represif dan muram yang menjadi keseharian Esty di Williamsburg berubah menjadi cerah setelah ia mencicipi keberagaman. Dia menjelajahi norma baru, sementara di kota asalnya, kepergiannya menjadi skandal. Rabi menyuruh Yanky (Amit Rahav) dan sepupunya memulangkan Esty.
Selain sosok Esty, kompleksitas karakter Yanky menarik. Ia terombang-ambing di antara kepatuhan komunal dan sececah hasrat untuk ikut melawan bersama Esty. Dialog keduanya ketika bersua di Berlin membuka luka yang selama ini bercokol dalam pernikahan mereka. Situasi pelik itu disandingkan dengan adegan kocak yang satire. Di Berlin yang serba modern, Yanky dan Esty terlihat sangat katrok. Mereka tak mengenal telepon seluler pintar karena di Williamsburg benda itu dilarang, buta Internet, dan tak tahu cara mengoperasikan komputer.
Sebagai penyintas komunitas ultraortodoks, Shira Haas berakting sangat wangi. Ia mewakili sikap kritis terhadap Williamsburg yang konservatif dengan tradisi dan seremoni yang ditampilkan film berbahasa Yahudi, Jerman, dan Inggris ini. Cara Schrader dan Anna Winger menampilkan adat Satmar Hasidic sendiri sangat menarik dan mendetail. Seperti saat Unorthodox mengundang kita ke pesta pernikahan Esty-Yanky yang meriah sekaligus kompleks. Juga dalam praktik mandi mikvah, konsultasi pranikah yang penuh ajaran bias gender, dan tuntutan sosial yang melelahkan. Gambaran yang membuat kita memaklumi mengapa Esty akhirnya memberontak.
UPLOAD
Upload/Imdb
Apa yang terjadi bila suatu hari kita bisa punya kehidupan setelah mati di dunia virtual atas bantuan sebuah aplikasi berbayar? Ide itu melatari serial Upload yang tayang dalam 10 episode di Amazon Prime Video sejak 1 Mei lalu. Tersebutlah Nathan Brown (diperankan Robbie Amell), pria muda yang merasa sedang di puncak dunia dengan karier bagus dan pacar bak Barbie. Sayangnya, Brown sekarat karena kecelakaan mobil, dan akhirnya memilih opsi nonmedis. Ia memindai data diri, termasuk kenangannya, ke Upload, aplikasi layanan pasca-kematian.
Setelah membayar dan mengunggah data, Brown sampai juga di alam baka. Tentu semuanya serba maya, dengan fitur mirip game The Sims. Hidupnya dipantau pegawai Upload yang disebut “malaikat” (Andy Allo), dan segala kebutuhannya terpenuhi di kediaman yang mirip hotel bintang 5. Serial garapan Greg Daniels ini menyenangkan karena membenturkan kemapanan teknologi dengan eksistensialisme. Manusia, dalam hal ini pegawai Upload, juga menempati posisi transenden. Mereka mengatur alam kematian yang selama ini menjadi dimensi yang tak tersentuh.
Tampilan Upload yang futuristis mengingatkan pada karya Steven Spielberg, Ready Player One (2018), dengan aroma dunia virtual reality. Sentuhan antologi Black Mirror juga terasa di Upload lewat suguhan teknologi canggih dan candaan gelap yang dekat dengan kehidupan modern. Namun kemasan Upload terasa lebih segar dengan palet berwarna cerah dan komedi yang walau kadang slapstick tetap menggelitik karena dekat dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya saat Brown tengah kritis di rumah sakit tapi petugas Upload dingin saja memintanya memencet tombol persetujuan di aplikasi. Atau ketika saban kali Brown merasa frustrasi dengan dunia virtualnya, kalimat René Descartes menjadi andalan sang malaikat penjaga. Aku berpikir, maka aku ada.
THE HALF OF IT
The Half of It/Imdb
Sebuah misi yang terkesan sederhana tapi sejatinya rumit bagi banyak orang: menulis surat cinta. Karena merasa tak akrab dengan diksi romantis, atlet Paul Munsky menyewa jasa Ellie Chu (Leah Lewis), siswa pintar di sekolahnya yang seorang Cina-Amerika. Munsky meminta Chu mendekati Aster Flores (Alexxis Lemire), kembang Squahamish, kota kecil tempat mereka tinggal. Flores bukan hanya molek, tapi juga kutu buku. Kualitas yang membuat Munsky mati gaya tiap kali kencan tapi justru membuat Chu diam-diam jatuh cinta kepada Flores lewat surat-suratnya.
Konflik film The Half of It yang tayang di Netflix pada Mei ini membubung saat Munsky mendapati dirinya ditelikung Chu. Problem cinta segitiga berkelindan dengan isu homoseksualitas dan etnis minoritas. Sutradara Alice Wu mengeksekusi soal ini secara padat—walau sedikit terburu-buru—di akhir film. Sedangkan di awal hingga tengah, narasi dipenuhi obrolan Chu-Flores lewat surat yang manis, juga kehidupan di Squahamish yang tak ingar-bingar.
Karakter ayah Ellie Chu sebenarnya menarik, tapi sayangnya hanya dieksplorasi mendekati garis akhir lewat perbincangan singkatnya—tapi amat menyentuh, dengan sang putri di dapur rumah mereka. Dalam mengeksplorasi pandangan minoritas ini, Alice Wu fasih karena The Half of It merepresentasikan dirinya sebagai seorang Cina-Amerika dan lesbian. Terlebih dia pernah mengarahkan drama tentang queer, yakni Saving Face (2014).
EXTRACTION
Extraction/Imdb
Film Extraction bisa dibilang sebagai ajang reuni tim produksi Avengers: Infinity War dan End Game. Ada Joe Russo sebagai penulis skenario, sutradara Sam Hargrave, juga Chris Hemsworth, yang bersama Russo bersaudara memproduseri Extraction yang diproduksi Netflix ini. Bagi Hargrave, Extraction adalah debutnya sebagai sutradara, setelah ia menjabat koordinator pemeran pengganti di dua seri terakhir Avengers. Sedangkan dalam film yang tayang 24 Maret lalu ini, Hemsworth merangkap tugas sebagai aktor utama, seorang jagoan bernama Tyler Rake.
Rake adalah tentara bayaran yang kali ini terlibat misi menyelamatkan Ovi Mahajan (Rudhraksh Jaiswal), anak gembong kartel narkotik India. Persoalannya, ia mesti melawan geng sesama mafia di Bangladesh, yang pada satu titik menguncinya dalam dilema. Apakah ia mesti mengamankan diri sendiri atau setia pada rencana penyelamatan Ovi Mahajan? Bisa diduga, Rake memilih opsi berbahaya tanpa konflik alot di dalam dan luar dirinya.
Sebagai film aksi, karya perdana Hargrave ini sebenarnya apik karena menyuguhkan adu gelut yang intens. Nyaris tak ada jeda adegan baku hantam. Yang bikin lebih menegangkan, modal pertarungan di Extraction bukan hanya senjata api, tapi juga bela diri jarak dekat yang brutal dan mengumbar darah. Sayangnya, dari segi cerita dan konflik, Extraction terlalu linear. Plotnya mudah ditebak dan membuat penonton hanya bisa menikmati bela diri pemain yang memang dikemas dengan koreografi ciamik.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo