Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah kampus menggelar diskusi menyambut Hari Film Nasional yang diperingati setiap 30 Maret.
Praktisi dan akademikus senada menyebutkan berbagai fase kebangkitan kembali industri film Indonesia, dari Petualangan Sherina pada 2000 hingga KKN di Desa Penari pada 2022.
Kini relatif makin mudah suatu film mendatangkan 1 juta penonton.
INDONESIA memperingati Hari Film Nasional pada Sabtu, 30 Maret 2024. Ini perayaan yang ke-25 sejak Hari Film Nasional lahir lewat Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1999 oleh Presiden B.J. Habibie. Sejumlah praktisi dan akademikus menilai industri sinema Indonesia mengalami banyak kemajuan dibanding pada 1999. Penilaian senada dihasilkan diskusi SAE Institute Indonesia di Jakarta Selatan pada Selasa, 26 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jumlah penonton di bioskop saat ini meningkat hampir seratus persen,” ujar Joko Anwar, sutradara terbaik Piala Citra 2015 dan 2020 kepada Tempo, Rabu, 27 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rekor jumlah penonton tertinggi dipegang KKN di Desa Penari dengan 10 juta penonton bioskop pada 2022. Film karya Awi Suryadi itu menggeser Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 dengan 6 juta penonton yang bertahan enam tahun. Dalam waktu relatif singkat, rekor KKN di Desa Penari langsung digoyang oleh Agak Laen karya Muhadkly Acho, yang mendatangkan 9 juta penonton sejak dirilis awal bulan lalu.
Tangkapan layar film Agak Laen. Dok. Imajinari
Susul-menyusul jumlah penonton terbanyak ini berbanding terbalik dengan kondisi pada 1980-1990-an. Mengutip situs web Repositori Kemdikbud, pada 1990, misalnya, dari puluhan film yang diproduksi, hanya lima judul yang mendatangkan lebih dari 100 ribu penonton ke bioskop.
Angin perubahan perfilman Indonesia bertiup seiring dengan hadirnya Hari Film Nasional. Pada 7 Juni 2000, duet sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana menghadirkan Petualangan Sherina. Saat itulah, untuk pertama kalinya dalam belasan tahun, orang-orang berbondong-bondong ke bioskop—juga membawa anak-anak—menonton film Indonesia. Sejumlah catatan menyebutkan film musikal dengan bintang utama Sherina Munaf, waktu itu 10 tahun, itu mendatangkan 1,6 juta penonton.
Pada 2001, giliran Jelangkung yang mengguncang bioskop. Film karya Rizal Mantovani itu menjadi sinema terlama yang bertahan di bioskop, hingga tujuh bulan, dan ditonton sekitar 1 juta orang.
Joko Anwar, yang ikut meramaikan bioskop lewat Pengabdi Setan (2017) dan Pengabdi Setan 2: Communion (2022), mengatakan kualitas cerita film Indonesia kian bermutu, termasuk pada genre horor. “Menonjolkan alur cerita ketimbang sekadar memberi jump scare,” ujarnya.
Menurut Joko Anwar, kekuatan cerita mengangkat kualitas film Indonesia secara keseluruhan. Hal itu terbukti dengan makin banyaknya sinema nasional yang mendapat penghargaan internasional.
Sutradara film Joko Anwar. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Jika dilihat dari kualitas film, kini banyak film Indonesia yang telah mendapat pengakuan internasional. Joko Anwar menunjuk Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak karya Mouly Surya yang di antaranya meraih penghargaan Asian World Film Festival (AWFF) 2018 di Culver City, California, Amerika Serikat. Ada juga Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Edwin yang mendapat Golden Leopard, penghargaan tertinggi dalam Locarno International Film Festival, Swiss, pada 2021.
Banyaknya penghargaan tersebut, Joko Anwar melanjutkan, tak semata mengindikasikan peningkatan mutu film Indonesia, tapi juga menunjukkan penerimaan pasar dunia. “Selain mendapat pengakuan, mereka membuka jalan pemasaran di luar negeri,” ujarnya.
Peneliti perfilman, Hikmat Darmawan, juga menyorot pesatnya pertumbuhan jumlah penonton film Indonesia. “Sekarang relatif mudah mencapai 1 juta penonton,” katanya. Meski demikian, angin baik tidak terus-menerus berembus.
Hikmat mencontohkan Ayat-ayat Cinta karya Hanung Bramantyo dan Laskar Pelangi karya Riri Riza yang ikut mendorong 30 juta orang menonton bioskop sepanjang 2018. Namun, pada tahun berikutnya, industri perfilman nasional cenderung loyo. Penelitian Edwyn Charisma Putra dari Universitas Airlangga, Surabaya, menyebutkan, dari 85 judul film keluaran 2009, separuhnya tidak laku. Sebab, temanya cenderung seragam, yaitu film horor dengan pemain berbaju minim.
Film Dua Garis Biru
Pada periode selanjutnya, selalu ada film ramai setiap tahun, tapi tidak mendongkrak jumlah penonton secara keseluruhan. Hikmat mencatat industri perfilman nasional baru kembali menunjukkan taring pada 2019 dengan capaian 51,2 juta penonton. Saat itu bioskop dijejali film-film populer, di antaranya Dilan 1991 dengan 5,2 juta penonton, Dua Garis Biru (2,5 juta), My Stupid Boss 2 (1,8 juta), Perempuan Tanah Jahanam (1,7 juta), dan Keluarga Cemara (1,7 juta). Sepanjang tahun itu, mengutip situs web Badan Perfilman Indonesia, ada 129 judul yang diproduksi. Sayangnya, geliat itu terhenti oleh wabah Covid-19.
Selepas badai pandemi, film Indonesia langsung tancap gas. Pada 2022, menurut catatan Hikmat, pangsa pasar penonton film Indonesia mencapai 61 persen, mengungguli pangsa film impor yang sebesar 39 persen. Pada tahun itu, sebanyak 55 juta orang menonton film Indonesia di bioskop, yang seperlima di antaranya menonton KKN di Desa Penari.
Meski telah mencapai angka tertinggi, Hikmat yakin jumlah penonton masih dapat ditingkatkan. “Dengan penduduk 280 juta, potensi pasar kita bisa mencapai 80-100 juta penonton,” ujar dosen perfilman Binus University tersebut.
Satu kendala yang membuat pertumbuhan jumlah penonton belum ideal, Hikmat melanjutkan, adalah persebaran layar bioskop yang belum proporsional. Badan Perfilman Indonesia menyebutkan terdapat 2.145 layar lebar yang tersebar di 115 kabupaten/kota per 2022. Menurut Hikmat, angka itu kalah jauh dibanding pada periode 1980-an yang mencapai 6.600 layar. Dampak minimnya jumlah layar adalah terbatasnya pilihan genre yang bisa dinikmati penonton.
Hikmat mengatakan peran bioskop dalam menggerakkan industri film tidak dapat digantikan layanan video berbayar lewat Internet atau live streaming. “Sebab, banyak nilai ekonomi yang berputar di bioskop,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo