Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Franz Magnis-Suseno SJ
*) Rohaniwan dan guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
GUS Dur adalah seorang raksasa, bukan hanya untuk ukuran Indonesia, melainkan dunia. Bagi saya pribadi, Gus Dur termasuk orang yang paling mengesankan yang pernah saya temui. Sejak kami berkenalan pada akhir 1970-an, saya dengan penuh kagum mengikuti naiknya ia dari penulis di Kompas dan Prisma menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama, pendiri Forum Demokrasi, dan akhirnya presiden keempat Republik Indonesia.
Wawasannya, keterbukaannya, perhatiannya terhadap yang tertindas dan tersingkir, kaum minoritas, dan korban pelanggaran hak asasi manusia, luasnya pengetahuan dan ketegasan sikapnya—semua ini membuat saya kagum.
Pada 1983, Gus Dur pernah selama dua jam menjelaskan kepada saya mengapa Konferensi Waligereja Indonesia perlu menerima Pancasila sebagai asas satu-satunya. Pada saat yang sama, ia menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama akan menerimanya—padahal waktu itu ia belum ketua umum. Waktu itu saya heran, kok, Gus Dur begitu peduli terhadap kami.
Sebagai anggota Forum Demokrasi, hampir setiap dua minggu saya dapat "menikmati" Gus Dur. Termasuk ketika saya harus membujuk teman-teman Fordem yang marah karena ia mempromosikan Mbak Tutut. Saya sendiri ngeri melihat ini, tapi saya katakan bahwa mereka mesti menerima Gus Dur apa adanya. Terakhir, dua tahun lalu, lagi-lagi saya disuruh beberapa teman menasihati Gus Dur agar menarik diri dari politik praktis. Namun Gus Dur hanya tertawa.
Yang barangkali masih menjadi rahasia adalah rasa percaya dirinya yang luar biasa. Meski yakin pada demokrasi, dan committed 100 persen pada hak-hak asasi manusia, ia sebenarnya merupakan kombinasi antara seorang kiai dan seorang raja Jawa. Kepercayaan diri yang besar itu membuatnya bebas dari sikap defensif dan meyakini pluralisme.
Terhadap apa yang diyakini, Gus Dur tidak dapat ditawar-tawar. Tapi, dalam semua hal yang tidak prinsipiil, ia seorang pragmatis total, dan itu bisa membuatnya salah langkah. Kasus Mbak Tutut itu salah satu contohnya. Kebiasaannya untuk berkata seenaknya beberapa kali mendaratkannya ke dalam kesulitan yang sungguh-sungguh.
Gus Dur sangat menghargai Bung Karno dan mengakui kebesaran para mantan lawan politik yang digesernya: Pak Harto dan Profesor Habibie. Tapi yang paling mencolok—dan diakui dunia internasional—adalah komitmennya kepada para underdog dan penciptaan hubungan baik antar-umat beragama. Mereka yang menyesalkan seakan-akan Gus Dur mendahulukan agama-agama lain ketimbang agamanya sendiri tidak memahaminya. Tapi sikap Gus Dur ini muncul karena ia begitu mantap dalam Islamnya, maka ia membuka diri terhadap minoritas-minoritas yang masih sering mengalami diskriminasi dan ancaman. Karena itu juga ia tidak terkena Yahudi-fobia.
Keberaniannya membuka aib tahun 1965-1966, buntut genosida peristiwa 1 Oktober 1965, juga pantas dicatat. Usaha ini menimbulkan reaksi kebencian luar biasa. Tapi Gus Dur tidak geger. Ia tetap santai, dan ini mungkin karena sifatnya yang humoris, melalui humor yang pada akhirnya mendorong orang merenung.
Saya selalu iri dari mana kok Gus Dur selalu mendapat lelucon baru. Misalnya tentang kiai, pendeta, dan pastor yang oleh malaikat penjaga pintu surga disuruh mengisi sekian formulir. Lalu datang seorang sopir bus dari Jakarta yang langsung diperkenankan masuk surga. Kepada kiai, pendeta, dan pastor yang bosan menunggu itu, malaikat menjawab: "Setiap kali kalian berkhotbah di masjid atau di gereja, umatmu ketiduran. Tapi, setiap kali orang itu memegang kemudi busnya, seluruh bus mulai berdoa." Di sini, orang mulai berpikir apa sebenarnya kriterianya agar pintu surga akan dibuka baginya.
Saya juga mendengar dari sumber yang dapat dipercayai bahwa kunjungan negara Gus Dur ke Jerman semula menimbulkan keheranan karena ia menyapa Presiden Jerman dengan lelucon. Lama-kelamaan, barulah para diplomat yang serius itu menangkap pesannya: muslim pun—berbeda dari prasangka banyak pihak di Barat—bisa rileks dan punya humor. Presiden Heinrich Rau sendiri amat menghargai Gus Dur.
Gus Dur sepertinya selalu bisa mengatasi keadaan dan mungkin itu pula yang membuat dia susah menerima kenyataan bahwa kemampuannya pun punya batas. Saya ingat pernah naik Vespa ke Ciganjur pada 20 Januari 1999 untuk mengucapkan selamat hari raya kepada Gus Dur. Kami membahas konflik yang baru pecah di Ambon, dan Gus Dur bercerita bahwa ia sudah menghubungi orang-orangnya di Ambon. Diharapkan konflik itu segera teratasi. Kita tahu, Gus Dur tidak berhasil. Konflik itu berlangsung hampir tiga tahun. Waktu ia presiden pun konflik itu tidak dapat diatasi.
Bagi Gus Dur, memang susah untuk menerima keterbatasannya. Susah untuk menerima bahwa sejak 1999 ia sudah tidak dapat melihat dan, karena itu, seharusnya ia tidak menerima tawaran menjadi presiden (setengah tahun sebelumnya ia pernah mengatakan kepada saya bahwa ia tidak akan mau menjadi presiden kalau belum dapat melihat).
Gus Dur tidak akan dilupakan. Kenyataan bahwa hubungan umat agama minoritas dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah belum pernah sebaik sekarang tak lepas dari jasanya. Karena Gus Dur, di antara pemimpin umat beragama itu terbangun hubungan kepercayaan dan saling menghargai.
Kita kehilangan orang besar ini, tapi warisannya tetap bersama kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo