Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Makin sore, lobi Cinema XXI di Mal Kota Kasablanka makin ramai. Kerumunan terbentuk di dekat gerai penjual makanan, sekitar pintu-pintu bioskop, juga di depan loket tiket. Film Indonesia menjadi idola pada petang itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari pakaiannya, para penonton itu kebanyakan pekerja kantoran. Mereka beransel laptop dan sebagian masih mengalungi kartu pengenal perusahaan. Ada juga kelompok-kelompok kecil pelajar SMA yang menutupi baju seragam mereka dengan sweter atau kardigan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumat, 16 September lalu, tersebut tepat setahun setelah pemerintah mengizinkan bioskop di Jakarta beroperasi kembali, meski dengan pembatasan kapasitas. Sebelumnya, bioskop ditutup selama 1,5 tahun akibat wabah Covid-19. Seiring dengan makin longgarnya peraturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), bioskop bisa buka dengan kapasitas maksimal per Mei lalu.
Lobi Cinema XXI di Mal Kota Kasablanka, Jakarta, 16 September 2022. TEMPO/Magang/Nathania S. Alexandra
Malka, pelajar kelas X, menunggu panggilan penayangan Miracle in Cell No. 7 bersama dua temannya. Ini merupakan pertama kalinya penggemar Marvel Universe itu menonton di bioskop pada masa pandemi. “Lihat di for your page TikTok. Katanya sih, ada senangnya, ada sedihnya,” kata dia kepada Tempo, di pusat belanja di Jalan Casablanca Raya, Tebet, Jakarta Selatan, itu.
Jasmine dan Pasha, siswa kelas XI, juga menghabiskan malam Sabtu mereka dengan menonton Miracle in Cell No. 7. Mereka kepincut sinema Indonesia yang disutradarai Hanung Bramantyo itu akibat rekomendasi teman-temannya. “Banyak yang bilang sedih banget. Jadi, kepingin tahu ceritanya,” kata Jasmine. Film ini juga menjadi film perdana mereka setelah lebih dari dua tahun tak ke bioskop.
Naiknya Angka Penonton Film Indonesia
Jumlah penonton film Indonesia melonjak drastis. Pada 2021, film dengan rekor jumlah penonton terbanyak dipegang oleh Makmum 2 dengan 1,7 juta. Film-film di peringkat berikutnya bahkan tidak berhasil mencapai setengah juta penonton. Nussa dan Yowis Ben 3, yang menempati peringkat ke-2 dan ke-3, hanya berhasil mendapatkan 400 ribu penonton. Ketiganya dirilis pada akhir tahun setelah bioskop kembali buka.
Tahun ini, volume penonton melejit gila-gilaan. KKN di Desa Penari karya Awi Suryadi disaksikan 9,2 juta penonton dan menjadi film Indonesia terlaris sepanjang masa. Rekor sebelumnya dipegang Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 dengan 6,8 juta penonton pada 2016. Film Indonesia terpopuler kedua tahun ini adalah Pengabdi Setan 2: Communion dengan 6,3 juta penonton.
Penonton film Indonesia menunggu jam tayang di Cinema XXI di Mal Kota Kasablanka, Jakarta, 16 September 2022. TEMPO/Magang/Nathania S. Alexandra
Kebangkitan film lokal, menurut Ekky Imanjaya, dosen perfilman dari Binus University, didorong oleh empat faktor. Pertama, efek kerinduan masyarakat menonton di bioskop. “Enggak ada yang bisa ngalahin sensasi menonton film di bioskop,” kata Ekky kepada Tempo. Keseruan terpaku menatap layar berukuran 20 x 11 meter, dengan suara yang menggelegar dari berbagai sudut sembari mengunyah berondong jagung, tak tergantikan oleh menonton Netflix, Disney+ Hotstar, Bioskop Online, dan lainnya.
Kedua, kualitas film yang relatif tinggi. “Ada yang menyajikan ide segar, seperti Mencuri Raden Saleh. Kan jarang tuh cerita tentang perampokan di perfilman kita,” ujar Ekky.
Berikutnya adalah efek pemasaran yang kreatif. Ekky memberikan contoh kampanye film Pengabdi Setan 2 yang membuat rumah hantu serta acara meet and greet. Sementara itu, KKN di Desa Penari sukses menyedot perhatian publik melalui berbagai gimik yang akhirnya viral melalui media sosial.
Setelah tiga faktor itu menarik banyak orang untuk ke bioskop, muncul faktor keempat, yakni fear of missing out (FOMO). Ekky mengatakan orang-orang di kota besar di Indonesia punya ketakutan jika tidak mengikuti sesuatu yang sedang hype, termasuk menonton film yang tengah ramai dibicarakan.
embed
Tidak Selalu Menunjukkan Kualitas
Kombinasi empat faktor tersebut membuat angka penonton tak selalu berbanding lurus dengan kualitas film. “Film laris belum tentu bagus dan film bagus belum tentu laris,” kata Ekky, mengutip omongan kritikus film Salim Said.
Apalagi soal bagus-tidaknya film, Ekky melanjutkan, sangat ditentukan selera pribadi. “Ada yang enggak suka Pengabdi Setan 2, tapi ada juga yang ingin menjadi pembuat film gara-gara Pengabdi Setan 2.”
NATHANIA S. ALEXANDRA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo