Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Feminisme Perdesaan dalam Biennale Jogja

Mayoritas pengisi Biennale Jogja 2023 adalah seniman perempuan. Mereka berkolaborasi dengan ibu-ibu desa, termasuk Desa Wadas.

6 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Biennale Jogja 2023 berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta dan dua desa di Bantul hingga 25 November mendatang.

  • Pameran seni dua tahunan ini menempatkan perempuan di panggung utama dan melibatkan ibu-ibu desa, termasuk Desa Wadas.

  • Biennale Jogja berupaya mendekatkan karya seni kepada masyarakat.

Sepuluh perempuan Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, menengadahkan tangan ke langit. Mereka berdiri, mengelilingi, dan menyunggi globe dalam balutan baju berkelir cerah. Balon yang berisikan gambar dan narasi tentang mimpi-mimpi perempuan beterbangan di atas kepala mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagian balon bergambar Ka'bah dan roti. Bulan sabit dan berbagai planet mengelilingi bumi yang berisi cita-cita sederhana para ibu, di antaranya ingin berhaji, membuka toko roti, dan jalan-jalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Citra itu muncul dalam karya spanduk tekstil hasil kolaborasi seniman Turki, Gunes Terkol, dan ibu-ibu anggota Desa Perempuan Indonesia Maju atau Desa Prima, program pemberdayaan perempuan Desa Panggungharjo, Bantul. Gunes dan para perempuan itu bekerja sama menjahit dan menyulam kain berukuran 300 x 250 sentimeter, menggambarkan impian ibu rumah tangga yang tinggal di pelosok desa.

Spanduk tekstil yang dibentangkan di Kampoeng Mataraman, Desa Panggungharjo, itu merupakan satu dari 70 karya seniman Biennale Jogja yang berlangsung pada 6 Oktober hingga 25 November 2023. Perhelatan seni dua tahunan kali ini melibatkan seniman dari 14 negara di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Eropa Timur.

Karya kolaborasi Gunes Terkol dari Turki dan ibu-ibu Desa Panggungharjo, Bantul di Biennale Jogya 2023 di pendopo Sekar Mataram, Bantul, Yogyakarta, 30 Oktober 2023. TEMPO/Shinta Maharani

Mayoritas seniman yang berpameran merupakan seniman perempuan, non-biner, dan difabel yang mengusung tema-tema ketidakadilan terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Dari 70 seniman, 37 di antaranya perempuan. Keputusan memberikan panggung lebih besar untuk perempuan tidak terlepas dari pengaruh Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika. Alia dikenal sering membawa perspektif feminisme dalam konten karya para seniman Biennale.

Dua tahun lalu, penulis buku Praktik Negosiasi Seniman Perempuan dan Politik Gender Orde Baru itu juga memberikan ruang lebih luas kepada seniman perempuan untuk tampil dalam Biennale. Bedanya, kali ini jumlah seniman yang berpameran jauh lebih banyak. “Peran seniman perempuan kerap terlupakan dan terabaikan dalam sejarah seni rupa,” kata Alia ketika ditemui Tempo di Kampoeng Mataraman pada Senin, 30 Oktober 2023.

Selain di Desa Panggungharjo, Biennale memajang karya seniman di Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul. Dua desa itu dipilih karena merepresentasikan judul Biennale, yakni Titen: Embodied Knowledges Shifting Grounds. Titen dalam bahasa Jawa berarti "kemampuan" atau "kepekaan" dalam membaca tanda-tanda dari alam. Titen mengawali putaran baru Biennale dari tema serial Equator (2011-2021) ke serial Trans-Lokalitas dan Trans-Historisitas.

Pengetahuan lokal yang mengakar dan kehidupan sehari-hari masyarakat desa itulah yang menjadi sorotan Biennale. Selain mimpi sederhana para ibu, karya seniman mengangkat tentang perlawanan perempuan di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Para penentang proyek penambangan batuan andesit untuk kebutuhan proyek strategis nasional Bendungan Bener itu disebut sebagai perempuan desa yang melestarikan tembang-tembang Jawa tentang filosofi hidup.

Pameran juga berlangsung di sembilan titik lain, di antaranya Taman Budaya Yogyakarta. Biennale juga menggelar berbagai seminar, termasuk tentang keberagaman identitas gender. Panitia mendatangkan para peneliti, ahli, dan feminist queer dalam seminar tersebut, di antaranya Manita Newa Khadgi dari Nepal. Dia berbicara tentang aseksual, spektrum identitas gender yang beragam.

Tema keberagaman identitas gender muncul pada ruang baca berjudul "Dankini-Resting Room" sebagai ruang ekspresi queer asal Kathmandu, Nepal, itu. Kamar baca yang berisikan arsip dan foto-foto yang dijepit dengan latar kain berwarna ungu itu dipajang di Gudang Bibis, Bangunjiwo. Ruang baca itu menggambarkan luapan emosi queer secara aman, dukungan secara kolektif, refleksi diri, dan cara mengatasi trauma.

Menurut Alia, inklusivitas berbasis keberagaman gender menjadi bagian penting dari Biennale Jogja, satu di antaranya memberikan ruang pada isu tentang kelompok minoritas non-biner. Biennale kali ini menggunakan duit yang bersumber dari Dana Keistimewaan Yogyakarta dan dana abadi kebudayaan pemerintah sebesar Rp 4 miliar. Sebagian uang itu digunakan untuk membiayai residensi seniman luar negeri yang datang ke Indonesia dan membiayai seluruh kegiatan pameran serta seminar. Biennale menunjuk tiga kurator, yakni Adelina Luft dari Rumania, Eka Putra Nggalu dari Indonesia, dan Sheelasha Rajbhandari & Hit Man Gurung dari Nepal.

Secara khusus, Alia mengajak pengunjung berkeliling ke dua desa untuk melihat karya para seniman perempuan dalam sesi tur feminis. Dia juga melibatkan seniman untuk menjelaskan karyanya. Spanduk tekstil tentang harapan ibu-ibu di desa muncul dari gagasan bersama Gunes Terkol dan ibu-ibu Desa Panggungharjo melalui Zoom sebanyak empat kali atau empat hari. Melalui bantuan tim Biennale, mereka mendiskusikan gagasan karya kolaboratif itu. Mereka mengobrol layaknya sedang arisan.

Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Alia Swastika memimpin tur feminis dalam Biennale 2023 di Bantul, Yogyakarta, 30 Oktober 2023. TEMPO/Shinta Maharani

Gunes mengumpulkan imajinasi kolektif perempuan desa tersebut dan menerjemahkannya dalam karya. Ibu-ibu kebagian menjahit sketsa sepuluh perempuan dan balon yang berisikan impian-impian. “Gunes mengirim kain dasaran dengan sketsa yang sudah dijahit dari Istanbul,” ujar Alia.

Di pendopo Sekar Mataram, Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, anggota komunitas seni Taring Padi, Fitriani Dwi Kurniasih atau akrab disapa Fitri DK, memajang seni instalasi tentang perlawanan Wadon Wadas atau ibu-ibu di Wadas. Fitri kerap menggunakan teknik cukil kayu dalam seni grafis untuk menyuarakan ketidakadilan terhadap perempuan dan persoalan lingkungan.

Dia menciptakan anyaman berwarna biru dan merah berbahan stagen dengan lebar 14 sentimeter. Dia membelah stagen menjadi dua, yakni masing-masing 7 sentimeter. Anyaman itu bertulisan #SAVEWADAS. Fitri menjelaskan bahwa angka 7 punya makna pitulungan atau pertolongan. “Harapannya, Wadas tetap lestari dan perusakan alam bisa berhenti,” kata dia.

Sejumlah kendi dengan tangan mengepal pada bagian tutupnya berada di depan anyaman stagen. Setiap tempat menampung air dari gerabah itu beralaskan besek atau anyaman bambu. Di bagian kanan dan kiri di pendopo itu terdapat kain yang digantung, gambar perempuan sedang membatik. Salah satu narasinya berbunyi jogo alam kanggo anak lan putu (Wadon Wadas), yang artinya menjaga alam untuk anak dan cucu.

Wadon Wadas selama ini aktif berjuang mempertahankan keutuhan alam Wadas. Pekerjaan menganyam bilah-bilah bambu menjadi besek merupakan sumber ekonomi andalan. Anggota Wadon Wadas membuat besek sebagai bentuk penolakan terhadap tambang andesit. Polisi menangkap 67 warga Wadas pada Februari 2022 karena menolak rencana penambangan, termasuk satu anggota kelompok tersebut.

Bagi Wadon Wadas, perempuan bergantung pada hasil bumi dan harus mempertahankan kelestarian alam. Penambangan akan menimpakan dampak paling besar pada perempuan Wadas. Mereka tak lagi bisa membuat gula aren, besek, menyadap karet, berladang, dan kehilangan sumber air.

Kritik terhadap Biennale Jogja 2023

Tidak ada yang mengejutkan dari karya Fitri. Dua tahun lalu, dia membuat karya dengan isu yang sama yang menggambarkan perjuangan ibu-ibu petani yang menolak proyek pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, itu.

Biennale Jogja kali ini juga mendapat kritik dari pengunjung yang mengunggah kritiknya melalui akun Instagram dengan nama Jean_basquiat. Dalam unggahannya, dia mengkritik Biennale sebagai pameran seni rupa kelas kecamatan karena tidak mengusung karya seni paling mutakhir. Bunyi kritiknya adalah "di Jogja Biennale ada kesan seni rupa mengalami kemunduran, orang sibuk dengan pertunjukan kebudayaan untuk menarik minat wisatawan mengunjungi event ini, sawah, musik lesung, pak RT atau bakmi godok yang terlihat eksotis bagi orang-orang asing".

Panitia Biennale Jogja menerima kritik itu dengan tangan terbuka. Menurut Alia, pelibatan masyarakat desa penting untuk mendekatkan seni rupa dengan publik. “Supaya karya seni lebih membumi dan tak hanya dinikmati segelintir orang di galeri seni yang megah,” ujar Alia.

Kurator Biennale, Eka Putra Nggalu, mengatakan bahwa pameran seni ini berupaya membaca arsip dari gerakan perempuan, queer, seniman, aktivis, dan aktor-aktor sosial lainnya. Mereka juga membahas desa dan melibatkan partisipasi warga sebagai bagian dari komunitas kultural maupun birokratis melalui pemerintah desa. “Saling belajar, terhubung, berbagi, dan membangun solidaritas lintas batas yang bisa saja berevolusi menjadi sebuah gerakan sosial,” kata dia.

SHINTA MAHARANI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus