Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara gemericik air yang tertuang di panggung seperti musik pengiring pertunjukan. Seorang perempuan berpakaian celana monyet berlari ke sana-kemari. Ketika panggung agak terang, dua laki-laki menuang air dan perempuan itu bersukaria bermain air hingga basah kuyup. Panggung pun basah oleh air. Sebagian air masih tertampung dalam stoples-stoples plastik besar yang biasanya dipakai untuk mewadahi kerupuk, diletakan di beberapa sudut panggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu bagian dari pertunjukan Instalasi Macet oleh Teater Kubur itu berbicara tentang kemacetan, terutama di Kampung Apung. Dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 14 September 2018, lakon yang disutradarai oleh Dindon W.S. itu merupakan bagian dari rangkaian acara Djakarta Theatre Platform 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Instalasi Macet merupakan proyek penciptaan dan eksperimen oleh Teater Kubur sejak 2015 hingga 2018 terhadap tema klasik itu. Kelompok teater yang dibentuk di lingkungan komunitas kampung Gang Kober, Jakarta, 33 tahun lalu, itu berproses dalam spektrum mencari transformasi performatif dari masalah lingkungan di sekitar mereka. Mereka mencoba merespons masalah lingkungan dengan gerak tubuh aktor, balok-balok bekas, slang, dan lonjoran pipa-pipa yang dipakai untuk menghidupkan lakon tubuh serta ruang yang macet.
Para penampil satu per satu muncul menyorongkan stoples berisi air di beberapa titik. Lainnya membolak-balik bangku kayu, mengusung balok-balok, membentuk semacam fondasi beralas bangku kayu. Mereka membongkar-pasang balok kayu, meniti balok-balok itu, lalu nangkring di atasnya. Ini seperti cermin kehidupan di Kampung Apung di bagian utara Kota Jakarta yang setiap saat bersahabat dengan rob air laut.
Si perempuan pun meniti balok-balok dan menghampir mereka yang nangkring. Mereka menghindar, para penampil mendekati satu sama lain, lalu menghindar pula. Tak ada dialog di antara pemain, kecuali suara si gadis yang seperti mengerang dan seorang perempuan lain yang datang seperti menebar pakan dan berteriak seperti menghalau ayam atau burung, "suh..suuuh...suuuuhh."
Pertunjukan ini memang merupakan teater tubuh, lebih menitikberatkan pada penampilan fisik dan instalasi yang diharapkan mampu menyampaikan pesan tentang "kemacetan" tersebut. Dalam pertunjukan ini, mereka selalu bergerak dan hanya sesekali berhenti. Namun pesan kemacetan yang ingin disampaikan itu tak mudah ditangkap oleh penonton. "Ini macetnya di mana, ya?" ujar Hendro, salah seorang penonton.
Penonton lain, Bambang Bujono, menilai pertunjukan itu kurang memancing imajinasi penonton. "Kurang memberi pancingan buat kita berimajinasi. Gerak-gerik para pemain terlalu ‘mentah’," ujar jurnalis senior yang juga dikenal sebagai penulis dan pengamat seni ini. Mentahnya itu, Bambang melanjutkan, terlihat pada geraknya yang terasa berniat menirukan gerak sehari-hari, tapi tak sampai pada abstraksi.
Dia lantas membandingkan pertunjukan ini dengan penampilan Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya yang berpentas beberapa tahun lalu. Teater ini juga menghadirkan teater tubuh. Menurut Bambang, para pemain Teater Mandiri tak terasa geraknya mau menirukan gerak tubuh sehari-hari. Penonton pun lebih mudah memahami gerak itu untuk menangkap pesan yang ingin disampaikan.
Program ini dibentuk oleh Dewan Kesenian Jakarta sejak 2016, dimaksudkan sebagai festival yang berbasis lab penciptaan, kerja eksperimental kurasi teater. Kali ini, program tersebut berlangsung pada September hingga Oktober 2018 dengan beberapa rangkaian acara, seperti pertunjukan, lokakarya, biografi penciptaan, dan diskusi.
Mengambil tema "Silent Mass (Massa Diam)", para pengisi acara berasal dari Yogyakarta, Jakarta, Norwich, Hong Kong, Filipina, Kyoto, dan Tokyo. Sebagian besar dari mereka tidak hanya menyajikan pertunjukan, tapi juga mentransformasi metode-metode penciptaan dalam berbagai lokakarya.
Mengawali kegiatan, mereka menampilkan lakon City of Darkness! oleh Teater Ash dari Hong Kong, yang juga menyajikan teater tubuh. Sebelumnya, Teater Ash mementaskan karya ini di Yogyakarta, berkolaborasi dengan seniman Kota Gudeg itu. Penampil lainnya, antara lain, Teater Fujiyamaannete dari Tokyo, Rokateater dari Yogyakarta, dan MuDa dari Kyoto. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo