Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARANGKALI ini memang sebuah dunia mimpi. Di panggung sepanjang sekitar 25 meter itu, yang berterap-terap, yang di kedua sisinya ada sebuah tembok tinggi, dan di latar belakang bergambar gunung, sekitar 80 muda-mudi berjingkrak dan menyanyi dengan pakaian gemerlap. Musik, dari awal hingga akhir, selama dua jam (diselingi lawak Warung Kopi Prambors sekitar setengah jam), memang menggugah semangat. Sebuah musik yang gemuruh, dengan banyak sinkop (perpindahan nada berat ke ringan), dengan banyak fanfare (permainan gabungan sejumlah alat tiup dengan perkusi). Ditambah tepuk tangan penonton yang hampir memenuhi Balai Sidang, yang berkapasitas sekitar 5.000 orang, Cinta Indonesla memang sebuah tontonan yang "wah". Guruh Sukarno Putra, siapa lagi, dengan Swara Maharddhika-nya, tampil lagi, dua kali semalam, 30 Maret sampai dengan 3 April di Balai Sidang, Jakarta. Pertunjukan seharga Rp 150 juta ini boleh dibilang memang digemari. Sejumlah remaja, sejumlah wanita, tampak terkagum-kagum puas pada malam pertama. Apa coba yang tak diberikan Guruh dengan Cinta Indonesia ini? Ada Euis Darliah si "Apanya Dong"menjerit-jerit dengan Dunia Gemerlap, yang mirip lagu New York, New York. Tak ketinggalan si Vina Panduwinata dengan lagu dan lirik ciptaan Guruh sendiri, Aji Mmpung. "Semua orang ingin menumpuk kekayaan/namun selalu berkedok kesederhanaan," nyanyi penyanyi pop terbaik tahun lalu ini. Tapi ada juga musik berbau gamelan Bali. Dan musik ini mengiringi Tari Brondong Singkong. Sekitar 30 cowok remaja, dengan tenaga yang penuh dan semangat menggebu beraksi serempak. Terkadang mereka menggoyangkan tangan mirip tari cak. Tapi sebentar kemudian berdiri serentak, bergandengan tangan rapat-rapat. Lalu, melemparkan kaki kiri ke depan hingga lurus horisontal ke sudut kiri. Tarik lagi. Ganti kaki kanan. Mereka bertelanjang dada, hanya dengan sarung kotak-kotak hitam putih yang dibelitkan mirip cawat. Tentu, dan barangkali ini ciri khas Swara Maharddhika, cowok-cowok ini dirias dengan alis tebal, pipi kemerahan. Kemudian ada adegan berbau gamelan Bali Tari Garuda-Naga. Mula-mula, muncul Garuda dengan gerak-gerik khas tari Bali tapi dengan kostum masa kini. Yakni, sayap garuda bisa berkepak-kepak sendiri, digerakkan dengan baterei. Kemudian, muncul sang Naga, dengan kepala bergaris tengah sekitar dua meter, dengan mata merah, dengan ekor sepanjang 50 orang. Alkisah, bertempurlah Garuda melawan Naga. Tak jelas siapa kalah, siapa menang. Tapi inilah, menurut Guruh, simbol pertempuran abadi antara "bapak angkasa dan ibu pertiwi." Dan sesudah pertempuran, gunung pun meletus. Hujan batu menimpa panggung, gelegar efek suara memekakkan telinga, dan lampu disko merah yang mati-hidup mati-hidup bermain dengan cepatnya. Bila judul tontonan ini Cinta Indonesia, mungkin karena dimunculkannya berbagai tari daerah - dengan perubahan di sana-sini. Ada Gandrung Banyuwangi yang penuh dengan egolan pinggul. Ada Tari Dayak, tapi cuma mirip orang bergulingan. Lalu ada Tari Lilin, Tari Payung, Tari Sulawesi Selatan, Tari Melayu Tanah Deli. Singkat-singkat asal terwakili, mungkin begitu. Juga ada Tari Bedaya oleh beberapa cewek. Tapi, para penari Bedaya ini didampingi sejumlah remaja yang berajojing dengan asyik. Musik ganti berganti antara lagu disko dan gamelan Jawa. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba para penari Bedaya mencabut pistol menembak para remaja ajojing: dor-dor-dor. Sebagai tontonan sejenis kabaret, tak lengkap kalau tak ada adegan macam pantomim. Dan ini dilakukan Euis Darliah dengan baik. Euis memerankan seorang ibu yang jadi tokoh organisasi. Ia gunting pita sana-sini, memberi sambutan sana-sini. "Bapak dua, Ibu dua (maksudnya bapak-bapak dan ibu-ibu), Assalamualaikum We We." Dan, gerrr. Baru menjelang pertunjukan dua jam ini berakhir, muncul Tari Puspa Warni. Para cowok dengan kostum jambul dan bulu-bulu hijau, para cewek dengan jambul dan bulu-bulu merah jambu. Berbaur, berjingkrak dengan gerak serempak - maunya. Lalu satu per satu para pemeran muncul ikut nimbrung berlengang-lenggang. Setelah lengkap semua, muncullah Vina Panduwinata, dari terap paling atas, berjalan turun sambil melagukan Cinta Indonesia. "Cinta, cinta, cinta Indonesia/negeri bagaikan permata..." Itu semua masih ditambah munculnya Chrisye dengan lagu Seni ciptaan Guruh sendiri yang mendayu-dayu, sedikit merisikan. "Ingin kukatakan tentang makna seni/ Namun kemunafikan tidak mungkin memahami." Wah! Jadi, apa yang dibawa pulang penonton yang membeli karcis Rp 3.500 sampai Rp 10.000? Mungkin benar, ketika seorang wanita beranjak dari kursi dan bilang kepada anak gadisnya. "Ini memang mimpi, mimpi yang indah," katanya. Dan, mahal. Panggung Swara Maharddhika memang menyajikan keriaan, tanpa sesuatu yang buruk secuil pun. Bahkan adegan gunung meletus, batu-batu dari kertas yang dilemparkan dari belakang panggung, mirip suasana di klub malam: remang-remang, musik disko yang menjerit-jerit, lampu disko yang "byarpet". Dari segi musik, kabaret Guruh ini memang boleh. Sebuah perpaduan musik pop dengan warna musik tradisional yang harmonis. Tapi bila sang pencipta punya kata-kata muluk, ingin "mengungkapkan rasa gandrung saya terhadap segala perwujudan sosial budaya Indonesia, seperti rasa indah terhadap kekayaan seni bangsa kita, kritik sosial, nasionalisme. . ." memang bisa jadi persoalan sendiri. Seandainya saja Guruh berendah hati, "inilah kabaret Melayu untuk menghibur para remaja," mungkin bisa lebih ditonton dengan santai, bak menonton Srimulat dengan Asmuni dan Gepeng-nya. Apa salahnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo