Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALBAR dengan God Bless? yang lama absen dari TIM, muncul lagi di
Teater Terbuka, 25 dan 26 Desember lalu. Penontonnya melimpah
bukan main. Banyak yang tak sempat ditampung, meski harga
karcis lumayan (Rp 500 Rp 2.000). Ini menunjukkan fans raja rock
pribumi yang berambut tomat itu belum direbut oleh grup lain.
Formasi Albar: Donny, Teddy, Yongki dan Yan. Pakaian mereka
rancak. Sementara peralatan suara yang mendukung penampilan,
dengan kekuatan 8.000 watt, benar-benar sesuatu yang baru.
Samping kiri-kanan panggung bertumpuk-tumpuk pengeras suara yang
berwarna merah muda. Sedemikian banyaknya sehingga menyerupai
dinding yang hampir menjangkau atap. Sayang sekali karena
kekuatan listerik tidak memadai, ditambah kerusakan teknis,
perabotan raksasa ini tidak semuanya bisa bersuara. Mereka hanya
bisa pakai 3.000 watt. Jadinya lebih menyerupai rajangan.
Darah Kelinci
Band pembuka sebelum God Bless muncul adalah rombongan dari
Malang yang bernama The Ogle Eyes. Kelompok ini menonjolkan
penyanyi bernama Micky--yang pernah ditangkap di Surabaya waktu
mendampingi Victor Wood menyanyi. Ia disikat di sana karena di
samping membuka mulutnya lebar-lebar, bergaya meniru lagak banci
Mick Jagger, menyanyi sambil menghisap darah kelinci. Modal
suaranya sebenarnya cukup. Tetapi pemuda yang semampai ini tidak
beres tekniknya. Juga tidak pakai otak. Asal gebrak. Asal keras.
Dan asal ramai. Ini menyebabkan penampilannya jadi ngawur.
meskipun memang kalau yang dibiji keberanian dan spontanitas
dia nomor satu juga.
Micky sempat ganti pakaian. Tapi nafasnya ngos-ngosan ia
berusaha menyanyi dengan banyak variasi. Sempat pula duduk dan
membiarkan tukang-tukang potret menjepret wajahnya yangpenuh
keringat. Namun sementara musik di TIM mulai dilumuri bau jazz.
wabah musik rakyat, yang manis, tenang dan sopan tapi gempal
tekniknya dan total pembawaannya, Micky jadi agak ketinggalan.
Begitu muncul Albar dengan gayanya yang lebih tenang dan pakai
otak, makin jauhlah terasa anak-anak Malang ini, sayang. Bunyi
drum mereka memang meyakinkan. Sempat pula kelompok ini
membawakan sebuah duet, tetapi modal suara merelia terlalu
minim.
Albar sendiri masih tetap setia pada rock murni. Pilihan
lagu-lagunya diambil dari perbendaharaan rock masa kini. Silver
Spoon, Carry on way son, Chocolate King, You have it all, Way
Back to the Bone. Tapi aransemennya sudah dirubah menurut selera
dan kebolehan mereka. Dalam hal ini potensi Donny binal amat
diperhitungkan. Seti.lp kal ada kesempatan, pemainan instrumen
solo diketengahkan.
Akhirnya kita memang tidak benar-benar nonton Albar tapi
anak-anak God Bless terutama Donny. Tak heranlah kalau ada anak
muda di bagian depa pada hari kedua menjerit-jerit minta
dimainkan lagu Neraka Jahanam, hit Albar bersama Ucok. Tapi
tatkala lagu itu kemudian terdengar, bunyinya sudah tidak
semanis yang biasa dikenal dari kaset. Albar yang terasa
romantis di kaset benar-benar hendak menampakkan selera musiknya
yang sesungguhnya dasyat dan keras.
Acara yang berlangsung sampai: tengah duabelas malam itu terbi.
acara akhir tahun TIM yang sukses. Partisipasi penonton bagus.
Meskipun mereka tidak spontan keplok tangan waktu diminta,
seluruhnya duduk dengan setia Pada akhir pertunjukan beberapa
orang meninggalkan tempat karena suasana sudah mulai tidak
tertib. Penonton mendesak ke panggung. Anak-anak mengulurkan
tangan ingin berjabatan, lab beberapa orang mencoba naik ikut
bergoyang - langsung diseret oleh petugas keamanan yang galak
sekali malam itu.
Kali ini God Bless benar-benar hendak memuaskan hatinya. Asap
disemprotkan - tapi sudah tidak menarih lagi. Yang lebih
menarik, ketika muncul seorang lelaki pakai blangkon dan surjan,
yang diperkenalkan Albar sebaga orang gaek yang sengaja datang
dari Yogya untuk nonton dang-dut Rhoma Irama, tapi marmpir dulu
lihat rock yan juga disukainya. Albar mengajaknya iku main
terompet mengocok lagu Jail house rock.
Acara itu dapat tepuk tangan riuh. Apalagi lelaki yang pakai
rias tua itu kemudian melepaskan kainnya -- tinggal celana
pendek--supaya dapat bergaya dengan lebih leluasa. Ia berubah
menjadi Albert si peniup terompet. Lagu ini mestinya sudah
dianggap penutup. Tapi Albar masih mencoba membawakan lagu
manisnya She Passed Away Digenjot terus dengan demonstrasi
suara-suara listerik--yang kebanyakan.
Albar kurang memberi variasi pada pemilihan lagu-lagu. Sehingga
pertunjukan ribut tapi tanpa klimaks-klimaks. Di samping itu
toleransinya kepada grup bahwa itu pertunjukan God Bless, bukan
Albar sendiri, sebenarnya agak bertentangan dengan kemauan
publik. Sudah jelas lewat God Bless orang ingin lebih banyak
lihat si kribo, meskipun pemain-pemain lain tak sedikit artinya.
"Kami akui permainan solo terlalu lama," kata Albar dengan jujur
kepada Widi Yarmanto dari TEMPO. "Soal peralatan baru memang
mempengaruhi teknisi kami, juga Donny punya ampli mati sehingga
ia berusaha menutupi dengan akting. Semua itu tak bisa kami
tutupi. Tapi sempat juga menjelaskan bahwa God Bless tidak
pernah pecah.
Mereka memang macet sementara karena menunggu peralatan datang
dari Amerika dengan kekuatan 12.000 watt, sementara Donny
sendiri baru datang dari Denmark. "Buktinya anggota God Bless
tidak ada yang main di panggung selama masa kosong itu, meskipun
diminta," ujar Albar kembali. Kribo ini sekarang sedang
menyiapkan film Dua Krio. Januari yang akan datang volume II
God Bless sudah bisa didengar. Sementara pertengahan tahun ini
Albar ingin menikah dengan Rini S. Bono, pubekas aktor film yang
populer itu.
Terus Dah Jack
Usai Albar dengan God Bless, munul jazz Jack Lesmana di Teater
Besar TIM. Kali ini, yang istimewa: kendati pertunjukan hanya
berlangsung 1 maam, toh 2 kali main. Masing-masing pertunjukan
sekitar satu setengah jam. Dengan karcis yang cukup mahal (Rp
1.000 dan Rp 2.000), ternyata Jack erhasil mengeruk banyak
penonton sehingga boleh dikatakan sukses dan komersiil.
Jack muncul dengan formasi: Nick Mamahit, Karim, Benny Mustafa,
Benny Likumahua, Perry Pattiselano, Jack sendiri, serta beberapa
kulit putih, Greg Gibson, Ron Revees, Chris Blenkin dan Ed Van
Nesh. Tiga nama terakhir adalah dosen Akademi Musik Yogya. Di
samping itu masih ada Noor Bersaudara yang sejak beberapa waktu
yang lalu kelihatan lagi ditempel tangan Jack. Dan tentu saja
ikut serta orang yang bernama Broery.
Akademi Jazz
Barangkali karena pertunjukan lebih bersifat komersiil, Jack
bertahan untuk tetap ringan dan komunikatif. Ia memilih beberapa
nomor yang benar-benar ayeng. Dilontarkannya G. Blues, Freedom
Jazz Dace, If I Had You. yang langsung diberondong keplok
seru. Jack masih seperti dulu, tenang dan santai ia menggarap
musiknya kini benar-benar untuk menyenangkan penonton bukan
berekspresi. Ini yang bikin penonton yang serius jadi kecewa,
tapi sebaliknya yang iseng-iseng dengan jazz merasa terhibur.
Jack menyambar ke sana ke mari, swing, bosanova, cool, rock,
freedom dan modern. "Saya tidak terlalu mempersoalkan apa yang
bakal orang bilang tentang musik saya. Boleh saja dibilang ini
bukan jazz atau apa kek, yang jelas ini musik saya," katanya
memberi pengantar di depan corong. Suaranya itu bagi beberapa
pengamat terasa sebagai permintaan yang tak langsung.
Noor Bersaudara malam itu kebagian lagu Autumn Leaves dan
Masquerade. Mereka berusaha kompak dalam suara dan penampilan.
Sebagaimana belakangan ini kita lihat di TV tampang mereka tak
seberapa tapi aksi bolehlah: ada usaha untuk atraktip dan
ngepop. Kalau mereka dapat bertahan terus, harapannya besar
dalam perdagangan musik, apalagi di tangan Jack. Malam itu
mereka boleh tidak tidur karena publik kasih sambutan besar.
Kemudian mengenakan baju putih, celana putih, seseorang berjalan
santai terlalu santai -- ke corong. Lantaran santainya ada juga
yang merasa orang itu sangat sok. Ya siapa lagi kalau bukan
Broery. Tapi untunglah biduan yang masih sulit dicari lawannya
di Indonesia ini menyanyi dengan penjiwaan yang bagus. Ia
memilih Sweet Georgia, kemudian Nature Boy. Penonton tergelincir
karena, suaranya mempesona. Broery kalau lagi serius memang bisa
bikin hati ngeres. Hanya saja malam itu kebanyakan Broery,
sementara banyak orang ingin jazz.
Mengakhiri babak pertama, Jack minta perhatian penonton. "Lagu
saya yang terakhir ini," katanya, "paling susah. Lagunya pendek,
tipi sulit. Berkali kali latihan, sering juga salah. Semoga
saja kali ini tidak." Lalu ia mengambil ancang-ancang.
One-two-three! Lantas musik bunyi: jreng! Tapi juga langsung
selesai. "Sialan!" umpat penonton. Jack tersenyum.
Babak berikutnya dilontarkan lagu-lagu All Blues, Don't Get A
round Much Anymore, Sovoy serta sebuah lagu pribumi bernama ni
Hatiku. Tepuk tangan gencar ditujukan kepada kedua bule. Karena
suasana masih suasana Natal sempat juga diperdengarkan Silent
Night dan Jingle Bells. Semuanya menyanyi bersama-sama Noor
Bersaudara. Suasana hangat dan akrab terbina. Tidak ada
demonstrasi-demonstrasian. Jack sekarang boleh teringat tahun
1972. Waktu itu hanya 600 orang yang suka mengunungi musiknya,
tapi sejak belakangan ini ia tidak kurang penonton. Asal
pintar-pintar saja menjajagi variasi, maklum para penonton cepat
sekali bosan.
Jack sudah memberi janji yang nlungkin akan bikin girang yara
pengemarnya. Awal tahun depan ia akan menjelmakan rencananya
mendirikan sebuah akademi jazz di Jakarta. "Betul-betul akan
diwujudkan, tetap akan ialan alau 10 tahun harus mbrankang,"
kala Jack kepada TEMP . Terus saja dah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo