Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Generasi pencinta musik

Kelompok bina vokalia asuhan pranajaya tampil di teater arena tim. beda dengan kelompok paduan suara kelompok rri atau pov yogya. mereka berhasil mencip takan suasana enak dengan gerakan.

5 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI hari tanggal 20 Pebruari, kelompok Bina Vokalia (BV) asuhan Pranajaya tampil di Teater Arena TIM. Mengenakan pakaian khas Betawi, 10 none dengan kebaya dan kerudung merah jambu, didampingi pasangan masing-masing, membuka acara dengan lagu Jali-Jali. Lagu yang sudah jadi separuh wajah ibukota, yang juga sering diputar di kereta api malam manakala merapat ke Jakarta. Tidak Ngecap Kemudian langkah melompat ke Aceh, dengan lagu Tarik Pukat yang meriah. Anak-anak BV kelas V itu tampak segar. Mereka menciptakan suasana yang sedap, berbeda dengan kalau kita menyaksikan paduan suara kelompok RRI atau Pusat Olah Vokal (POV) Yogya. Apalagi tatkala kemudian mereka mulai berjoget menyanyikan lagu Selayang Pandang. Banyak variasi, tanpa mengganggu usaha untuk tetap menyuguhkan bunyi yang merdu. Lagu Tuhan juga berhasil ditampilkan dengan kompak dan meyakinkan. Nyaris hasil sebuah grup profesional, memang. Desember yang lalu, kelompok ini pernah menggetarkan udara Ipoh, Penang dan Kualalumpur, tatkala mereka tetirah ke Malaysia. Publik menyambut dengan girang. Koran-koran lokal banyak menurunkan tulisan pujian. Sampai-sampai menteri besar kerajaan setempat perlu turun memberi kata sambutan, sambil menganjurkan agar putera-puteri setempat meniru hal-hal yang bagus dari Bina Vokalia. Seberapa jauh penilaian yang sebenarnya, tentunya sedikit tertutup oleh basa-basi persahabatan antara dua negara yang bertetangga. Tetapi, menyaksikan penampilan Minggu pagi di TIM itu, agaknya pujian tersebut tidak terlalu ngecap. Dalam acara yang mirip kesibukan sebuah keluarga besar, publik juga sempat menyaksikan kelompok BV III B. Mereka membawakan lagu-lagu Ampar-ampar Pisang dari Kalimantan dan Helalela Roane yang Ambon. Kemudian lebih 80 orang anak menyanyikan berturut-turut 5 buah lagu: Bergembira, Kole-kole, Bunda Piara, Kelasku Yang Baru, Hujan Bukan Halangan. Lirik dan aransemennya terasa agak sederhana maklum mereka aari kelompok BV kelas II B. Pengelompokan dan kelas-kelas ini khas Bina Vokalia. Anak-anak baru, ditampung dalam kelas "persemaian". Kemudian setiap tahun ada program kenaikan kelas. Adapun predikat B -- yang ada di tiap kelas - disediakan bagi mereka yang agak lambat menerima pelajaran. "Untuk menumbuhkan spontanitas anak-anak, nyanyian harus disertai gerak, beda dengan konser paduan suara RRI misalnya", kata Pranajaya kepada TEMPO. Ia menunjukkan lagu Tank Pukat yang menyebabkan anak-anak harus diajar dahulu bagaimana gerak nelayan merentang jala. "Mereka kalau diajari sebuah lagu dengan gaya, cepat menerima. Bahkan ada rasa kecewa kalau membawakan sebuah lagu tanpa gerak", kata pengasuh berusia 47 tahun itu. Dan dengan cara seperti itu Bina Vokalia kini mengembangkan sayapnya ke Surabaya, Madiun, Kediri, Gresik, Bogor, Semarang dan Palembang. Untuk mengelola semuanya, Pranajaya - yang mempunyai 6 orang pembantu di Jakarta-membentuk Yayasan Bina Vokalia. Guru-guru yang ada di daerah, pada waktu-waktu tertentu ditatar di ibukota. Mereka kembali ke tempat asal dengan dibekali pedoman-pedoman. Toh sejauh itu, "saya tidak ingin menciptakan pemusik", ujar Pranajaya. "Saya tidak bermaksud menjadikan anak didik saya penyanyi terkenal. Saya ingin menciptakan generasi pencinta musik". Ini terutama diucapkannya untuk mereka yang menyatakan, bahwa karena didaktik yang dipakai Pranajaya salah, tidak semua anak didiknya benarbenar bisa menyanyi. Hasilnya sama dengan kemampuan anak SD, "malahan banyak anak SD yang lebih baik". Bagi Pranajaya, pendidikan musik di luar sekolah masih tetap lebih efektif. "Selama di sekolah kita belum ada pendidikan musik yang efektif, pendidikan musik seperti Bina Vokalia terasa dibutuhkan", kata guru yang pernah mengunyah pelajaran musik di Sekolah Tinggi Kesenian Tokyo itu (1960 - 1966). Ia berpendapat pendidikan musik di Indonesia sebaiknya bersifat massal, seperti halnya di Jepang sejak 1968. Toh, di samping penyebaran apresiasi, kalau ada permintaan orang tua anak didik, Pranajaya berniat membuka kelas VI. Dia sudah mengajak Binsar Sitompul dan Ronald Pohan untuk memikirkan program tingkat yang lebih tinggi tersebut. Memang susah. Di samping hasil yang bagus seperti pergelaran di TIM itu, pandangan-pandangan soal sistim pendidikan musik dan menyanyi memang cukup beragam, sementara kelihatan belum semuanya sempat "diuji". Misalnya layakkah bila anak-anak hanya dididik teknik menyanyi seperti di Bina Vokalia itu -- dan bukan juga misalnya kejujuran ekspresi. Tapi yang lebih selamat tentunya adalah ucapan N. Simanungkalit yang juga dikenal sebagai guru paduan suara: "Acara paduan suara di TVRI, tidak seharusnya hanya dimonopoli Bina Vokalia". Setidak-tidaknya itu merupakan pembukaan kesempatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus