Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Film Pinggiran Gotot

Film-film pendek karya Gotot Prakosa diputar di Festival Film Pendek Konfiden Jakarta. Sebuah kilas balik perjalanan film yang bukan konsumsi masyarakat luas.

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menginjak usia 12 tahun, Gotot Prakosa bermimpi tentang satu panorama aneka warna. Mimpi yang terus disimpannya, sampai ia berumur 19 tahun. Saat itu, ia menuangkan mimpi-mimpinya itu dalam sebuah film animasi: Meta Meta. Film berformat 16 milimeter berdurasi tiga menit itu diproduksi saat ia belajar film di Institut Kesenian Jakarta.

Gotot, kini 50 tahun, ingat film itu adalah karya awalnya yang dibuat dengan teknik sederhana. Gotot, yang juga seorang perupa, melukis langsung obyek warna-warni—merah, kuning, biru, hitam, dan putih—di atas seluloid. Proses kreatifnya itu berlangsung sekitar dua pekan. ”Saya membuat film ini sama dengan melukis,” katanya.

Dengan teknik yang sama, lahir pula film Non KB. Film animasi itu menampilkan adegan simbolis persanggamaan. KB di sini merupakan singkatan keluarga berencana. Menurut Gotot, lewat film Non KB, sebetulnya ia ingin memotret fenomena kaum gay yang marak saat itu. ”Dari seniman hingga pejabat, ada yang gay.”

Meta Meta dan Non KB, dua dari sepuluh film karya Gotot yang diputar dalam Festival Film Pendek Konfiden 2006 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu. Film yang tersaji dalam program bertajuk Retrospeksi Gotot Prakosa dibuat sepanjang 1975-1994. Boleh dibilang, sineas kelahiran Padang itu adalah ”penggiat awal” film animasi dan film pendek alternatif Indonesia.

Film-film biasa bila diukur dengan perkembangan teknologi kini, tapi cukup memukau jika dilihat dari proses kreatifnya dulu. Lihatlah Meta Ekologi yang berkisah tentang upaya manusia berdialog dengan ekologi bumi dan air. Pemainnya terdiri dari manusia dan lumpur. Seperti diketahui, film ini diangkat dari karya tari kontroversial Sardono W. Kusumo, Meta Ekologi, yang dipentaskan di Teater Halaman Taman Ismail Marzuki, 27 tahun lalu.

Kala itu Sardono mendatangkan sekitar 16 truk bermuatan tanah untuk mengubah Teater Halaman menjadi sawah berlumpur. Pertunjukan menari bersama di dalam lumpur itu berlangsung dari pagi hingga malam, sekitar 14 jam. Gotot merekamnya dan memampatkan menjadi hanya 14 menit dalam sebuah film dokumenter eksperimental.

Toh, film Gotot itu bukan replika dari tari Sardono. Dalam film itu, kamera Bolex Gotot memfokuskan pada hal-hal detail dari warna kelam lumpur dan sosok para aktor yang berkubang di lumpur. Sedangkan dalam Meta Ekologi-nya Sardono, pandangan mata para penonton seluas pertunjukan itu.

Kamera Gotot, misalnya, membawa kita melihat hanya kaki-kaki penuh lumpur yang mencoba memanjat sebatang kayu menjulang, ekspresi wajah-wajah yang penuh lumpur. Atau suasana anak-anak kampung yang menonton. Juga suasana malam, obor-obor yang tampak seperti kunang-kunang yang beterbangan di tengah sawah.

Ketika film itu dirilis pada 1979, banyak kritikus yang memujinya. Saat itu Meta Ekologi dinilai sebagai sebuah film cukup menakjubkan yang pernah dibuat Indonesia. Film kedua Gotot yang kuat dan juga mendapat pujian adalah film animasi A=Absolute..? Z=Zen..?. Film sepanjang 14 menit yang musiknya ditata Tony Prabowo ini bercerita tentang proses pertumbuhan Jepang yang melesat.

Setiap sesi adegan dalam film itu dimulai dengan mudra, gerakan tangan, Sang Buddha. Adegan awal menampilkan rangkaian gambar suasana kuno Jepang. Lalu muncul wajah-wajah orang Jepang yang beragam. Setelah itu adegan menyuguhkan Negeri Sakura itu yang luluh-lantak dijatuhi bom atom.

Adegan kemudian menampilkan Jepang yang bangkit kembali setelah kalah perang. Gedung modern bermunculan. Industrinya maju pesat, menghasilkan barang otomotif dan elektronik yang dilahap habis-habisan di seluruh dunia—termasuk menyerbu Indonesia. Di ujung cerita, Gotot menampilkan Sang Buddha yang tertidur lelap, mendengkur, seolah tak bisa berbuat apa-apa lagi: zzzzzz. Sebuah animasi yang segar tapi kritis. ”Film ini merupakan renungan terhadap tabiat konsumerisme masyarakat,” kata sineas yang telah membuat sekitar 40 judul film itu.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus