Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dolorosa Sinaga lekat dengan gerakan dan perjuangan kemanusiaan. Karya-karyanya dekat dengan berbagai peristiwa. Ia mempunyai keberpihakan kepada yang lemah. Ini bisa dilihat dari sebagian kecil karyanya yang dipamerkan di Gedung B Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 31 Januari hingga 11 Februari 2020. Pameran kaleidoskop 40 tahun aktivisme Dolorosa Sinaga itu mengiringi peluncuran bukunya yang berjudul Dolorosa Sinaga: Tubuh, Bentuk, Substansi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivitas perupa kelahiran Sibolga pada 1952 itu, dalam kegiatan kemanusiaan, sangat berpengaruh pada perubahan dan perkembangan karyanya. Itu diawali dengan membuat trofi Suardi Tasrif-penghargaan untuk pejuang kebebasan pers dari Aliansi Jurnalis Independen (1994)-lalu trofi Yap Thiam Hien Award bagi pejuang HAM. Selanjutnya, karya-karya Dolorosa makin kental nuansa politik. Misalnya, Solidaritas I (2000), Monumen Anti-Kekerasan (2000), The Grief (2000), dan Gerak Berlawan (2001).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal keberpihakan Dolorosa pada kemanusiaan, di antaranya bisa dilihat pada karya-karya yang memunculkan figur perempuan, kaum yang lebih banyak tertindas. Dalam patung perunggu berjudul Avante I (2001) ia menggambarkan para perempuan heroik sedang mengepalkan tangan-tangan kirinya. Dalam Solidaritas II, ia membuat patung yang memperlihatkan tujuh perempuan, salah satunya sedang hamil, saling bergandengan tangan. Senada dengan Solidaritas II, terdapat karya Solidaritas III yang berada di New York. Karya itu menanggapi antrean para perempuan di jalanan Jakarta untuk mendapatkan susu murah saat krisis ekonomi.
Ada juga karya yang memperlihatkan sekelompok orang dalam posisi rapat, membuka tangan seperti menghadang sesuatu, sambil membawa wajan. Yang lain menggendong anak dan membawa buntalan. Karya berjudul We Will Fight itu mengingatkan pada sebuah perlawanan. Pembelaan Dolorosa terhadap para perempuan juga muncul dalam karya berjudul Lawan Kekerasan I, yang memperlihatkan figur yang merengkuh lima sosok lain, termasuk perempuan yang menggendong seorang bayi.
Perupa yang belajar seni di Institut Kesenian Jakarta (lKJ), St Martin’s School of Art London, dan Piero Art Foundry Berkeley, Amerika Serikat, itu juga memberi perhatian pada kasus-kasus penghilangan paksa atau penculikan. Itu, misalnya, muncul dalam karya berjudul Mengapa Kau Culik Anak Kami?! yang memperlihatkan sosok ibu yang kehilangan anak-anak mereka dalam peristiwa penculikan menjelang reformasi. Karya itu dibuat dalam tiga edisi. Patung tersebut menggambarkan seorang perempuan seperti menggendong bayi.
Lihat pula karya berjudul General, Have You Read the Book of Love? (2006), dengan sosok tentara memegang bedil dan perempuan memegang buku. Rupanya patung ini pun dinilai sangat berarti bagi sejumlah orang. Salah satunya aktivis HAM, Usman Hamid. "Karya ini sangat bermakna buat saya. Dolo memberikan patung ini tidak lama setelah dia datang bersama orang-orang yang pernah kehilangan," ujar Usman, dalam kutipan yang tertera di dinding.
Figur-figur perempuan dan anak yang banyak muncul dalam karya Dolorosa, menurut editor buku Alexander Supartono dan M. Firman Ichsan, merupakan bentuk penegasan dampak atas sebuah peristiwa. "Seperti menegaskan provokasi Salgado (Sebastiao Salgado, fotografer berkebangsaan Brasil) bahwa dari seluruh karut-marut itu, korban dan penanggung beban adalah perempuan dan anak," demikian tulis mereka di bidang dinding di dekat karya.
Karya yang juga ditonjolkan dalam kaleidoskop ini adalah patung para lelaki. Lisabona Rahman, yang terlibat dalam pembuatan buku, mengutip pernyataan Dolorosa bahwa sang seniman itu tak bisa membuat patung laki-laki. "Gue enggak bisa bikin cowok, cuma dia (Widji Thukul) dan Dalai Lama yang cowok di sini. Gue mulai bikin lempung untuk jadi cowok, tapi pastinya cewek dan tiba-tiba ada sanggulnya," ujar Lisabona mengutip Dolorosa, dalam buku yang diluncurkan pada 31 Januari lalu itu.
Pikiran dan tangan Dolorosa menjadi kompak ketika ia menciptakan patung pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama (2001). Saat itu, Dolorosa terinspirasi oleh gerakan Pembebasan Tibet. Ia juga dengan lancar membentuk patung lelaki kurus berdiri agak membungkuk, dengan tangan kiri mengepal seperti meninju langit dan tangan kanan memegang buku. Dialah Widji Thukul dalam karya berjudul Hanya Satu Kata: Lawan! I (2003). Ini patung laki-laki kedua yang dibuatnya.
Berikutnya, ia menggarap patung Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam judul Wali Tertawa I, berbahan perunggu. Posisi Gus Dur berbaring miring bertumpu pada satu tangan kanan dan ia sedang tergelak. Patung lelaki berikutnya yang ia buat adalah sosok Sukarno dalam berbagai versi dan pose, juga patung Multatuli.
Lisabona menjelaskan, tokoh-tokoh yang lahir dari tangan Dolorosa mewakili bentuk perjuangan kemanusiaan. Patung atau sosok karya yang diciptakan bukan tokoh atau pemimpin yang berjaya, menang, dan berkuasa. "Tapi mereka tokoh, pemimpin yang dimarginalkan." DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo