Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN baju merah dan celana jins biru, Sawung Jabo, musikus yang kini berusia 60 tahun, masih tampak gagah di panggung. Seperti biasa, gitar akustik tergantung di depannya. Dia meraih mikrofon, lalu melantunkan sepotong puisi improvisasi: Resah gelisah/Bergelombang datangnya/Mengguncang-guncang tidur/Tidak bergerak/Tak terbangun/Ada apa?
Dum! Denny Dumbo, Verri Pramu, dan Giana Sudaryono beraksi dengan menabuh gendang masing-masing. Diawali dengan ketukan satu per satu yang perlahan, lalu variasi dengan beberapa ketukan menaik dan menurun, terus hingga berpuncak pada pukulan perkusi yang bertalu-talu, bergemuruh, mengingatkan kita pada ketukan-ketukan dalam tari perang beberapa suku.
Endi Baroque kemudian masuk dengan pukulan satu-satu yang mantap pada drum. Intro lagu Burung Putih dari album Sirkus Barock, Bukan Debu Jalanan (1989), telah dimainkan dan Jabo pun melantunkan liriknya yang sederhana dan jelas:
Burung yang indah terancam nasibnya
Di mana-mana terjadi
Penindasan sesamanya
Keadilan sedang tidur
Ketika lagu yang pendek itu usai, Jabo tak membiarkan penonton konser Langit Merah Putih di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu dua pekan lalu itu menghela napas sejenak. Para pemusik kelompok yang dipimpin Jabo itu langsung menyambungnya dengan Goro-goro, yang riuh, diselingi sepotong warna tembang Jawa. Kali ini Bagus Mazasupa (keyboard), Sinung Glanung (bas), dan Ucok Hutabarat (biola) menunjukkan kebolehan mengantarkan lagu yang mengentak itu. Mereka kemudian melanjutkannya dengan Lempar Batu Sembunyi Tangan dengan diawali intro permainan gitar oleh Joel Tampeng, Ryan Zanuardi, dan Totok Tewel.
Politik gelanggang adu licik
Sering membuat keributan makin berisik
Politik lahirkan intrik-intrik
Politik serupa benang kusut
Mulur mungkret seperti permen karet
Akal busuk lempar batu sembunyi tangan
Sialan! Sialan!
Dan sekitar seribu penonton pun menyambut teriakan itu: ”Sialan!”
Konser gratis Jabo bersama Sirkus Barock formasi barunya ini menjadi semacam obat rindu bagi sebagian besar penggemarnya yang datang malam itu: kerinduan kepada musiknya dan juga saluran untuk meneriakkan kekesalan mereka terhadap situasi sosial dan politik saat ini. Jabo bahkan merasa tak perlu membuat lagu baru untuk konsernya, yang juga digelar di Bandung dan Yogyakarta pada pekan lalu dan akan diboyong ke Cina pada Juni ini. ”Kondisinya masih belum berubah. Stagnan begitu, kok. Mengapa harus membuat lagu baru bila lagu lama masih relevan untuk bicara?” kata Jabo, yang mendirikan kelompoknya pada 1976.
Bagi Jabo, konsernya ini semacam cara mereka sebagai musikus untuk menyampaikan kenyataan yang sedang terjadi di tengah rakyat Indonesia, yang selalu menjadi inspirasinya. ”Kami bukan rindu pentas, tapi kami ingin beropini, membikin pernyataan,” ujarnya.
Pernyataan itu disampaikannya dengan melantunkan sejumlah lagu karyanya, seperti Serigala Sakit Jiwa dan Karena Kau Bunda Kami, sebelum membawakan beberapa hit kelompok Swami, seperti Badut, Kuda Lumping, Nyanyian Jiwa, dan Bongkar. Tapi penonton sedari awal terus meneriakkan ”lagu utama” setiap konser Jabo, Hio, yang akhirnya dibawakan paling buntut.
Jabo juga menawarkan aransemen baru untuk semua lagu itu. Sebagian lagu hanya sedikit diperkaya warna musiknya, misalnya sisipan permainan perkusi dan gitar pada bagian intro. Beberapa lagu betul-betul dirasuki warna yang berbeda, seperti Bongkar, yang hanya utuh pada melodi utama dan bagian lain dibongkar habis dengan campuran berbagai musik yang mengesankan keriuhan yang padat.
Namun, di beberapa bagian, kita masih menangkap unsur-unsur lokal pada aransemen Jabo kali ini, misalnya ketukan musik jatilan atau kendang Banyuwangi dalam warna rock yang kental. ”Kami senang mempergunakan musik tradisi dan kami punya latar musik tradisi, ya kami kembangkan itu. Tak ada pemaksaan pada satu musik saja,” ujar Jabo.
Tampaknya, Jabo sengaja membuat musiknya jadi begini untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi generasi muda Sirkus Barock untuk menunjukkan potensinya. ”Mereka masing-masing punya kekuatan sendiri. Mereka tidak mengiringi saya, kok. Mereka main sendiri,” kata Jabo.
Para musikus muda itu adalah mahasiswa berbagai daerah yang kuliah di Yogyakarta. Jabo melihat kemampuan mereka dan merekrut mereka. Untuk konser ini, mereka berlatih bersama sekitar sebulan sepuluh hari, sambil menyusun aransemennya, di pendapa Joglo Jago, Wirosaban, Yogyakarta. ”Itulah mengapa saya salut kepada Jabo. Ia lihai menyatukan siapa saja dalam satu workshop. Dan aransemennya mengikuti kelompok itu,” ujar Toto Tewel, gitaris yang bersama Jabo menjadi anggota lama yang tersisa dari Sirkus Barock, setelah wafatnya Innisisri dan Nanoe.
Tapi konser ini sekaligus juga temu kangen para penggemar Jabo. Mereka merindukan lagu-lagu rock yang ingar-bingar dan memacu adrenalin itu, yang begitu kuatnya, sehingga satu per satu penonton mendekati panggung dan bergoyang mengikuti musik. Apalagi ketika Iwan Fals, Setiawan Djody, Oppie Andaresta, dan Naniel, yang semula menonton, akhirnya bergabung ke atas panggung membawakan Bento. Reuni para personel Kantata Takwa itu pun terjadi, penonton berjingkrakan, dan di balkon bendera hitam Orang Indonesia, kelompok penggemar Iwan, berkibar. Hio!
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo