Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jalaluddin Rakhmat adalah ulama intelektual pembawa warna baru pemahaman Islam.
Studinya tentang pemikiran Islam yang berkembang di Iran membuatnya jatuh cinta kepada mazhab Syiah.
Kang Jalal sejak awal mengagumi Ali Syariati.
SAYA mengenal Kang Jalal—sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat—saat belum benar-benar lulus sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Mungkin saat itu tahun 1980 atau 1981, di Masjid Salman. Saya masih seorang anak muda culun, sementara Kang Jalal baru pulang dari studi masternya di Iowa State University, Amerika Serikat. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk segera melihat keistimewaan-keistimewaan beliau. Wawasannya tentang politik amat luas, pengetahuan agamanya banyak, cara bicaranya pun sangat fasih dan memikat. Segera kami menjadi sahabat. Selisih umur saya dengan Kang Jalal—yang berpulang pada Senin, 15 Februari lalu—sebetulnya tak sampai sepuluh tahun, tapi keluasan ilmu dan wawasannya menjadikan dia lebih pantas disebut sebagai guru saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu titik temu di antara kami adalah ketertarikan pada pemikiran para tokoh ulama Iran pasca-Revolusi Islam di negeri itu. Kang Jalal sejak awal adalah pengagum Ali Syariati. Belakangan, kami berdua mengagumi Murtadha Muthahhari. Muthahhari dan Ali Syariati, bersama beberapa intelektual Iran lain, di mata banyak orang pada waktu itu merupakan a new and fresh breed of muslim intellectuals. Mereka memiliki ilmu agama yang mendalam dan luas, bahkan tak jarang beserban, tapi juga punya akar kuat dalam filsafat dan ilmu-ilmu modern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktu itu Kang Jalal sudah dikenal sebagai dosen favorit di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Ditambah wawasannya yang luas dalam bidang filsafat dan ilmu-ilmu lain, dilengkapi dengan penguasaannya atas berbagai bahasa, termasuk bahasa Arab, namanya segera moncer di Bandung—dan belakangan di panggung nasional—sebagai ulama intelektual pembawa warna baru pemahaman Islam. Maka saya mengumpulkan berbagai karya tulis Kang Jalal dan menyusunnya sebagai buku, yang saya beri judul Islam Alternatif. Buku tersebut merupakan bagian dari Seri Cendekiawan Muslim Mizan, yang menampung karya cendekiawan muslim Indonesia masa itu, termasuk Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Kuntowijoyo, Amien Rais, dan Quraish Shihab. Buku Kang Jalal ini segera menjadi best seller.
Setelah itu, terbit kumpulan tulisan lain Kang Jalal, berjudul Islam Aktual. Keduanya belakangan menjadi buku legendaris. Sejak itu, menyusul banyak karya lain Kang Jalal, mungkin total lebih dari 30 buku. Temanya pun mulai bervariasi. Dalam kelompok buku Islam, ada buku tasawuf (termasuk beberapa buku doa), psikologi populer tentang agama dan kebahagiaan, serta kajian sejarah Islam. Tentu saja ia juga menulis beberapa buku daras yang terkait dengan ilmu komunikasi. Sebagian di antaranya tak kalah legendaris, termasuk Psikologi Komunikasi, Rekayasa Sosial, dan Retorika Modern.
Studinya tentang pemikiran Islam yang berkembang di Iran belakangan membuatnya jatuh cinta kepada mazhab Syiah. Hingga kemudian, suatu saat, dia tak lagi segan menyebut dirinya sebagai penganut Syiah. Bahkan, karena apa yang akan saya uraikan setelah ini, Kang Jalal belakangan harus tampil sebagai polemisis Syiah vis-à-vis Sunnah.
Sampai di sini, saya tak ingin memberikan kesan keliru bahwa Kang Jalal adalah seorang penganut Syiah fanatik. Kang Jalal jauh lebih besar dari itu. Kalaupun ada yang amat penting dalam urusan Sunnah-Syiah bagi Kang Jalal, pasti itu tidak terkait dengan fanatisme, apalagi bigotri sektarian. Meski tak pernah benar-benar nyaman dengan sikap straightforward (terus terang), bahkan blunt (menonjok) a la Kang Jalal, saya tahu pasti yang hendak dikejar Kang Jalal bukan cuma menang-menangan dan monopoli kebenaran.
Kita tentu saja boleh berbeda pendapat, bahkan kita katakan Kang Jalal bisa juga salah, tapi beliau sebenarnya adalah orang yang ingin standar-standar pemahaman yang ilmiah, ketat (stringent), dan bisa dipertanggungjawabkan secara historis selalu diterapkan dalam cara kita memahami Islam. Dan kita tak boleh lupa, meski mazhab Syiah yang dipeluknya adalah semacam esoterisme dalam Islam, aliran pemikiran Islam yang paling menarik hatinya adalah al-hikmah al-muta'aliyah (teosofi transenden), yakni sejenis filsafat yang mengombinasikan dan membangun sistemnya pada epistemologi iluministik (isyraqiyah) serta ontologi paham kesatuan wujud (wahdah al-wujud atau tawhid wujudi). Meski percaya pada pencapaian kebenaran secara langsung (immediate) dan mistis, aliran ini ngotot menuntut verifikasi secara logis-analitis. Di atas semuanya itu, Kang Jalal adalah seorang pengajar dan penulis ahli tentang metodologi penelitian. Semuanya menuntut penerapan disiplin ilmiah tanpa kompromi.
Nah, yang tergolong garapan pendekatan ilmiah ketatnya ini adalah studinya terhadap sahabat Nabi. Kita tahu, sahabat Nabi adalah sekelompok orang yang diterima oleh mayoritas muslim (Ahlus-Sunnah) sebagai salah satu sumber kebenaran keagamaan yang tak boleh dipertanyakan. Sedangkan Kang Jalal, dan ini pasti bukan tak terkait dengan kecenderungannya terhadap cara pandang Syiah, tak percaya bahwa semua (sic) sahabat Nabi—yang didefinisikan secara indiskriminatif sebagai siapa saja muslim yang bertemu dengan Nabi—tak bisa bersalah dan keliru ('udul), sedemikian sehingga semua pendapat dan perbuatannya bisa menjadi teladan dan panduan. Bagaimana itu mungkin? Bukankah para sahabat sendiri kadang berbeda pendapat, berkonflik, bahkan berperang satu sama lain? Begitu pikir Kang Jalal.
Maka tak terhindarkan, dia harus mengizinkan sikap kritis kepada para sahabat hingga sejauh mengungkapkan bukti-bukti kesalahan mereka demi mendukung argumentasinya. Dan, bagi kebanyakan muslim yang tak terbiasa dengan keterbukaan seperti ini, apalagi yang berada di bawah pengaruh sejarah konflik antarmazhab yang tak jarang sampai berdarah-darah, sikap kritis semacam itu merupakan suatu bidah besar dan mudah sekali terdengar sebagai pencelaan, pengecaman, bahkan pelaknatan terhadap para sahabat.
Jadilah Kang Jalal dikutuk banyak orang akibat pendiriannya ini. Sampai-sampai penyusunan dan pengujian disertasinya, yang mengambil topik studi kritis atas sahabat Nabi, banyak terhambat, bahkan hampir ia hentikan. Tapi bukan Kang Jalal kalau menyerah kepada tekanan. Apalagi ketika sampai pada prinsip kebenaran ilmiah yang dipegangnya erat-erat. Maka inilah ikrar yang Kang Jalal tulis dalam pengantar disertasinya: “Saya bukan orang pertama yang dihujat. Saya ingin menampilkan sejarah seperti apa adanya. `Wie es eigentlich gewesen`. Saya ingin menjadi Abu Dzar, yang dilemparkan sendirian ke padang pasir karena komitmennya kepada sabda Nabi SAW. Katakan yang benar walaupun pahit!”
Lagi pula, bagaimana mungkin Kang Jalal bisa menjadi pencela dan pemecah belah kaum muslim, sementara dia seseorang yang amat percaya pada pluralisme? Bahkan, dalam hal hubungan di antara berbagai kelompok dan mazhab dalam Islam, Kang Jalal adalah penganjur persatuan dan pendekatan antarmazhab. Saya bahkan tahu persis bahwa dia memilih nama (Murtadha) Muthahhari sebagai nama yayasan yang ia dirikan, antara lain, karena sikap moderat dan penuh semangat persatuan dari sosok ini. Pluralisme dan pembelaan terhadap kelompok minoritas jugalah yang menjadi motifnya masuk ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Hal ini ia sampaikan dalam berbagai kesempatan wawancara dengan media ataupun pembicaraan informal dengan sahabat dan murid-muridnya. Dalam pandangannya, sebagai partai nasionalis sekular, tak ada beban bagi PDI Perjuangan untuk menyokong upaya-upaya menegakkan toleransi beragama dan membela minoritas.
Akhirnya, tak ada yang lebih tepat untuk menggambarkan pergulatan hidup Kang Jalal daripada kata-kata Nietzsche ini: “Seorang individu harus selalu menjaga dirinya dari cengkeraman (perilaku) kesukuan. Jika kau mencobanya, kau akan sering disergap kesepian, kadang ketakutan. Tapi tak ada harga yang terlalu tinggi untuk tetap memiliki dirimu sendiri.”
Selamat mangkat, Kang Jalal. Doa kami, kau sekarang tak lagi kesepian, tenteram di pelukan Sahabat Agung-mu, yang kau dambakan selama ini, sepanjang hidupmu. Antum sabiqun, wa nahnu lahiqun (Engkau lebih dulu, dan kami akan menyusulmu)….
HAIDAR BAGIR, DIREKTUR UTAMA KELOMPOK MIZAN, PENGAJAR FILSAFAT DAN TASAWUF
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo