Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BODEGA Bay tersengat kepanikan. Ratusan camar yang biasanya bersahabat berubah jadi monster mengerikan. Mereka mengacaukan pesta, mengobrak-abrik bangunan sekolah, menerjang masuk rumah lewat cerobong asap, dan menyerang siapa pun. Ada apa dengan burung-burung itu? Apa pula hubungannya dengan kedatangan seorang wanita ke kota kecil itu?
Kematian demi kematian kian mengoyak ketenteraman. Suasana teror menghantui warga. Jalinan kisah cinta segitiga dan selubung misteri pun menjelujur sepanjang film The Birds garapan sutradara Alfred Hitchcock pada 1963, yang diputar di Bentara Budaya, Jakarta, pekan lalu.
Hitchcock dan ketegangan selalu seiring sejalan. Tak salah dia disebut sebagai master of suspense. Penampilannya yang sangat konservatifsetelan hitam, kemeja putih, dasi pendek tanpa motifkian mengukuhkan aura ketegangan saat kita menyaksikannya dalam serial televisi Alfred Hitchcock Presents, yang selalu diantarnya dengan dingin lewat kalimat "You are about to enter the world of murder, mystery, and mayhem" atau "Anda akan memasuki dunia pembunuhan, misteri, dan penganiayaan".
Tak pelak, ini membuat pria kelahiran London pada 1899 ini dielu-elukan sebagai sutradara paling dikenal oleh publik. Lebih dari pembuat film mana pun, nama Hitchcock saja sudah menjanjikan sebuah ketegangan buat penontonnya. Tak cuma itu, ia juga cakap mengemas cerita mencekam itu dengan bumbu komedi, balutan kisah cinta, serta penokohan yang eksentrik.
Sutradara lulusan sekolah teknik ini nyemplung di dunia film pada pertengahan 1920. Sukses pertama digaetnya lewat The Lodger pada 1926. Ini sebuah film misteri yang berkisah tentang Jack the Ripper. Karya-karya Hitchcock pada enam tahun pertama kemudian menjadi semacam standar bagi film bergenre sama di masa mendatang. Salah satunya adalah Blackmail, film berbicara pertama yang menangguk sukses besar-besaran di Inggris.
Puas berkubang di dunia film Inggris, namanya lalu membubung ke jagat internasional sepanjang 1930-an lewat The Man Who Know Too Much, The 39 Steps, dan The Lady Vanishes. Berbagai film thriller tak disajikan mentah-mentah begitu, tapi dikemas dengan aneka latar belakang. Ada yang dibungkus suasana anti-Nazi (Foreign Correspondent), ada pula dengan langgam drama romantis (Spellbound). Ia memproduksi film-film pada masa ini bersama David O Selznick sebagai produser Hollywood.
Langkah berikut adalah membuat film independennya sendiri, Rope, yang sayangnya kurang bergema di belantara film. Ia pun kembali ke "khitah"-nya di jalur thriller, antara lain lewat Strangers on a Train, film buatan tahun 1951 yang dibikin kembali pada 1987 oleh Danny de Vito dengan judul Throw Momma from the Train. Pesona seorang Hitchcock kian berpendar ketika ia menjadi sentral dalam serial televisi bertajuk Alfred Hitchcock Presents dengan penampilannya yang khas itu.
Selepas masa itu, karya-karyanya terasa lebih lekat dalam hal sentuhan personalnya. Tampak betul Hitchcock semakin menggali detail-detail romantis dalam tiap filmnya, antara lain Vertigo, yang juga diputar di Bentara Budaya pekan lalu. Waktu bergulir hingga lahirlah Psycho pada 1960, yang diagungkan sebagai masterpiece, khususnya lewat akting Janet Leigh dan Anthony Perkins yang melegenda. Kisah cinta juga menjadi menu dalam The Birds. Film terakhir yang digarapnya adalah Family Plot pada 1976.
Kematian Hitchcock pada 29 April 1980 bahkan tak memisahkan dia dari penggemar film thriller. Banyak filmnya diputar kembaliada pula yang dibuat versi barudan tetap menjaring perhatian penonton di masa berbeda. Serial televisinya diputar kembali seperempat abad kemudian dan tetap menduduki rating tinggi. Film-film yang dibikin pada 1940-an diputar lagi di tahun 1980-an dan tetap masuk dalam lingkaran film terlaris di Amerika Serikat, juga di belahan dunia lain. Televisi Republik Indonesia juga sempat menayangkannya kala itu.
Apa resep mujarab pemikat penonton? Tak seperti film masa kini, yang sarat efek-efek teknologi di tiap adegan, film Hitchcock justru lebih secara apa adanya mempermainkan ketegangan penonton. Adegan horor terasa lebih nyata dan "jujur", dengan akhir cerita yang tak tertebak. Tentu, hanya tangan seorang maestro yang bisa meletakkan berbagai adegan itu pada titik-titik yang pas suatu skenario. Hitchcock adalah thriller itu sendiri.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo