Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG Pameran TIM (27 April s/d 2 Mei) menampilkan buah tangan
tukang tembikar yang berlindung di balik nama "Kanatali" --
Karya Nasional Tanah Liat. Disponsori oleh harian Kompas,
pameran ini tidak saja menarik minat banyak orang, akan tetapi
berhasil juga menjual lebih dari 50O barang-barangnya yang
bergerak dengan harga Rp 1.000--Rp 60.000. Karangan-karangan
bunga yang banyak terlihat sejak hari pembukaan, tentu saja
tidak hanya ditujukan pada Mochtar Lubis serta Dr. Tan, Ny.
Tedja, Oei Jong Tjioe dan A. Fahmy yang menjadi orang tua
Kanatali. Tetapi rupanya juga pada kehidupan dunia tembikar yang
mulai tumbuh ini. Tak syak lagi, dunia tembikar tidak usah
khawatir terhadap masyarakat penunjangnya. Meskipun tentulah
masih cukup jauh masa kejayaan tembikar, sebagaimana yang
tergambar dalam puisi-puisi Tiongkok atau Persia.
Bermacam-macam keramik tampak dalam ruang pameran, yang juga
dikasih bumbu demonstrasi bagaimana vas. tempat lilin, mangkok,
cangkir, piring dan sebagainya itu dikerjakan. Dengan
warna-warna yang masih sederhana -- kadangkala belum benar-benar
terselesaikan -- pameran ini memang dengan jujur tidak berusaha
untuk menutupi beberapa kelemahannya dalam segi teknis. Fahmy
itu pemilik diskotik Tanamur. yang dengan setianya menunggui
pameran, tak segan-segan mengatakan banwa ke-8 tukang tembikar
yang bekerja dalam sanggar Kanatali yang bercokol di Bukit Duri,
masih dalam taraf mendalami kemungkinan-kemungkinan dari
keramik. Usaha yang didirikan sejak 1974 dengan modal urunan
dari ke-5 pendirinya itu, memang sudah mencapai sekitar Rp 5
juta. "Tapi sampai sekarang semua kita kerjakan dengan seadanya
saja", ujar Fahmy.
Jalan Raya Keramik
Dengan bahan tanah yang didatangkan dari Parung, Jawa Tengah dan
Belitung, Kanatali sebenarnya sudah tidak kekurangan permintaan.
Misalnya sebuah hotel besar di Jakarta tak segan-segan minta
dibikinkan asbak sejumlah 10.000 yang dengan terpaksa tidak bisa
diladeni karena tidak ada kemampuan untuk berproduksi sebanyak
itu. Fahmy mengaku Kanatali untuk sementara menghindari produksi
masal karena konsekwensinya amat berat, terutama karena dituntut
barang-barang yang secara teknis ada keseragaman. Sementara di
Kanatali orang-orangnya lagi senang mengadakan
percobaan-percobaan, sehingga kadangkala faktor keunikan lebih
menentukan daripada kemulusan. "Lihat", katanya menunjuk
beberapa vas bunga yang tidak rata warnanya, "justru banyak
barang-barang yang tampaknya belum jadi dibeli orang".
"Industri keramik esensiil sekali bagi Indonesia", ujar Fahmy
seterusnya. Alasannya: serba gunanya keramik sebagai alat-alat
rumah tangga dan sebagai sarana penopang industri berat. Ia
sampai-sampai menerangkan bahwa untuk mengecor baja misalnya
diperlukan alat pengecor dari keramik, karena ketahanannya
terhadap panas. Juga disebut-sebutnya beberapa benda dalam
pesawat antariksa "Apollo" yang diperlukan dibuat dari keramik.
Dan dari keramik juga dibuat orang sebuah jalan raya eksperimen
di Jerman Barat sehingga warnanya memutih bagaikan cacing.
"Reul-reul saluran air. sekering lampu, bahkan tanda-tanda zebra
cross seyogyanya dicoba dengan keramik karena dia akan lebih
tahan", kata Fahmy. Ini boleh saja dianggap sebagai sebuah
propaganda. Lelaki kurus yang banyak juga bermimpi tentang
kehidupan kesenian yang bertambah getol di masa datang ini,
yakin pula bahwa para seniman senirupa pasti akan tertarik pada
dunia tembikar. Disebutnya GM Sudharta itu kartonis lucu di
Kompas, pernah berusaha membuat karikatur Adam Malik di atas
piring yang dipamerkan pada penampilan Kanatali yang pertama
kali di museum Fatahilah tahun lalu. "Puisi dalam piring, apa
ini tidak akan menarik?" tanyanya dengan tersenyum.
Apa yang tampak dalam ruang pameran, memang belum membuat kita
repot mengeluarkan kata-kata pujian. Akan tetapi
kesederhanaannya dan iktikadnya untuk menyatakan bahwa kehidupan
tembikar di Jakarta sudah ada - sebagaimana diakui oleh Fahmy
sendiri - membuat pameran ini jadi menarik. Harga-harga yang
dicantumkan tidaklah membuat dunia tembikar menjadi milik kaum
berduit tok, di samping menarik pula bahwa orang-orang kaya
tidak merasa hina untuk nyabet barang-barang yang harganya
"melawan" itu. Karena justru faktor tidak "mulus"nya membuat ia
masih lebih cenderung sebagai hasil seni ketimbang barang
kerajinan dalam sebuah produksi masal. Ini sama sekali tidak
untuk mengatakan bahwa hasil seni itu adalah barang-barang yang
tidak mulus.
"Saya membayangkan hari depan para tukang tembikar bagus,
melihat semua bahan baku yang diperlukan ada di Indonesia", kata
Fahmy. Ia menunjuk pula sudah adanya Lembaga Penelitian Keramik
di Bandung yang sayangnya terlalu sibuk dengan dirinya sendiri.
"Yang diperlukan kini adalah dapur-dapur komunal di desa-desa
pembuat keramik -- seperti Plered misalnya -- agar rakyat dapat
berproduksi dengan biaya murah -- di samping bimbingan-bimbingan
teknis demi kepentingan kwalitas", kata Fahmy. Ia menunjuk
barang-barang Kanatali yang baru mencapai maksimal pembakaran
1250 derajat memerlukan sekali pengenalan terhadap karakter
tanah serta bahan warna. Sehingga di samping keindahan,
hasil-hasil pembakaran tidak hanya merupakan seni surprise --
akan tetapi dapat direncanakan dengan tepat. Artinya bahwa
barang-barang tembikar bukan hanya merupakan hasil seni dewa
api, tetapi juga buah tangan tukang tembikarnya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo