Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONSR Musik dan Tari Bali di Teater Arena TIM - 20 dan 21 Juli
yang lalu meledak. Karcis amblas, ruangan penuh sesak. Ini
kejadian yang tidak biasa. Yayasan Saraswati, yang menjadi
dalang kerepotan itu, boleh bangga. Tapi sebetulnya orang yang
pantas dikasih tangan adalah I Gusti Kompyang Raha, pimpinan
konser dan Guruh Soekarno Putra yang malah- itu menabuh gendang
dan ceng-ceng.
Chopin Larung dan Ceget Gelgel - dua ciptaan Guruh yang sudah
dikenal orang lewat rekaman 'Guruh Gipsy' kali ini digarap oleh
Kompyang dan Wayan Diya. Hampir sebulan mereka banting tulang.
Guruh sendiri ikut menyumbang tangan juga, meski tidak banyak.
Bunyi listrik sudah dibersihkan, sehingga malam itu orang tidak
perlu lagi mendengarkan bunyi synthesizer, gitar atau pun dram.
"Digarap dengan aransmen baru, tetapi tidak mengubah warna
aslinya," kata Guruh.
Manuk Anguci
Malam yang semarak itu juga diramaikan oleh sebuah drama-tari
bernama Legong Lasem. Sehingga sebagai acara boleh dikatakan
padat. "Memang, Bali tidak tertutup akan hal-hal yang bersifat
pembaharuan, asal hal tersebut dapat dijangkau dengan cita
masyarakat, "kata pengantar dalam folder. Kecap basi ini
ditujukan pada sejumlah lagu seperti Gambang Suling atau Soto
Bandung yang ikut diperdengarkan malam itu sebagai usaha
memuntahkan kembali dengan akrab pengaruh musik Jawa dalam
kehidupan musik tradisionil Bali.
Juga sempat diperdengarkan Manuk Anguci, gending ciptaan I Wayan
Tembres. yang pernah menggondol kejuaraan kreasi terbaik dalam
festival gong seluruh Bali tahun 1969. Iramanya lincah, genit
dan manis. merupakan potret Bali masa ini. Dalam lagu ini
dipeluk berbagai unsur yang bisa disabet dari perbendaharaan
musik di luar Bali. Misalnya saja. satu saat kita dibawa
mendengarkan lagu Soto Bandung. Selipan yang merupakan salah
satu ciri kehidupan masyarakat di sana pada masa sekarang:
mencoba membuat gado-gado dari apa saja yang sempat mereka
kenal.
Lagu semacam itu tentu saja bisa menirnbulkan kesan terlalu
banyak mainmain, terutama bagi mereka yang terlalu serius. Tapi
kalau diingat misalnya ada Tari Badminton, juga ada drama gong
yang penuh aksi serta ada juga sendratari yang banyak
dipengaruhi film koboi, semuanya kemudian jadi jelas. Kehidupan
kesenian di Bali - dalam hal ini gamelan - memang sangat terbuka
setiap saat pada yang baik maupun yang buruk.
Khusus untuk kedua lagu Guruh yang dimainkan malam itu,
disediakan set gong kebyar dengan dukungan kelompok paduan
suara: 'Indonesia Mahardhika' dan 'Pasraman Widhayaka'. Choping
Larung terdengar tidak banyak beda dengan kasetnya. Tetapi Geger
Gelgel tersulap jadi manis. Pada perempat dan tengah lagu, masuk
dialog antara Palawakya (Wayan Diya) dengan Sisiya (Ni Luh
Adri). Dialog itu amat khas Bali: ucapan sang Durga yang
meninggalkan kerusakan hebat di Mayapada. Menurut Wayan Diya,
dialog ini dimaksudkan untuk mendukung lirik Geger Gelgel yan
mencerminkan ketidakberesan dunia.
Meditasi
Para pendukung paduan suara, selain bercuap-cuap, juga ikut
bergerak menggambarkan suasana keributan. Suasana hingar bingar
itu kemudian dikunci dengan apa yang disebut Wayan Diya sebagai
'mood meditasi.' "Dari suasana ribut beralih ke suasana
meditasi. Ini khas Bali. Mungkin tidak seluruh penonton peka
terhadap perubahan-perubahan ini," kata Diya. Sementara Kompyang
yang terkenal sebagai pemukul kendang BaJi yang baik, bekerja
sama dengan Guruh menggiring penampilan itu dengan pas. Ia, yang
juga ikut andil dalam perekaman kaset Guruh, menyatakan 2 malam
pertunjukan langsung itu lebih memuaskan. "Kedua lagu itu
setelah ditampilkan langsung. jadi lebih enak. Saya bisa
merasakan setiap bunyi instrumen. Tidak seperti di rekaman.
karena di situ instrumen kadang masuk satu-satu," katanya kepada
TEMPO.
Malam yang ternyata banyak menggembirakan kaum muda itu, juga
menggembirakan hati Guruh sendiri. Ia menyatakan tidak mustahil
untuk memasukkan bunyi piano atau synthesizer, tetapi harus
diingat malam itu adalah penampilan konser Bali. Jadi Balinya
harus menonjol. "Biarlah mereka datang dulu untuk mengapresiasi
khazanah musik daerah Bali, karena Guruh-Gipsy untuk sementara
boleh dikesampingkan dulu. Saya sudah senang," katanya.
Harus diingat bahwa begitu banyak kaum muda hadir malam itu. Ini
merupakan titik terang bagi kehidupan musik tradisionil, atau
yang bersumber dari sana. Gamelan tidak lagi hanya piaraan
orang-orang tua. Orang-orang muda juga sanggup menguasainya -
siapa tahu dengan cara yang lebih segar dan akrab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo