Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Identitas dalam Gulungan Pigura

Novel tentang kesemrawutan identitas seorang gadis Indonesia keturunan Cina di Hong Kong. Kehidupan di sela-sela ketegangan antara komunitas lokal dan pendatang.

6 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Chinese Walls Oleh : Xu Xi Penerbitan ulang :Chameleon Press, Hong Kong, 2002, dari penerbitan asal Asia 2000, Hong Kong, 1996 Tebal : 138 halaman Pada ulang tahunku yang kesembilan, aku disuruh ibu duduk di depan meja riasnya, lalu rambutku disisiri. Ibu pun berkisah tentang pengalaman hidupnya di Indonesia, negeri tempat kelahirannya. "Sebelum perang waktu aku masih kecil, seusia kau sekarang, Ai-lin, ayah-ibuku punya rumah besar di Tjilatjap. Kakak-kakakku sering mengajakku berjalan-jalan di pantai sambil wanti-wanti agar aku berhati-hati karena banyak buaya." Di sini ibu berhenti, lalu tertawa.… (Pembuka Chinese Walls—terjemahan penulis resensi.) Bagi pembaca Indonesia, awal cerita dengan getaran warna budaya Indonesia yang membalut novel ini tentu sangat mengundang untuk terus mengikuti alur cerita. Namun, Chinese Walls bukan kisah tentang kehidupan orang-orang Indonesia di Hong Kong. Peran Indonesia dalam penuturan cerita ini lebih bersifat sugestif dan berupa corak-corak warna yang mendasari pigura hidup Hsu Ai-lin, penutur dan tokoh utama buku ini. Pigura inilah yang dalam beberapa tahap dalam hidup Ai-lin tercabik akibat tarikan-tarikan ketegangan. Ai-lin, anak bungsu dari pasangan kelahiran Indonesia, dari kecil harus mengatasi rasa gundah yang diserapnya dari orang tuanya, pasangan keturunan Cina kelahiran Indonesia yang tinggal di Hong Kong. Sepanjang hidupnya orang tuanya bergelut bukan saja dengan identitas diri mereka, tapi juga sindrom "identitas mengambang" yang banyak menjangkiti para warga keturunan Cina. Krisis ini tidak digambarkan dengan eksplisit, tapi melalui gejala-gejala ketegangan antara mereka sendiri, dan yang memotori kelakuan disfungsional kedua orang itu dalam kehidupan mereka masing-masing. Arus disfungsi yang merayap ke dalam batin Ai-lin inilah yang mendistorsi perkembangan alami dirinya, walau dia sendiri tidak menyadarinya. Dia hanya tahu bahwa dia perlu terapi setelah dewasa, ketika hubungan cinta demi hubungan cintanya kandas. Pelencengan mental ini mengikutinya bagai hantu di mana pun dia tinggal, di Amerika Serikat ataupun ketika dia kembali ke Hong Kong. Salah satu peristiwa penting yang pertama muncul dalam peta hidupnya ialah, saat Ai-lin merasa gamang dalam kepungan ketegangan keluarganya, salah seorang kakaknya, Philip, mencoba menghiburnya dan memberinya perlindungan dari "dunia" yang sepertinya penuh ancaman itu. Namun, dalam upayanya, Philip secara fisik terbawa gairah seksualnya dan melakukan inses dengan adiknya. Berbeda dengan karya-karya pengarang Cina-Amerika yang cenderung berat menggambarkan pergesekan budaya Cina dengan budaya lokal Amerika, Xu Xi memasukkan elemen pergesekan antar-Cina sendiri, antara komunitas lokal dan komunitas pendatang, dalam alur ceritanya tanpa terasa dipaksakan. "Kamu tidak salah?" tanya guruku, terperangah. "Keluargamu pasti hoa-kiau, karena bahasa Inggrismu baik sekali. Apa keluargamu tidak memberimu nama Inggris?" Bahwa dia menyebut keluargaku "Cina perantau" membuatku bisu seketika. Orang tuaku tak pernah menyebut diri hoa-kiau atau "Cina perantau". Berturun-turunan mereka sudah berakar di Indonesia, malah nenek-moyang kami sudah menikah dengan orang Indonesia, tapi toh mereka masih menganggap diri Cina, dalam budaya ataupun etnisitas, yang kalau dipikirkan memang sikap yang sangat hoa-kiau (terjemahan penulis resensi). Isu ilusi kemurnian etnisitas ini beberapa kali muncul dalam karya-karya Xu Xi lainnya. Agaknya ini sering membuatnya bertanya-tanya, tanpa mengetahui hal-hal yang menyebabkannya. Dalam penuturan tentang hubungan antar-manusianya pun, Xu Xi tidak menonjolkan pergesekan antar-budayanya. Pergesekan terjadi, tapi dalam taraf normal, yang mungkin saja terjadi dalam budaya itu sendiri. Bahkan banyak getaran persamaan pada tokoh-tokoh lintas-budayanya. Gaya Xu Xi dalam chinese Walls sangat memukau. Dia tidak menyajikannya secara linear bagai membuka gulungan pigura Cina, tapi memulainya dengan sebuah adegan, yang kemudian meluncur ke dalam adegan lain, dan begitu seterusnya cerita ini menari ke depan, ke belakang, dan ke sisi melampaui batas kurun waktu, bak membuka peta lipat yang terus bertambah halaman, dan sesudah terbuka semuanya tampaklah kisah seluruhnya. Gaya bahasanya segar dan lincah, dan penuturannya sering mengagetkan karena kejujurannya. Walau Chinese Walls sendiri merupakan karya yang sangat nikmat dibaca, apabila dibaca bersama buku Charles Coppel, Studying Ethnic Chinese in Indonesia, yang belum lama terbit, pembaca akan lebih mengerti latar belakang dari arus-arus ketegangan yang menjadi gangguan batin banyak warga peranakan Cina di berbagai penjuru dunia. Dewi Anggraeni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus