Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gary Bencheghib adalah pendiri komunitas Sungai Watch.
Gary bersama Sungai Watch terus berupaya membersihkan sungai dari sampah plastik.
Selain di Bali, kegiatan Sungai Watch merambah ke Jawa Timur.
TUMPUKAN karung plastik berongga yang berisi sampah terlihat di pinggir Jalan Raya Belega, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali, pada Senin, 20 Maret lalu. Tampak pula beberapa sepatu bot karet, satu galon air minum, dan sebatang bambu yang pada bagian ujungnya terikat bendera berwarna hitam berlogo “Sungai Watch”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lokasi tumpukan barang itu merupakan jembatan penghubung antara Desa Belega dan Desa Bona di Gianyar sepanjang sekitar 30 meter. Di lokasi itulah Gary Bencheghib dan komunitas Sungai Watch tengah membersihkan sungai mati yang telah ditumbuhi semak belukar tersebut. “Banyak sampah plastik, seperti sampo dan detergen kemasan. Ada juga popok,” kata Gary, pendiri Sungai Watch.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gary dan beberapa orang dari Sungai Watch tidak hanya memungut sampah di permukaan. Mereka juga menggaruk tumpukan sampah yang telah mengeras dan tertimbun di dasar sungai yang sudah lama menjadi tempat pembuangan sampah liar tersebut.
Di tengah kondisi sungai yang lembap dan pengap itu, mereka cekatan memunguti sampah. Hingga sore sekitar pukul 16.00, komunitas Sungai Watch bisa mengangkat sekitar 1 ton sampah dari lokasi tersebut. Mereka kemudian memilah dan mengumpulkan sampah itu sesuai dengan jenisnya. Selanjutnya, sampah-sampah itu akan dibawa ke stasiun pengolahan di Ketewel, Gianyar.
“Saat presentasi dengan pihak Desa Belega, kami tekankan agar jangan sampai ada lagi tempat pembuangan sampah ilegal,” ujar Putu Eka Giri Mariani, 28 tahun, manajer proyek Sungai Watch di Gianyar.
•••
KEGIATAN membersihkan sungai di Desa Belega itu merupakan bagian dari perjalanan Gary Bencheghib dan Sungai Watch—komunitas yang bekerja membersihkan sungai sekaligus menghalau sampah agar tidak mengalir ke laut. Boleh dibilang kepedulian pria 28 tahun itu terhadap lingkungan dimulai sekitar 18 tahun lalu.
Awalnya, saat pindah dari Prancis ke Bali bersama keluarganya pada 2005, Gary tidak pernah membayangkan akan menghabiskan hampir separuh hidupnya bergulat dengan sampah. Saat itu pria yang lahir di Prancis pada Oktober 1994 ini lebih banyak menikmati keindahan tempat wisata di Pulau Dewata. Pergi ke pantai atau bermain di area persawahan menjadi favoritnya.
Pendiri Sungai Watch Gery Bencheghib menunjukkan sampah plastik yang didapatnya di pinggir Jalan Raya Belega, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali , 20 Maret 2023. Tempo/Made Argawa
Putra pasangan Malik dan Catherine Bencheghib ini kemudian bersekolah di Bali International School yang telah berubah nama menjadi Bali Island School di kawasan Sanur. Pada masa sekolah dasar itu, Gary mendapat tugas melakukan kegiatan sosial di luar jam sekolah.
Saat itu Gary melihat di area tempat tinggalnya di kawasan Batu Belig, Kerobokan, Badung, mulai banyak sampah plastik. Bahkan sampah plastik kadang memenuhi Pantai Batu Belig. “Jarak rumah saya dengan pantai sekitar 200 meter. Setiap hari sampah selalu makin banyak,” ucapnya.
Selain pengalaman pribadi tersebut, Gary menambahkan, film dokumenter peraih Piala Oscar karya sutradara Davis Guggenheim, An Inconvenient Truth, yang bercerita tentang perubahan iklim, turut mempengaruhi pemikirannya mengenai lingkungan. Karena itu, saat ia melanjutkan studi di New York Film Academy, Amerika Serikat, kepeduliannya terhadap lingkungan tak pernah padam.
Saat kuliah, Gary bersama saudaranya melakukan ekspedisi menyusuri Sungai Mississippi. Tapi Gary menilai ekspedisi penelusuran sungai pertamanya itu kurang berhasil. “Di Sungai Mississippi tidak banyak sampah plastik, tapi lumpur. Selain itu, secara visual tidak begitu menarik,” tuturnya.
Pada 2009, Gary bersama dua saudaranya, Kelly dan Sam, mendirikan organisasi lingkungan Make A Change World. Setiap akhir pekan, mereka mengambili sampah plastik di pantai-pantai Bali.
Bermula dari membersihkan pantai dari sampah plastik, Gary, Kelly, dan Sam bertanya-tanya, dari mana semua sampah yang mereka pungut itu? Hingga akhirnya mereka menemukan kenyataan bahwa sungai di Bali mengantarkan hampir 90 persen sampah ke laut.
Mereka juga mencari informasi tentang sungai-sungai yang tercemar lewat Google. Saat itu Gary mendapatkan informasi bahwa salah satu sungai yang paling tercemar adalah Citarum di Jawa Barat.
Hal itu kemudian menginspirasi ide Gary dan Sam yang bisa dikatakan tak biasa pada 2017: menjelajahi Sungai Citarum dengan dua kano yang terbuat dari 600 botol plastik bekas. Mereka pun membuat kampanye dengan menyebarkan video ekspedisi itu di akun media sosial Make A Change World.
Gary menuturkan, saat menyusuri Sungai Citarum, bayangan dia akan dampak polusi sampah plastik tidak meleset. Bahkan ia dan saudaranya kerap terhambat dalam penyusuran karena tumpukan sampah. “Kami akhirnya melewati jalur darat,” ujar Gary mengenang ekspedisi penelusuran sungai selama dua minggu itu.
Video ekspedisi Sungai Citarum pun kemudian viral hingga sampai ke Presiden Joko Widodo. Setelah itu, pemerintah membuat gerakan Citarum Harum dengan melibatkan warga yang tinggal di sepanjang sungai serta Tentara Nasional Indonesia. Saat itu Jokowi mengatakan pemerintah akan membuat bersih Sungai Citarum dalam tujuh tahun.
Respons masyarakat terhadap ekspedisi Gary dan saudaranya itu sangat bagus. Gary mengungkapkan, sekitar dua tahun setelah ekspedisi Sungai Citarum, muncul gagasan mendirikan komunitas Sungai Watch.
Saat ini, Gary menjelaskan, Sungai Watch telah memasang 160 jaring penangkap sampah di seluruh Bali dan 20 jaring di Jawa Timur. Dua bulan ke depan, mereka berencana menambah 30 jaring lagi di Jawa Timur dan Bali—termasuk di Buleleng.
Ada dua jenis jaring penangkap sampah yang dipasang Sungai Watch. Jaring berukuran besar disebut walker, sedangkan yang kecil volter. Setiap hari ada dua orang dari Sungai Watch yang memantau jaring-jaring tersebut. Selain memantau, mereka bertugas membersihkan sungai dan mengangkut sampah plastik.
Gary mengatakan saat ini Sungai Watch hanya mengolah sampah plastik. Awalnya mereka juga mengambil sampah organik. Namun, karena keterbatasan tempat penampungan, akhirnya upaya tersebut dihentikan. Sampah organik yang terjaring kembali dibuang di sekitar area sungai dengan lebih dulu meminta izin pemilik lahan. Tujuannya adalah menjadikan sampah itu kompos bagi tanaman. “Seperti di Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi, Badung, Bali, sampah organik yang kami peroleh diolah oleh TPS3R (tempat pengelolaan sampah reuse, reduce, dan recycle) desa setempat,” katanya.
Gary Benchegib dan para aktivis Sungai Watch saat membersihkan sampah. Instagram.com/garybencheghib
Selama ini, Gary menambahkan, Sungai Watch tak begitu mengalami kesulitan dalam berkegiatan. Persoalan biasanya muncul pada musim hujan. Gary bercerita, komunitasnya pernah kehilangan jaring penangkap sampah berukuran besar. Jaring yang dibuat dari drum plastik berdiameter sekitar 70 sentimeter yang dipasang di Sungai Kelating, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, tersebut hilang.
Jaring walker yang terpasang di salah satu sungai di Banyuwangi, Jawa Timur, pada musim hujan juga hilang. Bahkan jaring itu hanyut hingga terdampar di kawasan pantai Jembrana, Bali. “Saat itu ada nelayan yang menelepon,” ucap Gary.
Gary menduga sampah plastik yang banyak terdampar di pantai-pantai di Bali pada musim hujan juga berasal dari pulau lain. Pada musim hujan 2022, Sungai Watch mengevakuasi sampah plastik dari Pantai Kedonganan. Saat itu tim Sungai Watch bisa memindahkan hingga 60 ton sampah dalam satu bulan. Gary menemukan banyak sampah kemasan air mineral yang tidak dijual di Bali. “Kemasan air minum yang hanya dijual di Banyuwangi, Jember, atau Lumajang, sampahnya sampai Bali,” tuturnya.
Saat membersihkan pantai di Prerenan dan Canggu, timnya juga menemukan sampah topi sekolah dasar dari Banyuwangi. “Fenomena inilah yang mendorong kami kemudian memasang jaring penangkap sampah di sejumlah sungai di daerah Jawa Timur,” ujar Gary.
•••
HINGGA kini, Sungai Watch telah memiliki delapan gudang yang menjadi tempat penyimpanan sekaligus pemilahan sampah. Enam gudang di Bali berlokasi di Desa Beraban, Kecamatan Kediri; area mangrove di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar; Desa Ketewel, Kabupaten Gianyar; Desa Tumbak Bayuh, Kabupaten Badung; Cargo, Kota Denpasar; dan Desa Kapal, Kabupaten Badung. Dua lainnya berada di Jawa Timur, yakni Desa Bangunrejo, Tuban; dan Desa Rogojampi, Banyuwangi.
Jumlah pekerja tetap mereka sebanyak 90 orang di semua gudang, ada juga beberapa pekerja harian. “Setiap gudang pekerjanya 12-15 orang. Mereka mendapat gaji standar upah minimum kabupaten/kota serta ikut BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan,” kata Gary Bencheghib.
Gary menilai pekerjaan mengolah sampah masih dipandang rendah di Indonesia. Untuk menghapus anggapan tersebut, para pekerjanya harus memperoleh pendapatan yang layak. “Apalagi pekerjaan mengolah sampah juga berdampak langsung pada lingkungan,” tutur pria yang meraih penghargaan Ramon Magsaysay pada 2022 ini.
Setiap bulan, Gary menjelaskan, satu gudang sampah Sungai Watch bisa menghasilkan 10 ton sampah siap jual. Ia memasang target hingga 100 ton sampah plastik dihasilkan dari semua gudangnya. Dengan jumlah tenaga kerja dan luas wilayah kerja yang bertambah, ia yakin target tersebut akan segera terpenuhi.
Saat ini Sungai Watch juga sedang mempersiapkan satu gudang khusus, yakni gudang di Cargo, sebagai tempat mencuci sampah plastik. Gary menyebutkan salah satu proses terlama dalam pemilahan sampah dari sungai adalah pencucian. “Luas gudangnya sekitar 600 meter persegi. Kami targetkan bisa mencuci 6 ton sampah per hari,” tuturnya.
Sekitar 30 persen sampah plastik yang dibawa ke gudang, kata Gary, akan menjadi residu seperti popok dan sampah sintetis. Sungai Watch belum memiliki cairan pengurai residu sampah. Menurut dia, membakar residu itu bukan pilihan bijak karena akan menyebabkan polusi udara dari asap pembakaran. Harga alat pembakarannya pun sangat mahal. Saat ini mereka akan membawa sampah jenis ini ke tempat pembuangan akhir.
Kegiatan Sungai Watch memungut sampah di pinggir Jalan Raya Belega, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali, 20 Maret 2023. Tempo/Made Argawa
Sampah seperti botol bekas, plastik, kaca dan lainnya yang memiliki nilai ekonomi dijual kepada pengepul. Gary mengatakan selama ini nilai penjualannya sekitar Rp 2 juta dari semua sampah. “Nilainya tidak besar. Makanya kami bekerja sama dengan sponsor,” ujarnya.
Gary mengungkapkan, semua kegiatan Sungai Watch selama ini dibantu para sponsor sebagai sumber pembiayaan utama. Telah ada sekitar 80 sponsor yang berasal dari berbagai negara. Mereka membiayai kegiatan dari tahap persiapan, pembuatan, pemasangan, hingga pemeliharaan jaring. Nama atau logo sponsor ditempel pada jaring penangkap sampah. "Para sponsor umumnya usaha yang memiliki kaitan dengan isu pelestarian lingkungan,” katanya.
Selain menggamit sponsor, Sungai Watch kini sedang merancang proyek baru yang diberi nama Sungai Desain. Dalam proyek ini, komunitas tersebut akan membuat furnitur berbahan plastik pres dari kantong kresek bekas. Kantong kresek bekas dipanaskan pada suhu tertentu hingga mencair, selanjutnya dicetak sesuai dengan bentuk furnitur yang diinginkan.
Gary mengatakan sudah mencoba membuat bahan furnitur dari kresek bekas di gudang Sungai Watch di Tumbak Bayuh. Bahkan mereka juga sudah bekerja sama dengan seorang perancang furnitur untuk membuat barang keperluan rumah tangga dari plastik. “Modelnya plastik menggantikan kayu. Kami akan launching 8 Juni 2023 saat World Oceans Day,” tutur Gary.
Gary juga berencana membuat sebuah rumah berbahan kantong plastik atau kresek bekas. Menurut Gary, dibutuhkan sedikitnya 35 ribu ton kantong kresek bekas. Rumah yang ia impikan itu berukuran 12 x 12 meter. “Nanti produksinya berupa papan plastik yang dirakit menjadi rumah,” ucap aktivis lingkungan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo