Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Ia ingin meninggal di tanah ...

M.a.w.brouwer, seorang pastor, psikolog dan penu- lis kolom, meninggal dunia di belanda, karena ra- dang usus. pernah mengikuti ujian kewarganegaraan dan lulus. tapi tak bisa memperoleh ktp.

31 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia Ingin Meninggal di Tanah Parahyangan Telah tiada, penulis kolom yang sekaligus psikolog, M.A.W. Brouwer. Ia lulus ujian kewarganegaraan Indonesia, tetapi tak bisa memperoleh KTP di sini. TANGKAS dan cerdas. Sebulan ia bisa menulis empat sampai lima kolom. Bahannya bisa ia peroleh di mana pun. Di kamar, perpustakaan, mobil, kereta api, kampus. "Melihat kuda lari pun saya bisa mendapat ilham untuk menulis," katanya. Bahasanya lancar, ulasannya tajam, sarat referensi, terkadang sinis sarkastis, tapi bisa jenaka. Ia adalah Drs. Martinus Antonius Wesselinus Brouwer O.F.M. -- sebagai kolumnis terkenal dengan nama M.A.W. Brouwer -- yang meninggal Senin pekan lalu di Nijmegen, Belanda, dalam usia 68 tahun. Ia dimakamkan di Weert, empat hari kemudian. Brouwer lahir di Delft, Belanda, 14 Mei 1923, sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Orangtuanya J.M.A. Brouwer dan C.A. Brouwer, adalah pedagang daging yang kaya. Pada usia 26 tahun, Brouwer ditahbiskan sebagai pastor lalu belajar pedagogi di Universitas Nijmegen, yang diselesaikannya hanya setahun. Lalu ia ke Indonesia dan langsung mengajar di SMA Mardi Yuwana, Sukabumi. Di sinilah sang Pater muda dengan tekun mempelajari bahasa Indonesia. Murid-muridnya sering merasa kesal atau mengantuk, karena Pater membaca bahan pelajaran mirip anak kelas I SD. Setelah tujuh tahun di Sukabumi, Brouwer kemudian pindah ke Bandung, mengajar psikologi di Universitas Parahyangan. Rupanya, ia kerasan di daerah yang hijau dan sejuk ini. Tak heran bila ia ingin menjadi warga negara Indonesia. Pada 1962 ia pun mengikuti ujian kewarganegaraan dan lulus memuaskan. Hanya satu yang tidak bisa dijawabnya, yaitu mengenai Hari Kartini. Namun, kalau sampai akhir hayatnya ia belum mengantongi KTP Indonesia, itu karena "sangat sulit menembus birokrasi di sini," keluhnya suatu ketika. Pastor, guru besar, dan psikolog ini memang cukup beken di Indonesia. Terutama karena kolom-kolomnya di harian Kompas dan TEMPO. Ia juga dikenal sebagai pengasuh ruang konsultasi psikologi di Kompas Minggu, yang kemudian dilanjutkan Leila Ch. Budiman, istri budayawan Arief Budiman. Namun, sesungguhnya ia tak berniat jadi penulis. Dalam pengakuannya, mula-mula ia menemui almarhum P.K. Ojong, pemimpin umum Kompas, untuk mengumpulkan dana guna membantu keluarga para tahanan politik. "Tapi Pak Ojong bilang, saya bisa memperoleh uang dengan cara menulis," katanya. Maka, pada 1965 -- beberapa saat setelah meletusnya G30S-PKI dan banyak anggota PKI menjadi tapol -- Brouwer pun menulis. Sebagian besar honorariumnya ia serahkan kepada gereja, yang mengurus bantuan bagi keluarga tapol. Kolom pertamanya yang dimuat di TEMPO baru muncul pada edisi 6 Agustus 1983. Ia menulis dengan mesin ketik yang dipakainya sejak 1966 di sebuah kamar ukuran 4 x 2 meter di rumah milik yayasan ordo Fransiskan yang penuh buku di kawasan Bandung Utara. Dalam kolomnya menyambut usia TEMPO yang ke-15 pada 1986, antara lain, ia menulis, "Misi TEMPO bukan perang antikomunis atau perjuangan demokrasi Amerika, tetapi perjuangan untuk keadilan murni, suatu policy yang hanya mungkin dalam suasana kemerdekaan." Menurut Yati -- pembantunya yang bekerja sejak 1979 dan baru mengetahui kematian Brouwer dari Kompas -- setiap hari majikannya yang menyukai nasi goreng dan gado-gado itu, bila sedang di rumah, lebih banyak membaca dan menulis. Di tengah kesibukannya menulis dan mengajar, Brouwer juga membuka praktek konsultasi psikologi di Rumah Sakit Boromeus, Bandung. Bahkan, ia juga menulis buku, di antaranya ia tulis bersama Psikolog Myra Sidharta, Anna Alisjahbana, Saparinah Sadli, dan John S. Nimpoeno. Bukunya: Antara Senyum dan Menangis Psikologi Fenomenologi Pergaulan Bapak-lbu, Dengarlah Menuju Kesehatan Jiwa Kepribadian dan Perubahan Rumah Sakit dalam Cahaya llmu Jiwa Indonesia Negara Pegawai Virginia Woolf. Ia diketahui menderita radang usus. Belakangan ususnya tersimpul hingga pencernaannya terganggu. Sejak dua tahun lalu ia memang sulit buang air besar. Beberapa waktu menjelang kematiannya, Brouwer tak mau makan sama, hingga berat badannya yang tinggi besar itu menyusut dari 70 hingga 50 kg. Karena sakitnya itulah ia pulang ke Negeri Belanda, dan dirawat di rumah sakit milik ordo Fransiskan yang sederhana hingga saat meninggalnya. Gejala penyakit itu sudah tampak sejak 1980, tapi rupanya ada yang semakin memperburuk kesehatannya. Pater Belanda ini ternyata gampang terjangkit depresi. Menjelang Lebaran 1989, misalnya, ketika listrik di Bandung padam, ia panik. Apalagi pembantunya mudik. "Saya takut sekali, tidak bisa tidur, ber- jalan kian-kemari. Saya takut mati," katanya kepada Myra Sidharta, rekan dan bekas dosennya di Fakultas Psikologi UI. Mei tahun lalu, keluarga Myra menengok Brouwer di Nijmegen -- dan itulah pertemuannya yang terakhir. Bagi Nyonya Fadjar Bastaman, kematian Brouwer benar-benar mengharukan. Sejawat Brouwer di Biro Konsultasi Psikologi RS Boromeus ini menerima surat almarhum pada 19 Agustus, tepat pada hari meninggalnya. Di situ Brouwer menceritakan kesehatannya yang makin memburuk dan ia ingin kembali ke Indonesia. Rupanya, ia sangat merindukan tanah Parahyangan yang hijau dan sejuk. Ia bahkan pernah mengutarakan keinginannya meninggal di Bandung. Brouwer yang terkenal di Indonesia karena kolom dan buku-bukunya itu akhirnya meninggal di negerinya sendiri. Anehnya, tak satu pun penerbitan di Belanda yang memberitakan meninggalnya Brouwer, pastor ordo Fransiskan yang tetap warga negara Belanda ini. BSH, Sandra Hamid (Jakarta), Ida Farida (Bandung), Asbari N. Krisna (Belanda)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus